"Tenang aja, ditempatin dimana saja pasti sudah ada listrik. Wong listrik sudah masuk desa." - Mama
Sebelum berangkat ke penempatan, lebih tepatnya saat prakondisi dan memberi tahu mama ditempatkan di Kupang, via telepon saat itu, mama selalu bilang begitu.
Nyatanya, ketika sampai di Kupang yang merupakan ibukota provinsi NTT, listrik kerap kali mati. Sehari sebelum ke penempatan, di LPMP kami bertemu dengan Kepala Sekolah tempat tugas kami dan beliau bilang
'Tenang sa Ibu, di AMBAL (Amfoang Barat Laut) su ada listrik, dari jam 6 sore sampai jam 12 malam."
Mama ternyata salah. Sesampainya di penempatan Desa Oelfatu, Kecamatan Amfoang Barat Laut, memang benar listrik hanya tersedia 6 jam. Jam 12 malam tepat, listrik mati. Gelap, sangat gelap. Agaknya jetlag, ketika biasanya bisa menyalakn lampu kapan saja, sekarang tiba-tiba harus terbiasa hanya terang ketika malam hari. Baterai hape dan laptop pun dipakai sehemat mungkin. Kadang aku dan Nesya jika ingin menonton film di laptop, harus bergantian. Maksudnya, jika laptop Nesya mati kita akan pindah nonton di laptopku.
Keuntungan hidup di dekat Bapa Kepala Desa adalah aku bisa mengetahui tentang semua yang ada di desa ini. Dan pertanyaanku pun muncul. Kenapa Listrik hanya 6 jam, sedangkan di Kupang 24 jam (ya walaupun banyak matinya dibanding nyalanya). Ternyata PLN belum masuk sini. Aku kaget. Lalu, dari mana asalnya listrik yang selama ini dipakai?
Jadi pada tahun *lupa*, pemerintah memberikan bantuan mesin diesel bertenaga solar untuk membantu penerangan desa. Masyarakat gotong royong untuk membuat aliran listriknya, seperti tiang listrik dan kabel semuanya dikerjakan oleh warga. Jangan pikir tiang listriknya sama seperti yang biasa kalian lihat, ya. Tiang listriknya hanya berupa batang-batang pohon yang ditanam di dalam tanah.
Walaupun satu desa diberi satu mesin, mesin itu tak dapat mengcover seluruh penerangan warga desa. Jarak antar rumah yang sangat jauh menjadi salah satu kendalanya. Dan kendala yang utama adalah masalah bahan bakar. Enam desa di kecamatan ini masing-masing mendapatkan mesin diesel, namun ketika saya datang pertama kali, hanya ada tiga desa yang menggunakan mesin tersebut. Sisanya? Mesin hanya didiamkan begitu saja hingga lama-kelamaan seperti tumpukan besi yang tak berguna.
Alasan utama kenapa mesin tidak digunakan adalah masalah solar. Seperti yang Bapak Desa pernah bilang kepadaku, masalah listrik ini masalah yang pelik. Untuk menyalakan listrik selama 6 jam, mesin membutuhkan 35liter solar. Dengan harga bahan bakar di wilayah amfoang yang diatas harga normal, ditambah kebutuhan solar yang tidak sedikit, dan perawatan mesin yang membutuhkan biaya, warga harus membayar listrik tiap bulan sebesar Rp. 50.000,- (sebelum bbm naik). harga itu mrupakan hanya pemakaian penerangan saja, jika memiliki barang elektronik selain lampu, harganya akan bertambah.
Dengan kemampuan ekonomi warga yang jauh dari kata cukup, hal ini membuat masalah listrik menjadi masalah yang tak pernah berujung. Sehingga tiga desa tersebut memutuskan untuk tidak menggunakan mesin lagi. Sehingga desa menjadi gelap ketika malam tiba.
Hal yang sama juga terjadi di desa Oelfatu, Desa penempatanku. Percaya atau tidak, setiap awal bulan Bapak menyuruhku untuk mengetik tunggakan listrik warga desa. Bapak lelah mengurus masalah listrik. bahkan setiap awal bulan listrik pasti mati, karena desa tak mampu untuk membeli solar. Hingga akhirnya, pada bulan Januari listrik desa Oelfatu benar-benar mati.
Aku dan Nesya yang saat itu baru datang dari Kupang karena liburan semester kaget ketika Mama dan Bapa memberitahuku. Aku dan Nesya hanya saling tatap, sedih. Selama listrik mati setiap malam aku dan Nesya hanya mengobrol sambil ngemil atau minum, duduk bercerita dalam gelap dan bantuan lilin. Aku belum terbiasa untuk membaca dalam gelap. Jadi hanya itu yang bisa kami lakukan. Untuk kebutuhan cas, setiap malam Minggu, genset gereja dihidupkan, sehingga aku dan Nesya biasa mengisi daya baterai alat elektronik kami.
Masalah listrik ini memang masalah yang tak berujung. Kebanyakan daerah di Kabupaten Kupang memang tak dilengkapi dengan listrik. Entah mengapa P*N tak masuk ke desa-desa di Kab. Kupang. Lalu yang kuadari bahwa medan disini sangat berat. Contoh paling gampang adalah desaku. Desa penempatanku dihubungkan dengan sungai-sungai besar yang jika musim hujan arusnya sangat dahsyat, mungkin itu hal yang mendasari P*N tidak masuk sisni. Tapi anehnya, kecamatan sebelah, Amfoang Utara yang merupakan kota kecamatan sudah dialiri aliran listrik dari P*N walau hanya 12 jam. Entahlah apa yang menyebabkan hal itu. Mereka hanya bilang karena kota kecamatan, jadi pembangunan utama akan berpusat di kecamatan tersebut.
Semoga, tahun-tahun kedepannya akan ada sumber daya listrik yang lain yang dapat menerangi desa. Karena memang tak bisa dipungkiri bahwa listrik merupakan salah aspek untuk meningkatkan kualitas SDM.
Great sister that I ever had! God be blessing you, always...
BalasHapus