Aku hidup mandiri di penempatan,
maksudnya tidak tinggal bersama penduduk asli. Aku hanya tinggal berdua dengan
Nesya, teman sepenempatanku. Kami tidur, makan, memasak, mencuci sendiri.
Masalah perut adalah masalah yang
krusial dan amat sangat penting. Kami harus memasak, karena jika kami tak
memasak, kami tidak bisa makan. Tak mungkin juga kalau minta makanan terus ke
Mama Desa atau Mama Pendeta. Tak mungkin juga kalau harus tiap hari makan mie
instan atau telur (anw telur harganya mahal). Karena hal itu, dimulailah kreasi
makanan ala ala chef Kiky.
Aku tahu masak. Nesya tahu makan.
Nesya bilang dia malas masak karena panas. Jadi dia menyerahkan urusan masak
memasak kepadaku. Untungnya Nesya tipe omnivore, pemakan segala. Kadang masakan
yang menurutku rasanya gak karuan, Nesya tetap memakannya. Sayang kalau
dibuang, begitu katanya.
Kebiasaan dirumah adalah makan
makanan lebih dari satu macam. Mamaku selalu memasak makanan lebih dari satu
macam. Kebiasaan itu yang aku terapkan di penempatan, Nesya menyetujuinya. Di
penempatan aku menjadi kreatif mengolah bahan makanan. Sudah bukan menjadi hal
yang aneh manusia yang terdesak oleh keadaan akan lebih kreatif.
Biasanya kami (aku dan Nesya)
membeli stok makanan instan di Kupang seperti sarden, kornet, bihun, mie
instan, spageti, kuetiauw, saus,cemilan
bahkan mayones. Oke, kami memang termasuk yang lebay dalam membeli stok
makanan. Kadang kami membeli tomyam instan, atau bahkan keju dan meisis. Alibi
kami adalah agar tidak bosan makan yang itu-itu saja. Sempat ingin seperti
Fitrah yang membeli bumbu instan rendang dan opor, kemudian menggunakan terong
sebagai pengganti daging, tapi kami urungkan niat tersebut, kami lebih memilih
rasa rendang dan soto pada mie instan.
Biasanya makanan instan stok dari
Kupang untuk sarapan, sedangkan siang dan malam hari kami berbelanja di pasar,
yang ada setiap hari Senin. Sarapan kami seputar nasi goring, spageti, mie
instan, dan kwetiau. Sebenarnya di Pasar hanya ada sayur-mayur, jadi kami membeli
sayur untuk hari Senin, Selasa dan Rabu. Sedangkan Kamis, Jumat dan Sabtu kami
makan kering alias tanpa sayur, dan hari Minggu akan makan sarden. Begitu awal
mula di penempatan.
Lama-kelamaan kami merasa makanan instan tak
sehat, akhirnya aku mulai berpikir untuk mengolah makanan dan menghindari
sarden (fyi: kami sampai merasa makan sarden seperti makan kaleng). Di Kupang
kami membeli sayuran yang tahan lama seperti kentang. Kentang kuolah menjadi
perkedel atau campuran sup, atau kubuat kentang mayones. Pernah juga ku olah
menjadi bola kentang isi keju dimasak asam manis. Rasanya, ya kalau kata Nesya
enak. Kataku, ya begitulah. Pernah kami diberi kol segelondong, besar. Lalu
kubuat soto, tanpa ayam tanpa daging. Yaa intinya kol, bihun, dan kuah kuning.
Soto kan namanya? Atau pernah di pasar ada ikan kering, katanya namanya ikan
krismon. Aku memasaknya dengan saos, rasanya hampir mirip sarden tanpa rasa
kaleng. Tapi setelahnya badan Nesya gatal-gatal, jadi besok-besok kami tak
membeli ikan kering lagi.
|
ini soto ala-ala |
Hidup di Amfoang berarti hidup
menurut musim. Setahun hidup disini kami pernah membali cabe dari mulai satu
genggam Rp. 2000,- sampai 8 buah Rp. 8.000,- Kalau sudah harganya mahal begitu,
kami siasati dengan cabe bubuk. Pernah makan tumis kangkung pakai cabe bubuk? Atau
bumbu pecel pakai cabe bubuk? Kami sering kalau cabe mahal. Rasanya enak, gitu
kata Nesya.Di musim panas, kami bisa dapat tomat Rp. 2000,- satu kresek, tapi
di musim panas, jangankan tomat, pasar isinya hanya labu, sayur pucuk labu tak
ketinggalan sirih dan pinang yang setiap musim tak pernah absen. Fyi, aku
pernah masak sayur pucuk labu, kemudian perutku langsung kontraksi, dan diare.
Memang, katanya labu dan sayur pucuk labu tak cocok bagi sebagian perut orang.
Pernah saat musim panen jagung,
kami diberi jagung oleh mama desa, mama pendeta. Pagi siang sore. Awalnya
diolah menjadi perkedel jagung, lalu kadang sup jagung, sampai kadang semua
masakan kucampur jagung. Aku juga pernah membuat emping melinjo. Di desa bawah
banyak pohon melinjo, aku memakai daunnya untuk membuat sayur asem, dan
penasaran mengolah melinjo menjadi emping. Arinda (teman SM-3T dari Siumate
yang berkunjung ke tempatku) saat kuberi emping, dia bilang rasanya enak. Iya
enak, membuat emping nya sedikit, korbannya cobek kami terbelah menjadi lima. Aku
juga sempat iseng membuat kolang kaling, karena di desa atas banyak pohon
kolang kaling, tapi buahnya dibiarkan saja membusuk jatuh di tanah. Masyarakat
tak memakannya, mereka bilang gatal. Kemudian aku dibantu dengan Mama desa
mengolahnya, dan berhasil, lalu kubuat manisan, tidak gatal namun agak keras
karena terlalu banyak kapur saat merendamnya.
Walaupun dekat dengan pantai, tapi bukan
berarti ada ikan setiap saat.Ikan melimpah ketika musim penghujan. Saat itu
harga ikan sedang murah-murahnya. Rp. 20.000 untuk 3 ekor kakap merah, Rp. 5000
untuk cakalang. Tapi kalau tiap hari makan ikan juga ada bosannya. Jadi aku
memasaknya berbagai varian. Kadang ku masak balado, kadang ku filet kemudian
goreng tepung dan dimasak asam manis, atau kadang dimasak acar ikan, kalau
sudah mentok ya di goreng aja udah. Pernah kami membeli udang dan kepiting,
kemudian kutanya pada Nesya “mau dimasak apa?”, Nesya langsung menjawab
“Terserah Lo.” Kucampur saja dengan saos, jadilah udang dan kepiting saus tomat.
Kami juga hobi ngemil. Pokonya
kalau ke Kupang, pasti satu kardus belanjaan penuh dengan cemilan, yang
direncanakan untuk tiga bulan tapi kenyataannya hanya dalam waktu seminggu
sudah lenyap. Jadi mau tak mau aku membuat cemilan sendiri. Kami membeli
berbagai tepung di Kupang, tepung terigu, tepung ketan, tepung beras, tepung
kanji. Mulailah membuat klepon, pempek, cireng yang seperti karet, donat yang
bantat, rempeyek, onde-onde, ah kadang kalo iseng campur-campur semuanya hehe,
mayan buat di kunyah.
Aku sering mengirim masakan ke Mama Desa, Mama Pendeta, atau teman-teman guru. Kalau aku kirim, mereka langsung bilang "wah masakan Jawa"(?). Nanti kutanya rasanya bagaimana, mereka pasti menjawab "enak'. Entah itu karena hanya menyenangkan hatiku, atau memang beneran enak.
Kami memang hidup dengan
keterbatasan dan makan alakadarnya, tapi satu tahun di penempatan berat badan
kami naik, apalagi Nesya. Bulan pertama hidup dipenempatan, hidupku tak jauh
dari diare, hingga beratku turun hampir 6 kilo, tapi setelah adaptasi malah
berat badanku melonjak lagi, hingga nmelebihi berat badan yang awal. Kufikir
memang benar, Alah bisa bukan karena biasa namun karena terpaksa. Seperti aku
yang tiba-tiba bisa menjadi chef disaat terdesak.