Cirebon,16 Januari 2014
Empat Tahun. Masih terekam dalam ingatanku bagaimana
tangisanku pecah ketika harus menerima kenyataan aku tak diterima di
universitas yang aku inginkan, bukan tidak diterima melainkan tak diizinkan,
karena pada kenyataannya aku diterima di salah satu ptn agama di bandung, tapi
orangtuaku tak mengizinkan. Kecewa sedih barang tentu menjadi makananku saat
itu. Dengan sangat terpaksa dan ogah-ogahan aku pun kuliah di kampus kecilku,
jurusan pendidikan matematika. Menjadi seorang guru bukan menjadi keinginanku,
melainkan keinginan papa yang aku turuti.
Empat Tahun. Aku ingat bagaimana aku ogah-ogahan mengikuti
ospek. Aku benci tiap orang yang bertanya padaku “Ko SMA 1 nyasar kesini”. Aku
benci hal itu. Seperti menjadi orang
paling bodoh yang hanya dapat kuliah di kampus kecil tak terpandang. Aku benci
orang-orang yang bertanya seolah merendahkanku. Aku malu pada teman-temanku. Sempat
aku tak ingin berkunjung ke sekolahku. Namun teman-temanku selalu membesarkan
hatiku.
Empat tahun. Aku belajar bahwa hidup adalah tentang menerima
dan terus menggerutui nasib tak dapat membuat perubahan. Aku pun mulai menata
kehidupanku. Paling tidak, aku tidak ingin mempermalukan orang tuaku,
almamaterku dan diriku sendiri. Aku mulai belajar dengan giat. Mendengarkan dosen,
mencatat, bermain bersama teman baruku atau sesekali mengikuti organisasi,
hanya sekedar ingin tahu.
Empat tahun. Semester tiga perkuliahan, Papa meninggal. Aku
larut dalam kesedihan, karena aku belum bisa membahagiakan Papa. Namun Tuhan
memang pembuat skenario paling baik untuk Umatnya. Jika dahulu aku diterima di
ptn negeri di luar kota, lalu siapa yang akan menemani Mama? Siapa yang akan
mengurusi adik-adikku. Siapa yang akan membiayai kuliah dan hidupku di luar
kota sana. Paling tidak, jika aku belum bisa membahagiakan Papa, menemani Mama
mungkin akan membuat Papa lebih tenang disana.
Empat tahun. Aku belajar menerima kehidupanku. Berusaha
untuk menjadi yang terbaik, walau kadang banyak setan berkeliaran di
sekelilingku. Walau akhirnya aku tidak menjadi yang terbaik, paling tidak
berusaha menjadi yang lebih baik telah aku lakukan. Untuk menambah
pengalamanku, aku mulai mengikuti lomba-lomba, walau tidak pernah menang,
setidaknya aku telah mencoba. Jika aku bukan mahasiswa berprestasi, aku ingin
menjadi mahasiswa dengan banyak pengalaman.
Empat tahun. Aku merasa jika aku tak punya passion di bidang
mengajar, sebagai guru. Tapi itu berubah ketika aku mulai mengajar. Rasanya
bahagia jika melihat siswa paham apa yang aku ajarkan, melihat binar matanya
ketika semangat mengerjakan soal, atau ketika ia menaruh rasa percayanya padaku
untuk menceritakan kehidupannya. Aku pun ingin terus mengajar. Berbagi sedikit
ilmu yang kupunya. Berbagi tawa juga harapan pada siswa yang kuanggap
teman-temanku. Papa benar menjadi guru memiliki kepuasan tersendiri.
Empat tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk mengubah
sedikit-demi sedikit kehidupanku. Bukan waktu yang singkat untuk menjalani
perkuliahan yang tidak kusenangi kemudian bermetamorfosa menjadi candu. Berbagai
jatuh dan bangunnya kehidupan. Tawa dan tangis yang telah terurai, sudah tak
terhitung jumlahnya.
Empat tahun. Ketika saat itu datang. Ketika hari dimana aku membolak
balikan tugas akhirku hingga hafal diluar kepala. Aku diuji di depan penguji
yang siap menerkam, kemudian dinyatakan lulus. Ini menjadi salah satu hari
paling membahagiakan dalam hidupku. Akhirnya perjalanan empat tahunku menjadi
sarjana diakhiri dengan baik.
Empat tahun. Aku memang tidak menjadi mahasiswa terbaik,
tidak cumlaude, dan tidak membacakan pesan dan kesan di depan podium. Tapi
Empat tahun ini aku belajar. Belajar tentang kehidupan. Skenario kehidupan yang
aku rencanakan dulu digubah oleh Tuhan yang lebih baik, lebih manis, dan lebih
indah.
Empat tahun. Hari ini aku duduk di ruangan besar, di depan
majelis senat bersama ratusan wisudawan-wisudawati yang lainnya. Tali kur toga
ku dipindah, artinya aku resmi menjadi sarjana, Sarjana Pendidikan. Aku lihat
binar wajah ibuku, senyum bahagia kakakku dan tawa adikku. Aku, sarjana pertama
dalam keluargaku. Doa kalian terkabul, Pa Ma.
Selalu, tidak ada yang sia-sia dalam kehidupan ini.
Perjalanan empat tahun tak akan berakhir disini. Karena ini bukan sebuah akhir,
melainkan sebuah awal yang baru. Awal yang kuyakini nanti akan lebih indah.
Terima kasih Tuhan. Telah memberi skenario empat tahun ini.
Rizky Purnama