“Orang NTT semuanya baik, kecuali orang mabok.” Begitulah
kira-kira perkataan Kepala Dinas PPO Kab. Kupang ketika aku prakondisi di upi
Bandung, saat beliau menjelaskan tentang keadaan di penempatan.
Orang mabok? Pasti tak berakal fikirku. Begitu sampai disini
mabok atau minum minuman keras merupakan suatu kebudayaan dan kebiasaan. Bahkan
ada yang bilang berbagi minuman keras adalah berbagi berkat (?). Sopi dan laru
merupakan nama asli minuman keras disini. Dibuat dari fermentasi pohon laru dan
tuak, minuman ini dibuat. Yang menjual kebanyakan orang-orang pribumi yang
memproduksinya secara tradisional.
Bukan hanya acara pesta, terkadang mereka minum ketika
sedang makan atau bahkan sebelum rapat kadang mereka minum dulu. Tapi anehnya nanti
rapat berjalan seperti biasa dan mereka juga berbicara semakin lantang dan
terarah, eits itu mungkin hanya beberapa orang. Selebihnya? Ada yang mabok
rese, ada yang mabok gila.
Harga sopi atau laru satu botol 600ml adalah Rp. 15.000,-
mahal? Bagiku mahal. Hanya untuk kenikmatan sesaat. Mendingan uangnya untuk
beli telur anak supaya tidak makan kosong. Entahlah bagaimana pemikiran orang
disini. Mereka mampu untuk membeli miras tapi untuk makan sehari-hari hanya
makan nasi kosong.
Hal yang lucu adalah ketika pesta. Saat acara bebas (dansa),
ketika masih jam-jam awal dimana orang-orang belum panas, jarang ada yang turun
ke arena dansa. Tapi, setelah mereka menenggak satu gelas sopi, wih arena mulai
ramai. Jadi menurut mereka miras itu membuat kepercayaan diri bertambah,
yaeyalah mabok.
Aku banyak memiliki pengalaman dengan orang mabok, dari
mulai mabok sadar sampai mabok rese. Bapak Desa adalah peminum, hamper setiap
hari Bapak minum. Cara paling gampang mengetahui kalau bapak habis mabok adalah
di pagi hari, ketika sikat gigi Bapak Oek Oek, maka malamnya atau kemarinnya
beliau habis mabok. Karena sopi bukan merupakan barang illegal disini aku
sampai-sampai tahu bau sopi seperti apa. Aku tahu cirri-ciri orang yang mabok.
Ah, semacam sudah professional saja aku.
Pengalaman dengan orang mabok rese bahkan lebih banyak.
Bulan awal aku disini aku dikejutkan dengan orang mabok yang memukul siswaku.
Aku yang kala itu takut justru berlindung dibalik para siswa. Siswa juga tak
mengizinkan aku untuk bertemu dengan orang maboknya. Mereka bilang “Aman sa
ibu, kami bisa atasi, ibu diam-diam sa.”
Ada yang lebih parah adalah bertemu dengan Om Tinus yang
tidak lain dan tidak bukan adalah omnya Bapa Desa. Om Tinus berasal dari
kampung lama dan hobinya mabok. Nah, karena dia tak pernah menikah, setiap
mabok dia maunya dekat-dekat perempuan. Ih menyeramkanlah pokonya, padahal
kalau tidak mabok dia pendiem banget. Sampai-sampai aku sama Nesya kalau ada Om
Tinus hanya diam saja di kamar, tidak berani keluar, daripada dikejer-kejer.
Ah masih banyak pengalaman dengan orang mabok. Tak kenal
usia dan jenis kelamin, semuanya mabok sampai pusing aku melihatnya. Yang
kasihan adalah aku pernah melihat mama-mama yang di KDRT-in sama suaminya. Duh,
muka dan badannya bonyok-bonyok mengenaskan.
akibat mabok bukan hanya KDRT pada istri, kadang orang mabok
yang tidak sadar lalu memaki tetangga,
atau bahkan mudah terpancing emosi yang akhirnya memicu perkelahian, dan
ujung-ujungnya denda adat. Yang rugi siapa?
Disini aku melihat kemungkaran, tapi aku bisa apa. Sebisa
mungkin aku menghindari. Tapi ini budaya, budaya yang bagiku tidak baik untuk
dilestarikan, budaya yang seharusnya direvitalisasi, jika masyarakat paham dan
mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar