Papa adalah seorang guru olahraga yang bertugas di sekolah
dasar. Biasanya jika orangtua mengampu suatu mata pelajaran, sang anak otomatis
akan menjadi ahli di mata pelajaran tersebut, tapi tidak denganku. Aku payah
dalam olahraga. Badanku ringkih dan penyakitan saat kecil. Nilaiku selalu di
ambang batas untuk mata pelajaran olahraga. Bukannya Papa tak mengajariku
olahraga. Papa rutin mengajak kami berenang, sekedar berlari, main ke stadion
olahraga, bahkan Papa mengajak anak satu komplekku untuk main kasti di lapangan
setiap hari Minggu. Hanya saja, aku yang selalu “bermain” ketika Papa
mengajariku olahraga.
Saat Sekolah Dasar, Papa rutin mengajak aku dan kedua
kakakku berenang. Kami berenang bersama teman-teman satu komplek, atau hanya
berempat. Aku yang saat itu masih kecil, kerjanya hanya “main air”. Bahkan
ketika kedua kakakku sedang serius berlatih renang, aku hanya bermain, sambil
sesekali mengganggu mereka yang sedang belajar. Ketika papa ingin mengajariku,
aku malah lari, tak ingin belajar renang, terus bermain, dan bermain. Alhasil,
hingga sebesar ini aku tak bisa renang. Hingga Papa meninggal, dan kami
berenang sekeluarga, kakakku berenang dengan gaya-gayanya. Sedangkan aku, hanya
bisa menatap iri. Sambil berkata pada mereka “Ko, Kiky ga bisa sih.” Kakakku
hanya tersenyum sambil berkata “Makanya, dulu waktu diajarin berenang sama Papa
jangan main terus.” Aku menyesal.
Saat SMP, Papa mengikuti pendidikan wasit bola voli, dan
Papa resmi menjadi wasit voli. Banyak pertandingan yang Papa pimpin, skala
local hingga skala nasional. Suatu kali, ada pertandingan Pro Liga di kotaku.
Papa mengajakku untuk menonton. Aku selalu senang pergi dengan Papa, bukan
karena suka dengan voli, melainkan jika pergi dengan Papa, aku akan mendapatkan
apa yang aku inginkan. Aku pun duduk di bangku penonton ketika Papa memimpin
pertandingan. Yang kulihat dari atlet volley adalah mereka semua cantik,
hahaha. Saat jeda pertandingan aku diajak papa makan. Kami makan sambil
ngobrol. Papa bilang ‘Tau ngga, De? Itu pemain volley itu hampir rata-rata
pemain bayaran. Perusahaan yang narik dia untuk main buat perusahaannya.
Kerjaan yang cari mereka, bukan mereka yang cari kerjaan.” Papa kemudian
membujukku untuk masuk klub volley. Setiap pulang sekolah Papa menyuruhku
latihan volley, dan aku selalu ada saja alasannya. Aku tak suka volley. Hingga
mungkin Papa jengah, dan berhenti membujukku. Hingga aku sebesar sekarang, aku
sama sekali tidak bisa main volley. Ketika ada pertandingan, aku hanya bisa
jadi penonton yang meramaikan, bukan yang ikut andil dalam permainan.
Sampai ketika SMA, aku ikut ekskul olahraga. Softball. Ikutan
Kakakku yang ikut softball juga. Itu pun mainnya gak bagus-bagus banget.
Latihannya juga males-malesan. Berbeda dengan kakakku yang main hingga Bandung, dan menang
pula. Sampai kalau latihan suka dibandingkan. Dan aku paling tak suka kalau
papa menontonku ketika latihan atau pertandingan. Pasti kmentar Papa banyak,
dan aku tak suka dikomentari, apalagi komentar yang jelek.
Hingga usia yang menginjak seperempat abad, aku memang tak
bisa olahraga. Rasanya menyesal karena
dulu yang tak serius ketika belajar olahraga bersama Papa. Kadang sempat terfikir “Coba kalau dulu belajar
bener, pasti kalo ada volley bisa ikutan”, Ah tapi ya sudahlah.
Papa memang tak memaksakan kami untuk jago dalam olahraga,
Papa hanya menganjurkan kami olahraga agar badan kami sehat dan bugar. Aku memang buah yang jatuh jauh dari pohonnya, tapi aku tetap buah yang tumbuh dari pohonnya, Ah Papa, aku rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar