Mengajar matematika di sekolah ini menuntut kesabaran.
Paling tidak, mungkin setiap selesai pembelajaran aku selalu mengelus dada. Ada
saja hal yang membuat demikian. Tapui mungkin ini tantangannya. Apakah aku bisa
mengajar mereka, atau aku disini hanya sebagai symbol semata.
Seperti hari ini. Aku sudah kehilangan cara mengajarkan
anak-anak tentang operasi hitung bilangan, positif dan negative. Menggunakan
garis bilangan sudah, menggunakan perumpamaan pun acap kali aku lakukan. Tapi yaaaa,
ketika mengajarkan paham, lewat sedikit babyar, lupa semuanya. Akhirnya aku pun
memutuskan untuk mengajarkan mereka klasikal seperti anak SD.
Aku tulis di papan tulis besar-besar “Operasi Hitung
Bilangan Bulat”. Aku lalu bertanya
“Bosong tahu ini pelajaran kelas berapa?”
Mereka serempak menjawab “Pelajaran SD ibu.” Lalu ada yang
nyeletuk “Ibu, masa kotong di kasih pelajaran SD. Nanti kalau-kalau ada anak SD
yang melihat, kotong malu na ibu.”
Aku lalu tersenyum. Ini anak-anak ada juga rasa-rasa gengsinya.
“Nah, kalau bosong son mau anak SD tahu, bosong harus paham betul materi ini.
Kalau bosong son bisa, ibu son hapus materi ini. Ibu kasi tinggal sa materi di
papan, biar nanti besok anak SD tahu.
“Jangaaaaaaan ibuuuuuu”
Aku pun mengajarkan mereka. Dan baru kali ini, mereka
bersemangat sekali belajar matematika. Padahal yang aku ajarkan hanya seputar
tambah, kurang, bagi, dan kali. Ketika pembahasan, mereka berteriak
kencang-kencang. Aku senang. Yang kutangkap, mereka malu jika ketahuan tidak
bisa pelajaran SD.
Hari ini, paling tidak mereka sudah mulai paham tentang bilangan positif dan negative. Walaupun setelahnya tetap saja masih banyak yang
lupa, paling tidak mereka sudah belajar. Pembelajaran seharusnya memang seperti
itu, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar