“Paskah nanti, ada pawai Semana Santa yang
hanya ada di Brazil dan Larantuka.” Itu kata Nesya, teman sepenempatanku.
Semana santa adalah prosesi pawai paskah umat katolik, bisa disebut juga
sebagai ziarah. Semana santa berlangsung selama seminggu yang puncaknya
diadakan pada Jumat Agung. Aku tertarik. Kapan lagi melihat pawai setahun
sekali yang langka. sekalian juga aku menginjakkan kaki Ke Pulau Flores. Pulau
yang menyajikan sejuta keindahan alam. Aku juga ingin sekalian liburan. Sebagai
guru SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Terlinggal) Kab.
Kupang yang hidup dalam keterbatasan, liburan merupakan salah satu cara untuk
melepas kepenatan.
Libur paskah pun tiba. Tidak
seperti di Jawa, di Kupang libur paskah sampai 2 minggu lamanya. Sesampainya di
Kota kami mencari info bagaimana cara pergi ke Flores dengan biaya seminim
mungkin, maklum kami hanya modal nekat karena gaji yang belum turun.
Kemudian kami mendapat info bahwa
ada kapal gratis dari Gubernur untuk mengakomodasi masyarakat Kupang yang ingin
mengikuti acara Semana Santa. Kapal ini memang diprioritaskan bagi masyarakat
katolik, tapi agama lain pun masih bisa ikut mendaftar. Sesampainya di kota
Kupang, aku bersama dengan tujuh orang temanku termasuk Nesya ikut mendaftar.
Siang hari, 1 April 2015 kami
sudah di Pelabuhan Bolok. Masuk di kapal Gubernur, rasanya canggung mengingat
kebanyakan yang ada di dalam adalah umat katolik, sedangkan kebanyakan dari
kami memakai kerudung. Kapal terdiri dari tiga dek, dan kami mendapat dek yang
paling dasar, dek yang biasanya diperuntukkan bagi kendaraan. Manusia tumpah
ruah di kapal, menyatu dengan barang bawaan yang teramat banyak, bahkan ada
juga yang membawa hewan ternak.
Sore hari kapal mulai berjalan. Kami
pun bingung. Nanti disana tinggal dimana. Kami benar-benar nekat. Kami semua
belum pernah ke Flores. Ini merupakan
kali pertama bagi kami. Bagaimana nanti jika sampai disana kemudian kami
menggelandang. Saat wisata begini pasti semua penginapan penuh, dan hotel-hotel
high season, sedangkan kami belum
gajian. “Tenang namanya juga NTT, Nanti Tuhan Tolong.” Itu kata Nesya. Kami pun
biasa saja seperti tak panik nanti disana bakal ngegembel. Tetap main kartu dan
tidur dengan tenang.
Sampai…
Ketika subuh Aku dan temanku pergi
ke musholla untuk menunaikan sholat subuh. Walaupun kapal mengangkut umat
khatolik, tapi tetap disediakan musholla. Kami sholat berjamaah dengan tiga
orang Bapak paruh baya. Ternyata bukan hanya kami yang muslim. Selepas sholat,
salah satu diantara mereka kemudian bertanya “Baru pertama kali ke Larantuka?
Nanti disana tinggal dimana?”. Aku yang kala itu memang tak tahu akan tinggal
dimana langsung berkata “Belum tahu, Pak.” Kemudian Bapak seperti bernegosiasi
dengan kedua temannya memakai bahasa daerah, kemudian bilang “Nanti saya
hubungi saudara saya, mudah-mudahan kalian bisa tinggal disana.” Antara speechless, seperti mimpi dan
sebagainya. Sang Bapak yang kemudian kami kenal bernama Abah Kaf menelepon.
Setelah menutup teleponnya beliau lalu berkata “Bisa, kalian nanti tinggal
disana saja.” Alhamdulillah. Rasanya senang sekali bisa dapat tempat tinggal. Lalu
aku bertanya lagi “Larantuka masih jauh ya, Pak?” Kemudian Abah Kaf berkata
sambil menunjuk ke jendela ‘Ini kita sudah hampir sampai Pelabuhan Larantuka.”
Setelah berterimakasih dan janjian untuk bertemu di depan, kami langsung menuju
ke tempat teman-temanku berada. Kami langsung membangunkan yang lain,
memberitahu kabar ini dan semua serempak bilang “Alhamdulillah, gak jadi
ngegembel di Flores.”
Sesampainya di Pelabuhan Larantuka,
rasanya masih tak percaya bisa sampai di Flores. Abah Kaf sudah menunggu di
depan, dan kami siap dibawa ke tempat menginap. Di perjalanan kami baru tahu
bahwa Abah Kaf berasal dari Adonara, pulau seberang dari Flores. Dan kami akan
tinggal di rumah keluarga Abah. Sesampainya di rumah kami disambut oleh tuan
rumah yaitu Umi Nur dan Pa Badar. Mereka baik sekali pada kami. Padahal kami
orang yang baru mereka kenal. Bahkan untuk makan, kami berinisiatif untuk
berbelanja, mereka malah tak enak. Harusnya kan kami yang tak enak. Mereka
bilang, dulu mereka pernah merantau dan sekarang anaknya sedang merantau jadi
ke perantau harus saling membantu. Kami tinggal di rumah Pak Badar selama di
Larantuka, bahkan dicarikan oto
(mobil) untuk jalan-jalan.
Selain mengikuti pawai Semana
Santa, kami berencana untuk pergi ke Ende, melihat Danau Kelimutu dan
berkeliling kota Ende. Pak Badar juga memesankan bis untuk perjalanan kami ke
Ende, berangkat esok lusa.
Siang hari, setelah selesai
membersihkan badan dan istirahat sejenak, kami langsung berkeliling kota
Larantuka. Dengan menggunakan
oto yang
dipesan oleh Pak Badar kami mulai berkeliling kota. Kota Larantuka tidak
terlalu besar. Jalanan tidak terlalu ramai, apalagi besok adalah acara Semana Santa,
yang berpusat di Gereja Katedral. Jalanan sudah mulai ditutup. Kami memasuki
jalanan utama kota, disana banyak patung yang berdiri megah. Ada patung Mater Dolorosa
dan Reinha Rosari. Terdapat juga Gereja Katedral yang berdiri megah.
Semana Santa berlangsung satu pekan
dan hari ini hari Kamis, dimana Patung Tuan Ma atau Bunda Maria dan Tuan Ana atau Yesus Kristus mulai
dibersihkan dan dipersipkan di Kapela, sebuah rumah ibadat. Kami melihat
keramaiannya dari luar Kapela. Sudah mulai banyak turis yang berdatangan.
Puas melihat-lihat, kami kemudian
pulang kerumah Pak Badar. Kami disambut dengan jagung titi, makanan khas
Larantuka. Jagung Titi adalah jagung yang dipipihkan (dititi), bentuknya mirip
dengan emping, dan rasanya mirip dengan popcorn. Biasanya orang Larantuka
memakan jagung titi sebagai pengganti nasi.
Keesokan harinya, kami pergi ke
Pantai Poso untuk melihat prosesi. Prosesi dibagi menjadi dua, prosesi laut
pada pagi hari, dan prosesi darat pada malam hari. Hari ini adalah hai Jumat,
yang berarti Jumat Agung puncak perayaan. Pagi hari kami sudah berangkat ke
Pantai Poso. Titik awal prosesi berlangsung. Di Pantai Poso dibuka pendaftaran
untuk mengikuti prosesi laut. Banyak kapal yang disiapkan untuk mengangkut
turis mengikuti prosesi laut, tetapi kami memilih mengikuti prosesi dari darat,
melalui jalanan di pinggir pantai. Pak Badar tak mengizinkan kami mengikuti
prosesi laut, karena tahun lalu terjadi tragedi yang membuat kapal tenggelam
dan memakan banyak korban.
|
Prosesi Semana Santa |
Kami melihat prosesi dari pinggiran
pantai. Patung suci dibawa dari laut, diiringi kapal-kapal lain dibelakangnya
untuk di bawa ke pelabuhan kemudian ke katedral. Jalanan penuh oleh masyarakat
yang ikut mengantar patung Tuan Ma dan Tuan Ana menuju Katedral. Kemudian
dilakukan misa Jumat Agung.
Malam harinya, prosesi
arak-arakan Tuan Ma dan Tuan Ana dimulai. Jalanan Kota Larantuka dipadati oleh
manusia yang ingin mengikuti arak-arakan. Dengan lilin di tangan para peziarah
dan pemuka agama berjalan sambil mengalunkan doa pujian. Dalam arak-arakan,
setiap rombongan berhenti di setiap armada atau perhentian. Arak-arakan terasa
hikmad dan sakral. Acara selesai pada jam 2 dini hari.
Pulang kerumah Pak Badar kami
langsung mempersiapkan untuk esok keberangkatan ke Ende. Pagi-pagi sekali kami
pergi ke Ende. Pak Badar berpesan untuk kembali ke Larantuka setelah dari Ende.
Dalam perjalanan menuju Ende, kami bingung mau tinggal dimana, Abah Kaf
membantu lagi. Kami dikenalkan dengan Bapak Natsir, kami tinggal disana selama
di Ende. Beliau juga berbaik hati meminjamkan mobilnya untuk kami pakai selama
di Ende.
Jarak dari Larantuka ke Ende sekitar
250 km. Kami berangkat dari jam 06.00 dan sampai sekitar jam 15.00. Di tengah
perjalanan, di daerah Wolowaru yang terkenal akan buah durian, kami mampir
sebentar untuk mencicipi durian. Sampai di Terminal Ende kami lalu naik angkot
untuk sampai ke rumah Pak Natsir. Kami disambut hangat oleh keluarga mereka.
Kami dipinjamkan mobil plus supir
untuk berkeliling kota Ende. Ende adalah kota yang sangat menarik. Di kota kita
bisa melihat bukit-bukit. Di sepanjang perjalanan mata kita disajikan oleh
pemandangan laut yang beriringan dengan bukit. Udara yang sejuk dan pemandangan
yang memanjakan mata merupakan suatu perpaduan yang pas.
|
Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende |
Kota Ende adalah kota dimana
Presiden pertama RI diasingkan. Banyak yang blang bahwa Ende adalah Kota
Soekarno. Sehingga tujuan utama kita dalah Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende.
Sayangnya, kami tidak dapat masuk kedalamnya karena kami kesana pada hari
Minggu dan kebetulan penjaga kuncinya tidak di tempat. Kami hanya bisa melihat
dari luar. Rumah pengasingan Bung Karno seperti rumah biasa, namun
barang-barang di dalamnya masih asli, sama seperti saat Bung Karno berada
disana. Sedikit kecewa karena tak bisa masuk, kami pun melanjutkan perjalanan.
|
Patung Bung Karno, sedang duduk merenung |
Tempat selanjutnya adalah Lapangan
Pancasila. Lapangan ini merupakan 0 km Kota Ende. Lapangan Pancasila merupakan tempat Bung
Karno setiap sore menghabiskan waktu untuk duduk merenung dan membaca buku
Disebelah Lapangan Pancasila terdapat Taman Perenungan Bung Karno. Di taman ini
terdapat Patung Bung Karno berukuran besar sedang duduk merenung, patung ini
baru diresmikan pada tahun 2013, menggantikan model patung lama yang posisinya
berdiri dan mengenakan pakaian TNI. Di taman ini juga terdapat pohon sukun yang
bercabang lima. Katanya pancasila diilhami dari pohon tersebut. Kami iseng
untuk mengitung cabang pohon itu, ternyata memang benar, setiap rantingnya
memiliki cabang lima. Di Lapangan yang cukup besar itu juga terdapat Tugu
“Mengenang Bencana Alam Nasional Gempa
Bumi Tektonik di Pulau Flores Pada Tanggal 12 Desember 1992”. Gempa bumi saat
itu di Flores menjadi bencana nasional karena getaran yang sangat kuat yaitu
6,3 SR dan memakan korban yang sangat banyak.
Melanjutkan perjalanan, kami
pergi ke pasar untuk mencari tenun khas Ende. Daerah-daerah di NTT terkenal
dengan kerajinan tenunnya. Motifnya selalu berbeda antara daerah satu dan
daerah yang lain. Pergi ke tempat pengrajin tenun akan membuat takjub. Melihat
kain-kain indah yang dihasilkan dari tangan para mama. Harga kain tenun
berbeda, tergantung benang untuk membuat, kerumitan motif, dan lebar kain.
Setelah puas berbelanja, kami melanjuttkan perjalanan.
Rencananya kami mau ke Museum
Tenun Ikat, tetapi sayang lagi-lagi karena kami berkeliling hari Minggu, museum
tutup, dan kami hanya bisa melihat dari luar.
Karena hari sudah sore, kami memutuskan untuk berkeliling kota Ende
saja. Sama seperti Larantuka, Ende merupakan kota kecil di Pulau Flores.
Berkeliling saja membuat kami takjub karena pemandangan yang sangat aduhai di
sekeliling jalan. Bukit dan laut yang berdampingan. Kombinasi warna hijau dan
biru yang sangat indah dan jalan yang berliku khas pegunungan. Setelah puas
berkeliling kami pun pulang kerumah.
Di rumah kami sudah disambut
dengan ubi nuabosi dan pisang baranang. Dua makanan itu adalah makanan khas
kota Ende. Dimakan bersama sambal tomat membuat rasanya makin enak. Malam hari
kami bersiap-siap, karena esok hari kami akan melanjutkan perjalanan ke Danau
Kelimutu dan pulang kembali ke Larantuka.
Melalui kenalan Pak Natsir, kami
menyewa mobil. Dengan rute Ende-Larantuka. Tujuan utama kita adalah Danau
Kelimutu. Setelah berdiskusi dengan driver
akhirnya kami memutuskan untuk ke Danau Kelimutu dan Air terjun yang ada di
Moni, lalu ke Pantai Koka dan Patung Paga yang ada di Kab. Sikka, Maumere.
Kami dijemput jam 3 pagi, karena
untuk pergi ke Danau Kelimutu sebaiknya saat pagi hari, karena jika siang hari
nanti akan ada kabut yang menutupi danau. Perjalanan dari Ende ke Moni sekitar
2 jam. Jam 5 lebih kami sampai ke Kawasan Danau Kelimutu. Setelah bersiap dan
tak lupa membawa jaket kami mulai berjalan mendaki. Kami berjalan ditemani
denga gerimis yang kadang menjadi gerimis besar sehingga kami harus berteduh di
pendopo-pendopo yang ada disana.
Untuk sampai ke Danau Kelimutu,
kami harus berjalan kaki cukup jauh, layaknya mendaki gunung. Dengan cuaca yang
cukup dingin, memaksa kami untuk terus bergerak agar tak kedinginan. Setelah
berjalan cukup jauh, kami naik ke pendakian pertama. Disana kami bisa melihat
satu danau berwarna coklat cola. Kemudian kami turun kembali dan menuju ke
pendakian paling atas dimana lewat pendakian itu kami bisa melihat tiga Danau Kelimutu.
Danau kelimutu warnanya berubah-ubah, dan kami mendapat kesempatan melihat
perubahan warnanya.
|
Danau Kelimutu, Lihat Perubahan Warnanya! |
Rasanya hampir tak percaya, kami
melihat langsung danau tiga warna yang biasanya hanya kami lihat di uang
pecahan lima ribuan jaman dulu. Melihat danau yang sangat besar dengan warna
yang berbeda tak henti-hentinya kami merasa kagum. “Indonesia memang keren”.
Kami beruntung bisa melihat ketiga danau tanpa tertutup kabut. Tetapi, katanya
ketika ada kabut, kami cukup bersiul, memanggil angin. Nanti kabutnya akan
terbawa angin.
Menurut kami, Danau Kelimutu
adalah wisata yang patut diacungi jempol. Hanya membayar Rp. 5.000,- kami bisa
melihat keindahan tiga danau berwarna. Perjalanan pendakian pun bebas dari
sampah, dan benar-benar dijaga keasriannya. Di sepanjang jalan pendakian banyak
dijumpai pendopo untuk beristirahat dan toilet-toilet gratis yang bersih.
Terdapat pedagang yang terkoordinir, sehingga tak mengganggu para wisatawan,
justru sangat membantu. Menghilangkan dinginnya perjalanan Kelimutu dengan
minum segelas kopi yang dijual pedagang, cukup untuk menghangatkan badan.
Setelah puas menikmati keindahan
Danau Kelimutu, kami melanjutkan perjalanan. Rencana awal, kami ingin pergi ke
air terjun Kedebodu, namun driver menganjurkan
untuk tidak pergi kesana karena tempatnya sangat jauh, dan nanti kita tidak
akan sampai ke Larantuka tepat waktu. Kami memang menyewa mobil hanya untuk
perjalanan satu hari. Namun, driver memberikan
alternative untuk pergi ke air terjun yang ada di daerah Moni, sejalan dengan
perjalanan kami ke Larantuka. Tidak jauh dari Kawasan Taman Nasional Danau
Kelimutu. Kami kaget ketika driver bilang “sudah sampai”. Mana air terjunnya? Mobil
berhenti di pinggir jalan. Kami memang mendengar suara air, tapi rasanya aneh
ada air terjun di pinggir jalan.
Driver kemudian menunjuk ke
bawah. Untuk sampai ke air terjun, kami harus menuruni tangga yang ada di
samping jalan. Hanya sedikit anak tangga dan kita bisa melihat air terjun
setinggi 6 meter. Kami langsung mengabadikan momen ini dengan bidikan kamera.
Rasanya kami ingin main-main di bawah air terjun yang sejuk, namun karena
mengingat perjalanan yang masih jauh kami urungkan niat tersebut.
|
Pantai Koka
Photo di ambil sebagian karena pantai yang sangat ramai |
Melanjutkan perjalanan, tujuan
kami adalah Pantai Koka di Kab. Sikka, Maumere. Perjalanan cukup jauh, kami
yang lelah juga menghabiskan waktu perjalanan dengan tidur. Mungkin sepanjang
perjalanan hanya driver yang tetap terjaga. Kemudian sampai di Pantai Koka.
Seperti pantai-pantai di NTT, Pantai Koka memiliki pasir putih dan laut
berwarna biru. Yang membedakan adalah di sekeliling pantai dapat dijumpai
bukit. Menikmati deburan ombak pantai sambil makan kelapa muda sangat
menyenangkan. Pantai Koka ramai pengunjung. Pantai Koka adalah wisata murah
meriah alias gratis. Kami hanya membayar biaya parkir.
Sebenarnya ada tempat di Maumere
yang ingin kami datangi, yaitu patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus yang ada di Bukit
Nilo. Namun, driver mengatakan bahwa Bukit
Nilo sangat jauh, dan lagi-lagi tak sejalan dengan perjalanan ke Larantuka.
Akhirnya driver memberikan alternatif perjalanan lain. yaitu Patung Tuhan Yesus
di Paga. Tak jauh dari pantai Koka, driver
berhenti di pinggir jalan. Driver memang
hobi membuat kami terkejut. Di pinggiran jalan itu tak ada apa-apa, hanya jalan
dan bukit di kanan dan kirinya. Lalu beliau menunjuk ke bukit di seberang, dan
berdirilah Patung Tuhan Yesus di atas bukit tersebut.
|
Patung tuhan Yesus Memberkati di Paga |
Untuk sampai ke atas kami harus
mendaki dengan kemiringan sekitar 70
o. Agak susah untuk menaiki
bukit, ditambah pakaian dan alas kaki yang tak kompatibel untuk mendaki. Untuk
sampai ke atas memang benar-benar harus mendaki, tidak terdapat tangga, hanya
setapak jalan dengan pijakan kaki yang tak terlalu besar. Cukup lama kami
mendaki. Perjuangan kami mendaki terbayar oleh pemandangan dari atas. Selain
terdapat Patung Tuhan Yesus berukuran besar, dari atas sini kami bisa melihat
Maumere dan Pantai Koka yang membentang luas. Sayangnya, karena bukit berada di
dekat pantai dan kami yang pergi kesana siang menjelang sore hari, cuacanya
sangat panas. Kami hanya sebentar berada di atas bukit. Perjalanan turun lebih
menguras tenaga. Bahkan, sepatu karetku sampai putus dalam perja
lanan menurun. Rasanya
paha sakit semua karena harus menahan tubuh agar tidak jatuh. Sesampainya di
bawah rasanya lega sekali.
Hari sudah sore dan kami pulang
menuju Larantuka. Kami sampai di Larantuka sekitar jam 7 malam. Selain karena
pesan Pak Badar untuk kembali kerumahnya sebelum ke Kupang, kami memang
berencana pulang dari Larantuka, karena kami naik kapal Ferry Larantuka-Kupang.
Kami berencana pulng ke Kupang lusa.
Dari buku panduan wisata yang
kami baca, ada satu tempat yang belum kita kunjungi di Larantuka, yaitu Tanjung
Bunga. Kami bertanya pada Pak Badar, beliau tak mengetahui tempat itu. Keeseokan
harinya, dengan menyewa oto yang
biasa, kami menuju tanjung bunga. Supir oto
bilang dia mengetahui tempat itu. Dengan bantuan google map, pengetahuan supir
oto dan bertanya ke masyarakat sekitar mencoba pergi ke Tanjung Bunga. Sudah
dua jam berjalan, kami tak kunjung sampai. Karena lelah sisa kemarin dan putus
asa, karena makin jauh penduduk yang kami Tanya bilang tidak tahu akhirnya kami
putar arah kembali ke rumah untuk beristirahat.
Keluarga Pak Badar baik sekali
pada kami. Keesokan harinya ketika kami ingin pulang, masing-masing kami diberi
oleh-oleh berupa jagung titi dan kue rambut khas larantuka. Pak Badar dan Umi
Nur juga mengantar kami sampai ke atas dek Kapal.
Kami sampai menggenalisir bahwa
orang Flores baik dan ramah. Selain Pak Badar dan Pak Natsir yang menampung
kami, ada juga Pak Umar tempat kami singgah ketika mengikuti Prosesi Semana
Santa. Kami bertemu Pak Umar ketika sholat di masjid. Melihat muka pendatang
kami Pak Umar mengajak kami untuk singgah beristirahat di rumahnya. Kami
disuguhi minuman dingin dan cerita anak Pak Umar yang merantau di Jawa.
|
Keluarga Pak Badar |
|
Pak Umar dan Bapak-bapak di Masjid |
Selama perjalanan juga kami
dibantu oleh masyarakat sekitar. Kami buta Flores, dan masyarakat membantu kami
untuk dapat mellihat Flores dengan baik. Bertanya jalan tanpa disasarkan.
Bahkan kami sering menumpang ke kamar kecil di rumah masyarakat yang menerima
dengan baik kami.
Perjalanan pulang kali ini
membuat kami belajar bahwa tak perlu takut dengan pendatang, tak perlu
mencurigai pendatang. Berbuat baiklah kepada semua orang, kenal ataupun tak
kenal. Karena perbuatan baik akan diiringi dengan langkah-langkah baik
berikutnya. Seperti kami, pendatang yang diterima baik oleh keluarga Pak Badar.
Terima kasih kepada keluarga Pak
Badar, Pak Natsir, Pak Umar, driver dan masyarakat. Karena mereka, pengalaman
menginjakkan kaki pertama kali di tanah Flores ini sangat menyenangkan.
PS: Tulisan ini diikutsertakan dalam writing contest yang diadakan oleh
NatGeo Indonesia. Awalnya tidak berharap apapun, karena tulisan saya yang
alakadarnya dan melihat galeri ada 2755 cerita yang masuk, dengan cerita yang lebih
menarik, dan pastinya lebih tertata dibanding tulisan travelling ala saya.
Sampai tanggal 12 Februari 2016 tim NatGeo menelpon saya dan bilang tulisan
saya masuk 40 besar. Antara kaget, senang dan rasa tak percaya. Saya pun di
wawancara by phone, untuk menyaring 10 kontestan yang akan mendapat hadiah
utama, Menjelajah Australia Barat ala NatGeo. Saya pun berharap lolos, namun
kenyataan berkata lain. Kemarin, Senin 22 Februari 2016, diumumkan 10 pemenang,
dan nama saya tidak ada diantara 10 pemenang tersebut. Kecewa, pasti. Sedih, tentu.
Karena saya sudah berharap. Di otak saya selama seminggu ini adalah Australia.
Tapi, ya sudahlah. Seperti kata Mama “Namanya juga kompetisi ada yang
menang dan ada yang kalah, tapi yang penting sudah berusaha, dan semoga Allah
akan memberi penggantinya.” Saya kemudian mengaamiininya.