Kadang aku ingin seperti dia, orang yang aku anggap sebagai
saudaraku. Saudara yang baru aku kenal sejak 3 tahun belakangan. Sifatnya
terlalu saklek, bahkan dia lebih saklek dari kakak mentorku. Dia terlalu logis,
untuk hal apapun. Dan terkadang sifatnya menyakitkan hatiku. Sepertinya
mulutnya tidak memiliki filter, hingga semua kata dapat ia keluarkan. Dia orang
yang sangat menyebalkan ketika membalas sms, selalu singkat dan tidak jelas,
dankalau panjang sedikit lebih tidak jelas. Dia tipe orang yang sangat supel,
dan percaya diri, bahkan ibuku saja sampai dibuat kangen olehnya. Dia paling
suka sayur asem buatan ibuku, dan ibuku kadang tanpa diminta membuatkan
untuknya. Dia orang yang sering kuminta
untuk menasihatiku, ketika aku galau. Yaah walopun jawabannya terlalu
menjengkelkan, tapi aku suka dengan tiap nasihatnya, karena dia menyadarkanku,
bukan malah ikut menye-menye denganku. Dia tidak pernah ikut menangis ketika
aku sedang menangis, bahkan ketika aku sedang putus cinta, dia bahkan tak
memelukku. Bagi dia, menangis adalah kegiatan yang sangat melelahkan. Dia
selalu bilang padaku kalu sedang menangis, lihatlah kaca, dan kamu akan melihat
seberapa jeleknya kamu ketika menangis. Dia orang yang sangat tegar, dan ketika
aku menangis, dia selalu tertawa melihatku, jelek katanya. Jahat bukan? Kalau
lagi eling, dia akan mengeluarkan perkataan bijaknya, tapi jika aku meminta
untuk mengulanginya pasti dia lupa, haha. Tapi semua yang dilakukannya
membuatku sadar dan paham tentang hal-hal yang tak penting untuk ditangisi.
Untuk masalah lawan jenis, dia pun saklek. Dia tidak perduli dengan pacar, tapi
aku tau kalu dia pun pernah menyukai seorang pria dia pun pernah pacaran, tapi
dia santai. Pokonya motto dia “Jodoh di tangan Tuhan, mantan di tangan teman”. Haha,
parah kan. Dia selalu bilang padaku supaya aku tidak pernah takut tidak mendapat jodoh. Dia bilang padaku, kalau aku itu pacaran selalu memakai hati,
sehingga ketika putus terlalu dalam jatuhnya, berbeda dengan temanku yang
pacaran karena uang. Bingung aku dengan setiap statement nya, dan dia bilang
dia dulu pacaran ya karena Cuma buat seneng-seneng aja, kalo suka jalan, kalo
engga ya udahan. Segampang itu pemikirannya, segampang hidupnya. Tentang masalah pacaran, dia selalu memberikan
kata-kata yang sangat logis. Bohong kalau ada pacaran secara islami, dan alasan-alasan
kenapa dia santai saja tidak mempunyai pacar, kalu aku Tanya mengapa dia hanya
menjawab, makanya kalau mentoring jangan bolos aja, jadi ilmunya belum sampai.
Pffft, tapi bagiku berbicara dengannya seperti sedang mentoring, tapi jangan
harap serius! Dia orang yang paling tidak bisa serius, khusyuk itu paling
ketika sholat, selain itu dia tertawa. Aku
ingin seperti dia, santai tidak mempunyai pacar, santai tidak ada yang sms, ah
dia terlalu logis tentang percintaan! Dan satu hal yang paling aneh ialah, dia
hidup tidak bergantung pada ponselnya, itu yang menurutku hebat. Tak masalah
jika tidak ada yang menghubunginya seharian penuh, dan ketika aku bilang
“hapeku sepi” dia hanya tersenyum dan mengatakan “jangan tergantung sama hape”.
Ketika aku merasa menjadi orang yang paling menderita dia selalu mengingatkanku
bahwa selalu ada orang yang lebih menderita dibandingkanku. Dan ketika aku
tidak mendapatkan yang aku inginkan, dia pun selalu mengingatkanku, akan hal
yang lebih aku butuhkan dibanding aku inginkan. Dia bukan tipikel orang yang
perhatian, dan tidak suka kalau aku manja, tapi dia berusaha menjadi saudara
yang baik. Selera kami berbeda, dan Kita seringkali berbeda pendapat, diantara
kami tidak ada yang ingin mengalah, merasa paling benar tapi itu tidak membuat
kami lalu bertengkar, karena ada kata-kata andalannya yang bikin suasana
mencair “gullet aja gimana”, dan kami pun tertawa. Dia itu orangnya keras,
wataknya sangat keras, kalau kata orang Cirebon mah “bener jare dewek bae”, dan
tidak ingin disalahkan. Menyebalkan, tapi Dia tidak segan membantuku ketika aku
sedang kesulitan, tapi kalo sudah ada setannya, jangan haraaaap. Aku suka
mengenalnya, dia seperti alarmku, memberitahu ketika aku salah, dan mensuportku
ketika aku jatoh, dan mencubitku ketika aku futur. Aku suka dengan pandangan
hidupnya, dia sangat gampang dalam menjalani hidup, tidak dianggap sulit,
karena menurutnya apa yang kita tanam, akan kita petik. Dan aku sangat
berterima kasih padanya akan semua hal yang telah dia lakukan padaku. Semoga
kita akan terus bersaudara hingga Izroil mencabut nyawa kita, aamiin. uhibuki fillah J
Sabtu, 30 Juni 2012
Kamis, 07 Juni 2012
Kampus, Masyarakat, Pemerintah
Tadi ketika pulang kuliah saya
iseng ambil foto kampus, sambil nunggu Nining yang sedang sholat. Lalu pa
satpam bertanya untuk apa ambil foto kampus, dan saya menjawab “saya kuliah
tinggal setaun lagi pa, jadi hal-hal menarik tentang kampus saya abadikan
karena dari sini saya menorehkan sejarah saya,hehe”. Saya mengambil gambar ini
“Jagalah Nama Baik Almamater
Unswagati dimanapun berada”
Lalu saya iseng ngomong “Udah tak
jagain almamaternya, tapi uang kuliah ko gak turun-turun.” Dan ternyata ocehan
didengar oleh pa satpam. pa satpam pun bilang “orang udah turun neng”, saya
menimpali “apaan, entar mulai semester depan baru mulai turun tau pa, katanya
mau negeri, kapan pa realisasinya?” Lalu ada dosen yang ikut nimbrung obrolan
saya dan pa satpam, saya ngga tau siapa, mungkin dosen dari prodi lain, dan
dari sinilah perbincangan yang membuka fikiran saya dimulai, dari sinilah saya
merubah paradigma saya.
Kampus saya sudah
digembor-gemborkan akan berubah alih statusnya dari (Perguruan Tinggi Swasta)
menjadi PTN (Perguruan Tinggi Negeri) sejak tahun 2009, yaitu ketika saya baru
masuk kuliah, dan sampai sekarang tahun 2012, saya semester 6 dan Insya Allah
setahun lagi lulus, kampus saya belum menjadi negeri. Apakah yang salah, hingga
prosesnya berlarut-larut? Bukankah peralihan ini merupakan instruksi langsung
dari gubernur, tapi kenapa sampai sekarang kampus negeri kami belum dibangun.
Dan ternyata masalah utamanya adalah masalah pembebasan tanah, dan itu sudah
tidak asing lagi di telinga saya. Syarat untuk menjadi PTN harus memiliki luas
tanah minimal 30 hektar (pantas saja kalo saya mengunjungi kampus negeri itu ko
berasa besar banget, dibanding dengan kampus saya sekarang yang Cuma secuprit)
dan pihak kampus baru membeli tanah sekitar 14hektar, kurangnya masih diurus.
Loh, kok bisa pembebasan tanah lambat begitu? Emangnya orang-orang yang punya
tanah gak pada mau ngejualin tanah mereka? Apa kampus ngga punya uang banyak
buat ngebebasin tanahnya? Bukan itu tonggak
permasalahannya. Permasalahan utama adalah para mafia tanah yang menyulap tanah
dari harga Rp. 10.000/meter menjadi Rp. 200.000/meter, hah? Berkali-kali lipat
jumlahnya. Dan kalo dikali hektaran hmmm banyak banget uangnya. Gak habis
pikir. Lalu saya ingat perkataan dosen saya yang professor, dia bilang “orang
jadi negeri aja belum, pake digembor-gemborin segala”, pantes aja harganya jadi
ngelambung gitu, yang hampir gak masuk akal. Sempat menyalahkan pihak kampus
karena masalah “mensosialisasikan” ini, namun ternyata jauh sebelum pihak
kampus “mensosialisasikan” peralihan status dan akan membangun kampus di tempat
tersebut, para tuan tanah sudah mengetahui hal tersebut. Hayoloh, jadi siapa
nih yang “menggemborkan”??? Hmm, mereka bilang, bisa Tanya ke para penguasa.
Ooooh. Mulai paham saya. Dan Yang parah untuk pasaran tanah yang leter C (ngga
tau nih bener gak tulisannya), jadi tanah yang leter C itu tanah yang belum
bersertifikat harga yang semula Rp. 10.000 menjadi Rp. 200.000, dan untuk tanah
yang bersertifikat harganya yang semula Rp. 30.000 menjadi Rp. 400.000, belum
lagi tanah yang di pinggir jalan harganya mencapai 1-2 juta/meter. Tiba-tiba
muncul pertanyaan saya, itu tanah mahal begitu emangnya tanah yang udah ada
rumahnya apa? Dan ternyata, sama sekali tidak, itu hanya tanah gersang, yang
untuk mencari sumber airnya harus ngebor dengan kedalaman sekian (saya lupa
berapa tepatnya). Gila, tanah panas, gersang dan jauh dari mana-mana sampai
mahal gitu.
Sedih banget sih ngedengernya,
selain karena hal ini bakal memeperlambat status peralihan negeri kampus saya,
tapi juga sedih ngeliat ternyata orang-orang di kota saya tidak perduli dengan
pendidikan. Dan benar saja, menurut pa satpam dan pa dosen, di daerah itu
kebanyakan masyarakat hanya lulusan SMP, lulusan SMA ataupun perguruan tinggi
dapat dihitung dengan jari, dan perempuan lulus smp sudah langsung menikah.
Pantas saja, pikir saya. Kalau orang yang mengerti pendidikan akan akan
membantu untuk melancarkan peralihan ini. Kata Pa dosen, contoh paling real itu
UNPAD Jatinangor, itu sebelum jadi UNPAD, daerah Jatinangor adalah hutan,
sumber air pun harus ngebor, dan dibawahnya itu adalah jurang, cadas pangeran.
Tapi masyarakat sana mendukung, sampai UNPAD menjadi perguruan tinggi favorit,
dan asumsi saya Jatinangor itu “hidup” karena UNPAD, dan kalau ngga ada UNPAD
Jatinangor bakal jadi hutan biasa. Kenapa masyarakat kota saya tidak seperti
mereka. Ironi ketika pembangunan Mall didukung, namun pembangunan sarana
pendidikan dipersulit.
Dulu sempat mikir, pasti
keterlambatan kaya gini tuh karena birokrasi yang ngga beres, tapi ternyata
karena masyarakatnya sendiri yang kurang mendukung. Masyarakat sering bertanya
“Kapan nih unswagati jadi negeri? Omongnya doang nih!” Harusnya masyarakat tahu
apa penyebab utamanya, bukan Cuma menjudge semua ini salah kampus. Malah ada
yang bilang yayasan gak mau melepaskanlah, inilah, itulah. Saat CUF 2012
kemaren, saya sempat berbicara dengan KAUR Kemahasiswaan saya, dan saya sebagai
mahasiswa banyak yang saya protes dari kampus. Banyak yang saya tanyakan salah
satunya adalah kok bisa-bisanya kampus belum dibangun tapi perumahan dosen
dibangun, gede-gede lagi. Enak bener jadi dosen di sana. Dapet gaji dapet rumah
dinas pula, dan saya mendapat jawaban yang mengagetkan. Ternyata rumah dinas
itu tidak gratis, beli rumah disana sama kaya beli rumah di perumahan-perumahan
lain malah harganya lumayan mahal, dosen dianjurkan untuk membeli, tapi tidak
dipaksa. Lalu kami ngobrol tentang peralihan status lagi dan lagi, ya tetap
masalah utama itu adalah tanah. Sama halnya seperti saya dan mahasiswa yang
lain, dosen-dosen pun sangat ingin peralihan status ini dipercepat, padahal
kalau berubah statusnya gaji mereka akan berkurang, tapi mereka juga ingin kualitas
kampus meningkat. Ini yang merubah paradigma saya, birokrasi kampus saya tidak
selamanya buruk, banyak hal-hal yang telah mereka lakukan untuk memajukan
kampus saya, kampus kita.
Jujur, saya hanya ingin kampus
saya maju. Saya ingin cukup saya yang merasakan kurangnya fasilitas kampus,
adik-adik tingkat saya jangan merasakan. Kampus saya sudah berdiri 51 tahun,
tapi kenapa kualitas nya sangat jauh dibanding dengan kampus-kampus yang baru
berdiri 20tahun, bahkan menurut saya sangatlah terbelakang. Entah apa
penyebabya, tapi saya sayakin salah satunya adalah dengan system penerimaannya.
Tidak ada seleksi yang ketat dalam PMB, sehingga orang-orang beranggapan bahwa
tes PMB di kampus saya hanyalah formalitas belaka. Dari kampus saya ini tidak
pernah sepi peminat. Entah itu karena tidak diterima di universitas manapun,
atau memang karena benar-benar ingin kuliah disana. Tapi, alasan pertama sangat mendominasi. Kampus yang tidak pernah sepi peminat, tapi
kenapa seolah-olah sepi peminat, dan semua calon mahasiswa diterima semua?
Tanpa penyaringan semuanya bisa kuliah disana. Ini hal yang benar-benar harus
dibenahi untuk menuju kampus yang memiliki lulusan yang berkualitas sesuai
dengan visinya.
Menurut saya, salah satu jalan
untuk menjadi universitas yang berkualitas adalah dengan peralihan status ini.
Dengan peralihan status, kampus saya akan lebih diperhatikan pemerintah,
sehingga sedikit-demi sedikit kekurangan akan dibenahi. Ketika menjadi negeri,
PMB pun akan sangat diperhatikan, karena akan masuk salah satu daftar PTN dalam
SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Ketika sudah masuk
dalam SNMPTN, dengan sendirinya kampus saya akan diketahui seluruh warga Negara
Indonesia, tidak seperti sekarang. Ketika saya menjadi delegasi dalam
musyawarah daerah IMAKIPSI (Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Seluruh Indonesia) di UNJ, teman-teman dari universitas lain selalu bertannya
“Unswagati itu dimana ya? Cirebon itu dimana?”. Kebanyakan yang bertanya adalah
teman-teman dari luar Pulau Jawa. Ketika sudah dikenal Nasional, hal ini dengan
sendirinya akan mengangkat nama Cirebon pula. Tapi tidak saya pungkiri, sebelum
menjadi PTN pun kampus saya sudah cukup diketahui, terlihat dari banyaknya
mahasiswa FK yang berasal dari luar pulau (bahkan orang Cirebonnya saja dapat
dihitung dengan jari), ada yang dari Sumbawa, Riau, Kalimantan. Kemarin saat
ospek pun banyak mahasiswa baru yang berasal dari Jambi, Jogjakarta, Jakarta
dan kota lain di Indonesia.
Banyak sekali manfaat yang dapat
diambil dari peralihan status ini. Kalau saja masyarakat kota ini, penjual tanah,
dan masyarakat sekitar calon kampus negeri saya mengetahui, tapi sayangnya
mereka masih mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan yang dapat
membangun masyarakat Cirebon ini. Dengan peralihan status ini, perekonomian di
Cirebon khususunya daerah sekitar “calon” kampus saya akan meningkat, dan saya
yakin Cirebon tidak akan kalah saing dengan kota-kota tetangga J
Rizky Purnama
Untuk UNSWAGATI, kampus tercinta
dengan sejuta pesona.
“Pendidikan merupakan suatu
investasi yang tak akan merugikan”
Langganan:
Postingan (Atom)