Jumat, 07 Agustus 2020

Rumahku Surgaku

"Ibu adalah pelita di rumah, kalau pelitanya redup, cahaya rumah pasti ikutan redup"

Seorang teman memberiku nasihat sebelum hari pernikahanku. Yang aku tanggapi dengan senyum simpul. 

Selepas menikah, kami harus LDR karena kewajiban pekerjaan kami. Setiap Jumat suamiku pulang ke Cirebon, dan Minggu sore berangkat ke Bandung. Sedih rasanya, pengantin baru yang seharusnya kemana-mana berdua eh malah harus bertemu seminggu sekali. 

Setelah dinyatakan positif oleh dokter, kami merancang life plan. Awalnya, setelah kontrak kerjaku selesai, aku akan ikut suamiku ke Bandung, tapi karena satu damln lain hal, kami mengubah rencana hidup kami, suamiku akan pindah ke Cirebon. Bismillah.

Kami memiliki keinginan, ketika kami tinggal bersama, kami harus sudah mandiri. Tidak tinggal lagi dengan orang tua, kami ingin membangun keluarga kecil kami dengan mandiri. Kami pun mulai mencari rumah, yang sesuai dengan budget kami. Setiap suamiku pulang, kami selalu menyempatkan survey rumah.

Dari ujung Cirebon, sampai ujung Cirebon kami cari. Mulai dari mulut ke mulut, lihat iklan, tanya kerabat untuk mendapatkan rumah yang kami inginkan. Rumah yang kami cari simple, tidak terlalu besar (sesuai dengan budget), kompleknya sudah penuh tetangga, dan hangat.

Singkat cerita, setelah mencari hampir beberapa bulan, aku mulai lelah dan jenuh. Aku ingat, hari itu aku survey sampai panas-panasan dengan suamiku, tapi tak membuahkan hasil. Aku bete dan akhirnya bilang 

"Udahlah, udah capek nyari rumahnya. Istirahat dulu aja, jangan cari-cari rumah dulu." Aku misuh-misuh ke suamiku sambil selonjoran

Kami pulang dan beristirahat, lalu tanpa sengaja suamiku membuka web jual beli rumah. Ada rumah yang menarik hatinya, langsung ku telpon si empunya rumah. Sore hari langsung kami survey, dan kami jatuh cinta pada pandangan pertama. Rumah mungil yang jaraknya hanya 5-10 menit dari rumah ibuku. Tak butuh waktu lama, kami langsung membelinya. Mungkin ini yang orang-orang bilang "mencari rumah itu ibarat mencari jodoh."

Rumah yang kami beli rumah yang sudah jadi, hanya perlu polesan sedikit agar lebih nyaman. Awalnya aku berencana untuk pindah sebelum melahirkan, namun keluargaku menyarankan untuk pindah rumah setelah melahirkan.

Agustus 2019 aku melahirkan. Dua bulan setelah melahirkan, kami nekat pindah rumah. Sebelum pindah ibuku selalu bertanya "sudah siap?". Aku memang siap tak siap pindah rumah, tapi aku harus memaksakan diri untuk pindah. Aku takut terlalu nyaman tinggal dirumah ibuku. 

Sebelum pindah, suami selalu mengingatkan.
"Nanti setelah pindah, kita akan hidup mandiri. Jangan kaget, ya! Pasti nanti banyak kejutan, karena kita masuk fase  kehidupan yang. Mungkin ga gampang, tapi kita yakin, pasti bisa! Bismillah ya."

Hari itu pun datang, kami pindah rumah. Kami pindah di hari Jumat, agar Sabtu Minggu suamiku libur dan kami bisa berbenah. Aku ingat, malam hari setelah pindah kami kelaparan. Gas belum dipasang, dan aku tidak mau ditinggal dirumah dengan Zhafran yang kapan  saja bisa menangis. Chaos.

Hari Seninnya, suamiku mulai bekerja. Malamnya Zhafran rewel, dan aku bangun kesiangan. Suamiku buru-buru berangkat kerja. Aku yang baru tidur pagi hari tak sanggup untuk beberes. Belum mandi, belum sarapan. Dirumah sendirian. Untungnya ibuku datang, membawa Bi Teni, yang biasa bebersih rumah ibuku. Aku terselamatkan. 

Aku si anak manja yang jarang beberes rumah tiba-tiba dihadapkan dengan urusan bersih-bersih, urusan dapur, dan urusan anak. Tak jarang, aku misuh-misuh ke suami karena kelelahan atau karena rumah yang berantakan.

Setiap akan berangkat kerja, suamiku selalu berpesan "kalau anaknya tidur, ibunya juga tidur." Memang benar, kalau aku beristirahat sejenak, malam hari aku tidak cranky. Hehe. Tapi ketika aku tidur, rumah akan tetap berantakan. Pilih apa?

Jika aku mulai misuh-misuh, suamiku langsung bilang "Kalau capek, tidak usah dikerjakan. Bisa nanti, bisa besok. Fokusnya ke anak saja. Kalau istri marah-marah, rumahnya jadi horor, ga hangat lagi." Begitulah cara suamiku untuk mencairkan suasana hatiku. Pada akhirnya suamiku turun tangan membersihkan rumah. 

Setelah pindah, entah berapa kali aku bangun kesiangan. Entah berapa kali aku tidak menyapu lantai. Entah berapa kali aku tak masak. Entah berapa kali aku mandi hanya sekali. Sampai suamiku bilang "kita belum menemukan ritme nya". 

Seiring waktu berjalan, kami pun menemukan ritmenya. Kami saling membagi tugas dalam mengurus rumah ini. Dan kami (aku lebih tepatnya) harus tetap waras dan sadar akan rumah yang tidak harus selalu rapi. Karena  ketika rumah berantakan, ada anak kecil yang sedang mengeksplor dirinya. Yang perlu kami lakukan adalah tetap bahagia, dan mengisi rumah ini dengan kasih sayang, agar rumah kami menjadi surga bagi keluarga kami. Insya Allah. 

Jumat, 31 Juli 2020

a new becoming

Hai blogspot! Long time no write ekek.
Maafkan ya, setelah perjalanan panjang beberapa tahun membuatmu bersarang, akhirnya aku mulai lagi memberanikan diri untuk menulis kembali.

Brapa tahun ya? 2 tahun. Selama 2 tahun ini banyak yang tidak kutuliskan. Dan kumulai dengan... 

"when a baby born, a mother born"

2 tahun ini adalah perjalanan panjang. Dimulai dari September 2018, Allahamdulillah aku menggenapkan separuh agamaku. Saat itu, rasanya campur aduk, bahagia dan terharu jadi satu. Aku menikahi teman satu kampus saat PPG, teman satu kelas, dan teman satu kelompok. Azis Septiana namanya. Kami menjalankan pernikahan dengan LDR. 

2 bulan setelah menikah, aku dinyatakan hamil. Saat itu kami masih LDR. Alhamdulillah, kehamilanku diberi kemudahan oleh-Nya. Aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengajar di sekolah, kemudian ngeles. Makanan pun semuanya masuk. Janin di perutku sehat, Alhamdulillah. Maha Baik Allah. 

Saat kehamilanku masuk usia 7 bulan. Aku resign dari pekerjaanku. Ini merupakan kesepakatan kami, jika memiliki anak kami ingin mengasuh sendiri. Tidak dititip ke keluarga, kerabat, ataupun nanny. Suamiku pun resign dari pekerjaan di Bandung dan pindah bekerja di Cirebon. Lagi-lagi Allah mudahkan, suamiku langsung mendapat pekerjaan.

Setelah resign, dan menunggu kelahiran hari-hariku diisi dengan olahraga pagi (jalan kaki), membantu mama memasak, tidur siang, dan menunggu suami pulang. 

Sampai di hari kelahiran anakku, 2 Agustus 2019, semua Allah mudahkan. Proses kelahirannya terhitung cepat, kontraksi jam 10 pagi, Pembukaan lengkap jam 4 sore, dan anakku lahir jam 17.39. Kami beri nama Zhafran, yang berarti keberuntungan. Semoga kelahiran Zhafran menjadi keberuntungan bagi kami dan semoga Zhafran menjadi seorang yang beruntung. 

Setelah Zhafran lahir kemudian, Aku menjadi Kiky seorang Ibu. Aku menjafi Full time Ibu yang membersamai 24 jam anaknya. Sudah siapkah aku? Pertanyaan yang mungkin tak bisa ku jawab, tapi akan terjawab seiring berjalannya waktu. Bismillah. 

Selasa, 27 Maret 2018

Merekam Memori

Setelah jadwal mengajar selesai, saya iseng membaca chat whatsapp yang dulu-dulu. Kebiasaan saya memang untuk tidak menghapus chat whatsapp, bahkan kadang saya back up. Simple, karena bagi saya membaca chat yang sudah lama, bisa membuat saya senyum-senyum. Konyol sih, tapi memang begitu. Tingkat humor saya memang receh.

Kali ini yang saya baca adalah grup kelas saat saya PPG. Ada hal yang menarik dalam chat, ketika saya meminta bantuan karena terkunci di kamar. Deg, saya langsung tertawa.

Saya mengingat-ingat. Apa yang membuat saya terkunci. Tapi saya lupa. Yang saya ingat, saya terbangun dari jam 3, mau ke kamar mandi tapi pintu tak bisa di buka. Sampai Sari dan Ulfa (trman sekamar) bangun, kami pun tak bisa membukanya.

Saya kembali tertawa, mengingat hal itu. Silly. Bisa-bisanya terkunci, sampai akhirnya pintu di jebol. Dan kalau tidak salah, beberapa hari kemudian, saya pun terkunci lagi. Kalau itu memang pure, kesalahan saya yang menutup pintu terlalu keras.

Saya memang ceroboh. Kalau diingat-ingat, kecerobohan saya saat PPG banyak sekali. Dimulai dari kaki yang terkena setrika, usb Ulfa yang meleleh akibat saya setrika, tupperware yang gosong karena kelamaan di magic com, jatoh di tempat jemuran karena lupa pake rok span. Ah, banyak sekali.

Bulan ini bulan maret, pas sekali ketika 2 tahun lalu. Di bulan Maret saya dan teman-teman mulai PPG.  Kemudian PPG telah usai. Ternyata, bukan hanya foto yang menyimpan memori. Tapi kumpulan obrolan, juga dapat merekam memori.

Minggu, 04 Maret 2018

Tuhan Maha Baik

Tuhan Maha Baik.
Kalau saja, kebahagiaan hanya diukur berdasarkan uang. Mungkin bahagia hanya milik orang-orang yang beruang.

Tuhan Maha Baik.
Kalau saja, kebahagiaan hanya diukur berdasarkan jabatan. Mungkin bahagia hanya milik orang-orang yang berpangkat.

Tuhan Maha Baik.
Kalau saja, kebahagiaan hanya diukur berdasarkan fisik. Mungkin bahagia hanya milik orang-orang yang rupawan.

Tuhan Maha Baik.
"Lalu nikmat Tuhan manalagi yang kalian dustakan" - Q.S Ar-Rahmaan

Minggu, 05 November 2017

Pindah Rumah

Beberapa minggu belakangan mama selalu bercerita tentang rencananya untuk pindah rumah, ke daerah dekat tempat tinggal kakak saya. Terkadang saya berpikir, mama ini hanya bercanda, tapi sering juga saya menemukan serius dalam obrolan pindah rumah ini.

Mama ingin pindah rumah, bukan tanpa alasan. Beberapa alasan logis mama kemukakan pada saya. Yang pertama, adik perempuan saya mondok, dan adik laki-laki saya rencananya akan melanjutkan smp di tempat kakak perempuan saya, dan otomatis mama tinggal hanya dengan saya. Yang kedua, saya insyaallah ingin menikah (aamiin) artinya, sebagai perempuan saya pasti dibawa keluar dari rumah oleh suami saya. Dan praktis, mama akan tinggal sendiri.

Mama bukan tipe orang yang bisa hidup sendirian. Mama senang tinggal bersama banyak orang. Saya tahu persis, sepeninggal papa, kemudian dua kakak saya keluat dari rumah (karena menikah) mama merasa kesepian.

Perkara pindah rumah ini bukan perkara sepele bagi saya dan keluarga saya. Beberapa kali mama utarakan dan bertanya pendapat saya. Dan saya selalu menjawab "kiky mah gimana mama, yang penting mama tinggal nyaman dan aman". Itu adalah jawaban saya yang alakadarnya. Padahal, untuk meninggalkan rumah ini, banyak hal yang akan berbeda tentu.

Saya tahu, lambat laun saya pasti akan pergi dari rumah ini. Mungkin juga hanya berkunjung sesekali, atau mungkin beberapa kali. Tapi rumah ini adalah rumah tempat masa kecil saya. Tempat saya menyimpan kenangan dengan papa. Saya belum terbayang, jika harus pulang tapi ke tempat yang berbeda. Misalnya, rumah baru. Rumah baru, pasti akan bertemu dengan lingkungan baru.

Pertimbangan saya tentang pindah rumah adalah Mama. Mama bukan tipe orang yang mudah bergaul, apalagi dengan orang baru. Apakah bisa mama nantinya hidup nyaman dengan lingkungan yang baru. Saya takut, ditengah perjalanan mama ingin kembali kerumah kami yang dulu. Pindah rumah, tak semudah pergi bertamasya.

Tapi, semua orang memang harus berpindah. Nabi pun bilang untuk hijrah, itu yang mama selalu bilang. Mama ingin hijrah ke tempat baru, mungkin dengan berpindah, kehidupan akan lebih baik. Dan sampai tulisan ini saya tulis. Perbincangan tentang pundah rumah adalah perbincangan yang tak pernah henti dibahas.