Nesya ke Kupang. Sakit kakinya makin parah bernanah dan bau,
kebetulan sore itu ada kapal yang membawa orang untuk pergi ke rs DI Kupang,
jadi Nesya langsung menumpang disana. Aelama Nesya di Kupang hidupku hanya
seputar sekolah-malam tidur di pastori-pergi ke mama desa-sekolah lagi. Mama
Pendeta menyuruhku untuk tinggal di pastori “daripada sendirian “ katanya. Aku
juga tidak memasak, makan siang di mama desa dan makan malam di mama pendeta.
Seperti biasa aku, mama pendeta dan bapa pendeta juga ada Pa Yan (pendeta desa
timau yang ikut menginap disana) bercerita dan mengobrol.
“Pi Kupang yuk!” Pa Pendeta memulai percakapan
“Eh.” Aku kaget
Pa Pendeta mau pergi ke Kupang untuk berbelanja kebutuhan
paskah, mama oendeta juga ikut, pa Yan juga. Aku galau. Berarti nanti aku
sendirian. Aku dan Nesya memang berencana untuk pergi ke Kupang akhir Maret
karena liburan Paskah (Libur paskah disana 2 minggu), tapi karena Nesya sakit
jadi mau tak mau dia harus ke Kupang. Sebenarnya tidak masalah aku pergi ke
Kupang, masalahnya dalah perekonomian aku dan Nesya sedang goyah *halah*. Uang
bawaan kami ke kampung sudah habis. Bahkan sekarang akuk hanya memegang uang
sebesar Rp.20.000,-, Sedangkan untuk pergi ke Kupang setidaknya memerlukan uang
Rp. 100.000,-. Galau melanda. Akhirnya aku curhat ke Pa Yan dan merajuk ingin
ikut ke Kupang. Jujur, aku juga sudah lumayan jenuh karena biasanya aku sebulan
sekali ke kota, kali ini rekor tiga bulan belum pergi ke kota. Aku merajuk dan
bilang pada Pa Yan untuk naik motor saja, paling tidak kalo naik motor aku bisa
gratis. Pa Yan yang kasihan melihat anak rantauan akhirnya mengiyakan
permintaanku. Jadi nanti aku dengan Pa Yan, Pa Pendeta dengan Om Vanuel.
“Kita nanti jalan lewat atas atau bawah” Om Vanuel bertanya.
Aku yang mendengar kata “atas” langsung excited dan bilang
untuk lewat atas saja. Lewat atas maksudnya adalah jalan memutar atau biasa
disebut poros tengah. Menurut banyak orang, poros tengah ini pemandangannya
keren sekali. Aku kan langsung mupeng dan merajuk. Lagipula jalan bawah agak
sulit untuk dilewati Maklum musim hujan apalagi pasca bencana seperti ini ikut
jalan atas adalah pilihan yang baik, walaupun jalan bawah sudah dapat dilewati.
Mereka setuju, dan Pa Yan bilang “Bu, nanti ibu siap-siap turun ya.”
Pagi hari aku siap semua. Dua motor jalan beriringan, tapi
tetap saja Pa Pendeta selalu di depan, maklum beliau naik motor besar dan
ngebutnya masya Allah, padahal di jalan yang gak bagus. Selama perjalanan
memang kenyataannya aku harus turun berkali-kali, banyak jalan yang tidak bisa
dilewati jika naik motor ada boncengannya. Jalanan mendaki. Perjalanan yang
melelahkan tapi semua terbayar dengan pemandangan yang begitu keren. Hamparan
padang rumput hijau. Sapi yang berlalu lalang, dan ah cuacanya dingin, seperti
lembang di Bandung.
Kalau lewat poros tengah kita akan menemukan mata air, air
sirih namanya. Menurut penelitian air sirih ini lebih sehat dibanding air a*ua.
San bebas kapur. Aku yang alay nemu air seger sehat lagi langsung minum airnya.
Aku basuh muka juga yak ali mendadak cantik gitu.
Lanjut perjalanan, karena kami jalan hari Selasa dimana hari
pasar di Pohon Gunung Timau. Kufikir pasarnya besar seperti pasar Oelfatu,
taunya pasarnya hanya di pinggiran jalan. Apa yang dijual? Selain barang
kebutuhan pokok, disini terkenal pasar daging. Banyak daging yang dijual
disini, mulai dari sapi, babi, burung, musang. Daging ini merupakan daging
hasil buruan. Daging tersebut hanya dibakar saja. Dan apa pelengkapnya? Laru
putih.
Sudah setengah perjalanan dan aku mulai bosan. Karena
pemandangan hijau sudah hilang. Masuk ke Lelogama, Takari ah sudah sama seperti
Oelfatu. Perjalanan yang melelahkan selama sepuluh jam akhirnya sampai juga di
kota kupang. Such a long journey. Besoknya badan sakit semua karena naik motor.
Yaaa namanya nyari pengalaman, ada aja yang harus dikorbankan, badan contohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar