Mengajar di daerah terpencil membuatku untuk tidak menaruh
harapan yang tinggi. Karena terkadang ekspektasi hanya berujung kekecewaan atau
bahkan membuat terkejut. Tapi aku tidak
boleh berputus asa, aku yakin mereka bukan tidak bisa melainkan tidak adanya
fasilitas, lagi-lagi masalah akses. Aku pun tak melulu hanya mengajarkan mereka
tentang program linear ataupun matriks, aku lebih mengajarkan tentang hidup
pada mereka, paling tidak mereka tidak sekedar tahu yang itu-itu saja.
Setahun mengajar, sudah lumrah rasanya melihat hampir 90%
siswaku remedial. Hal biasa, karena rasanya sulit memang mengajarkan polynomial
ketika mereka belum pernah belajar aljabar atau mengajarkan program linear
ketika perkalian mereka belum khatam. Pemahaman mereka memang harus dibentuk.
Tidak cukup jika setahun. Logikanya kita belajar matematika di SMP selama tiga
tahun, dan mereka tidak merasakan belajar matematika saat SMP, dan tiba-tiba
setahun mereka harus paham semuanya, mustahil rasanya.
Hari-hari berlalu, dan aku mengajar semampuku. Aku paham
betul fungsi sekolah untuk mereka. Sekolah merupakan tempat istirahat dari
pekerjaan fisik yang cukup melelahkan. Ya, siswaku tak seperti siswa kebanyakan
yang tugasnya hanya belajar. Banyak pekerjaan yang mereka lakukan di pagi hari
sehingga siang hari ketika sekolah mereka hanya beristirahat. Fisik mereka
lelah, mungkit otak mereka hanya menginginkan satu kata, tidur.
Tapi bagiku, mengajar mereka merupakan suatu kegiatan yang
menyenangkan. Mereka memang lelah dan beristirahat di sekolah, namun mereka
tetap excited dengan pelajaranku, walaupun ujungnya nanti mereka bilang “Beta
pusing ibu, kermana bisa begitu?”. Lalu aku menjelaskannya berulang-ulang
sampai nanti mereka bilang “Nah, kalau begini beta su mengerti, tapi beta yakin
besok pasti su lupa lagi.”
Diantara siswa yang seperti itu ada dua orang siswa yang
menurutku sangat cemerlang. Mereka bagai bintang di hamparan langit luas. Aku
tak berlebihan. Mereka adalah Tirsa Natbais kelas XI IPA dan Yani Taemnanu
kelas X. Tirsa dan Yani tak hanya pintar matematika, mereka pintar sema
pelajaran dan selalu menjadi juara umum.
Tirsa pernah tidak masuk sekolah karena sakit saat
pelajaranku. Keesokan harinya di sekolah, dia bertanya padaku tentang pelajaran
kemarin. Ketika ulangan, dia mendapat nilai paling besar. Ketika akan diadakan
olimpiade matematika se-Kab. Kupang aku merekomendasikan dirinya. Aku pun
menjadi pembimbingnya. Dia bersemangat sekali. Dia bisa menjawab soal denga
benar. Aku hanya perlu mengajarkan sekali, dan dia sudah benar-benar paham.
“Walaupun tidak jadi mengikuti olimpiade, paling tidak saya sudah belajar
banyak, lebih dari teman-teman saya.” Itu kata Tirsa setelah akhirnya
mengetahui kami tidak jadi ikut Olimpiade karena hujan besar yang melanda
mengakibatkan jembatan putus, sehingga kami tak bisa ke kota.
Lain halnya dengan Yani. Yani adalah adik dari teman guruku
di sekolah, dan anak perepmuan satu-satunya di keluarga. Dia pendiam orangnya,
tapi otaknya sangatlah encer. Aku pernah melihat dia membaca buku dengan pelita
saat aku berkunjung ke rumah teman guru. Dia juga satu-satunya siswa yang
membawa buku untuk belajar saat disuruh orang tuanya membantu memasak untuk
kami, guru-guru. Ketika aku bertanya di kelas, dia hanya menjawab lirih. Dia
pemalu, padahal semua jawaban yang keluar dari mulutnya benar. Nilainya untuk
mata pelajaran matematika juga selalu bagus. Pernah kakaknya (teman guru)
bilang “Yani pernah dapat ulangan nilainya kecil, dia tak henti-hentinya
menangis., dan nanti belajarnya akan lebih keras lagi.
Lalu aku tersadar. Selalu ada lilin terang di setiap
kegelapan. Aka nada anak yang cemerlang di tengah semua keterbatasan. Aku
yakin, jika Tirsa dan Yani hidup dari kecil di Jawa yang fasilitas serba ada,
mereka akan menjadi bintang. Mereka cerdas alami, tanpa bantuan buku yang
memadai, tanpa penerangan, dan tanpa fasilitas.
Yani (Tengah) |
Tirsa (Kanan) |
Aku berpesan pada kedua orang tua mereka saat berpamitan
“Mama, mereka (Yani dan Tirsa) harus sekolah sampai tinggi. Mama harus tau,
anak mama berdua sangat pintar.” Berkata seperti itu membuat orang tua mereka
menangis, kemudian berkata “Pasti Bu, kami akan menyekolahkan mereka setinggi
mungkin yang kami bisa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar