Bagiku perpisahan tak akan pernah menyenangkan, Entah itu
dengan pacar,keluarga, sahabat, atau bahkan saat ini. Aku tahu tugasku disini
hanya satu tahun, dan ketika ada pertemuan pastinya akan ada perpisahan.
Perspisahan yang bagi sebagian orang merupakan suatu kesedihan, tapi mungkin
bagi sebagian lagi merupakan suatu kebahagiaan. Kalau bagiku saat ini
perpisahan camur-campur rasanya antara senang dan sedih. Senang karena masa
tugasku telah habis, aku akan bertemu keluargaku di tanah kelahiranku. Tapi
perpisahan ini juga membuatku sedih, meninggalkan keluarga baru yang sudah
setahun ini menemaniku, teman, sahabat, anak murid, dan kebiasaan-kebiasaan
satu tahun ini. Ini yang membuat perpisahan menjadi sulit.
Satu tahun bukan waktu yang sebentar mengukir pengalaman
disini. Hal-hal yang dulu kuanggap tabu harus menjadi biasa disini. Hal yang
sebelumnya tak pernah kufikir bisa kulakukan, kulakukan disini. Hal-hal yang belum
pernah aku lakukan, kulakukan disini. Hal yang tak pernah kutahui, aku tahu
disini.Ah begitu banyak hal-hal tersebut yang membuatku sedih meninggalkan
tempat ini. Tapi, perpisahan ini memang harus begini adanya. Karena setiap yang
bertemu memang harus berpisah.
Minggu-minggu akhir berada disini rasanya memang tak ingin
pulang. Banyak kegiatan disini, dari mulai sekolah, desa sampai kecamatan.
Teman-teman guru dan anak-anak makin sering berkunjung kerumah. Bahkan di
akhir-akhir setiap hari mereka ke rumah hanya untuk sekedar menemani atau
bersenda gurau sambil ngecas hape. Lalu mereka membuat kopi dan aku memasak
alakadarnya. Kami semua makan sambil tertawa. Sudah malam kuusir mereka karena
aku yang mengantuk, tapi mereka pasti bilang “Nanti do ibu, Ibu su mau pulang
ju.” Jadilah aku tidak jadi tidur. Menunggui mereka yang belum pulang.
Minggu-minggu terakhir juga aku makin sering mengobrol
dengan orang rumah. Mama dan Bapa yang super sibuk. Kadang aku menemani mama
yang bertani di belakang Balai Desa. Atau iseng-iseng bertamu kerumah orang.
Atau main ke rumah Bai Tapatab gara-gara mau makan ikan lele, dan Bai bilang
“cukup empat su”, padahal aku ambilnya lima. Atau juga memasak bareng mama dan
anak-anak. Mereka bilang masakan Jawa. Entah aku masak apa pokonya nanti mereka
akan komentar “Enak dan Pedis.” Padahal aku yakin makananku kurang ini kurang
itu, maklum koki amatiran.
Sampai saatnya tiba aku pamit kepada masyarakat, aku
mendatangi rumah mereka satu per satu dan tangis itu mulai pecah. Tangis yang
tulus dari dalam diri mereka. Tangisan yang penuh arti bagiku. Dan juga
kata-kata mereka “Pulang bae-bae Ibu, terimakasih.” Seharusnya aku yang
berterimakasih, bukan mereka.
Tim sepakbola sekolah tak menghadiri perpisahan karena harus bertanding di kecamatan malam harinya mereka datang ke tempat tinggalku dan berkata 'Ibu su mau pulang, mari kotong foto!" |
Rizky Purnama
SM-3T IV UPI
Kab. KUPANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar