Rabu, 09 September 2015

Cerita 47 - Pengakuan Dosa

Selama setahun ini selain mengabdi (ciyeee) ada beberapa dosa yang harus kuakui. Duh sebenarnya malu untuk mengakuinya.
Yang pertama adalah aku pernah makan daging sapi dimana bukan aku yang menyembelihnya. Aku tahu aku diharamkan untuk memakan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, tapi saat itu apa daya. Setan banyak hingga aku memakannya. Makannya banyak lagi. Maaf ya Allah.
Yang kedua adalah pulang pagi saat pesta. Disini kalau pesta memang dari malam sampai pagi. Awalnya aku pulang pesta paling jam 12 malam, tapi lama kelamaan karena menganggap pesta adalah suatu hiburan aku pulang pagi, pernah pulang pesta jam lima pagi. Lalu di pestanya dansa sana sini. Abis gimana aku diajari dansa oleh tetua disana, dan diajak dansa sana-sini. Kalau nolak tidak enak. Lagian di jawa kan mana pernah pesta kaya gitu.
Yang ketiga adalah aku pernah ngamplopin ke pesta hanya dua ribu perak. Jadi biasanya adat disini ketika diundang acara syukuran atau pesta, para tamu memberikan amplop berisi uang. Aku tau dari bapa desa ketika aku berangkat pesta. Awalnya aku memberi amplop dalam jumlah yang banyak selayaknya di jawa. Tapi lama-kelamaan teman guru bilang, jangan banyak-banyak. Akhirnya menurun seiring berjalannya waktu, paling kecil lima ribu rupiah. Sampai suatu waktu saat mau pesta aku tidak memiliki uang pecahan. Cari sana sini tidak ada, akhirnya teman guru memberikan uang seribuan dua, yang kucel dan lecek lalu bilang. “Sudah ibu dua ribu ju son apa-apa.” Akhirnya Rizky datang ke pesta dengan amplop dua ribu rupiah, dan makan kenyang.
Yang keempat adalah aku pernah menyuruh orang minum sopi. Ini benarbenar terpaksa karena aku diminta minum untuk adat oleh tetua. Daripada terus menerus disuruh aku cari orang untuk minum sopi sebagai penggantiku. Disana juga aku tahu bau sopi, tahu warnanya, Duh, aku justru malah dekat-dekat dengan sopi karena mau tahu bentauk, warna dan baunya seperti apa.
Yang kelima aku sering ikut ibadah “mereka”. Jangan punya pikiran negative dulu. Biasanya disana banyak acara-acara pengucapan syukur, atau kalau disini lebih ngehitznya acara syukuran. Biasanya acara syukuran diawali dengan ibadah syukur. Aku mau tak mau harus duduk diam disitu. Kebanyakan ketika ada ibadah seperti itu aku duduk sambil tidur. Hehehe.

Hal-hal di atas merupakan dosa-dosa besarku selama setahun disana. Selebihnya Insya Allah aku masih tetap berada di jalan yang lurus. Malu sebenarnya mengakui hal ini. Tapi aku sudah berusaha seminimal mungkin untuk melakukan hal-hal diatas. Semoga Allah mengampuni dosaku.

Cerita 46 - Bapa Desa

Aku tinggal di dekat Bapa Desa, dan aku bersyukur tinggal disana. Bapak adalah sesosok pemuda yang semangat membangun desanya. Dengan kumis sepotong macam hitler Bapak justru tak ada hitlernya. Bapa amat sangat baik. Seperti kepadaku, Bapa menerima orang baru yang ingin memajukan Desanya. Dia bilang harus menghargai orang yang jauh-jauh datang untuk membuat pintar anak disini. Bapak memang bukan sarjana, tapi kalau sudah ngobrol sama Bapak, sarjana juga kalah pintarnya. Bapa memang gaptek, tapi dia tidak malu mengakui dirinya yang gaptek, Bapak tak segan meminta tolong padaku, bahkan kadang minta tolong padaku untuk mengajarkannya.

Bapak memiliki cirri khas, yaitu tertawanya. Sepanjang satu tahun disini aku tak pernah melihat Bapak seharipun tidak tertawa. Bahkan kadang aku yang bingung ini Bapak tertawa atau sedang marah. Tapi Bapak kalu marah juga serem. Hihi. Ciri khas yang lain adalah sirih pinag. Bapak merupakan “sirih pinang addict”. Bisa stress kalau tidak ada sirih pinang dan tembakau. Makanya bibir Bapak selalu merah gonjreng. Bapak juga yang menghadiahi aku sirih pinang ketika aku ulang tahun. Kalau kemana-mana tas Bapak selalu Mama isi bekel, apa bekelnya? Ya sirih pinang.

Seperti kebanyakan orang disana, Bapak hobi bercerita. Dan aku hobi mendengarkan cerita Bapak. Bahkan teman-teman SM3T yang berkunjung ke desaku menjuluki Bapak sebagai “Bapak Asik” atau “Bapaknya kita semua”. Karena tiap ada temanku yang abis berkunjung pulang ke penempatannya Bapak selalu bilang “Hati-hati ibu, jangan lupa pulang kesini ya.”  Makanya aku merasa memiliki seorang Bapak disini.

Sebagai Kepala Desa, Bapak sangat totalitas dalam melayani masyarakat. Bahkan kadang aku dan Mama yang ribut karena Bapak kerja tak tahu waktu. Bayangkan kadang ada warga desa yang malam hari minta ini itu, Bapak tetap melayani. Belum lagi rapat ini itu yang menghabiskan waktu berjam-jam. Atau orang laporan yang membuat denda adat Bapak juga harus duduk berjam-jam dengan masyarakat. Ah Bapak, seharusnya Kepala Desa bekerja 8 jam, Bapak malah 24 jam. Bapak hanya bilang “Pelayanan harus dengan sepenuh hati to Ibu.” Temanku sampai bilang “Kalau Bapak jadi calon presiden, kami siap jadi tim suksesnya.”

Itulah Bapak yang bercerita tanpa habis. Yang memiliki cita-cita setinggi langit. Yang ingin anaknya sekolah tinggi tidak seperti dirinya. Ah Bapak, kadang aku iri dengan keikhlasan dan ketulusannya dalam mengabdi. Yang sehat-sehat terus ya Pak. Semoga Bapak bisa jadi anggota DPR sesuai cita-cita Bapak. Mudah-mudahan seperti yang Bapak bilang “Ibu, biasanya orang yang pernah mengabdi di Oelfatu selepasnya dia akan menanjak dalam karirnya.” Aku aamiin kan Pak.



Sampai ketemu lagi Pak. Semoga aku bisa bertemu Bapak lagi. Terima Kasih Pak atas ilmu yang diberikan, semoga Bapak selalu diberi berkat lebih oleh Tuhan.

Cerita 45 - Kampung Lama

Bulan puasa kemarin saya diajak petugas sensus (Ka Ovry, Pa Jumles, Om Dan + Tante Oematan, Deky dan Om Ed) untuk pergi ke kampung lama desa Oelfatu yang berada di kaki gunung Timau. Ko satu desa bisa ada  Kampung Lama? Jadi pada jaman dahulu kala semua orang yang tinggal di desa Oelfatu yang sekarang tinggal di bawah kaki gunung Timau, pada tahun 80 an, Gubernur NTT menginstruksikan untuk pindah ke dekat pesisir pantai, jadilah para warga berduyun-duyun pindah di desa Oelfatu yang sekarang, namun masih banyak orang yang tinggal di kampung lama yang tidak ingin meninggalkan kampungnya dengan alasan untuk menjaga ternak dan hasil ladang.

Kami (aku dan petugas sensus) berangkat jam 2 siang. Empat motor berangkat bersama-sama. Jangan difikir perjalanan tanpa hambatan. Perjalanan memang mulus, namun jalan yang sangat terjal membuat kami yang di bonceng harus turun berkali-kali. Maklum, jalan menanjak dengan batu pasir membuat motor terkadang tak stabil. Tapi sepanjang perjalanan walaupun medannya berat,aku selalu takjub dengan pemandangan alamnya. Aku pernah melewati jalan ini ketika pergi ke kupang via poros tengah dimana saat itu adalah musim hujan. Nah, sekarang musim panas, memang tidak sehijau ketika saat musim hujan, tapi tak mengurangi pemandangan yang luar biasa gagah. Hamparan padang rumput yang indah, sapi dan kuda liar yang sedang makan. Ah membuatku tak henti-hentinya memuji nama-Nya.

Matahari terbenam pas ketika kami sampai air sirih. Aku berbuka dengan air sirih dan jajanan yang aku beli di kios. Segar rasanya. Hawa dingin mulai menusuk tulang. Kami melakukan perjalanan malam. Jalanan yang terjal hanya diterangi oleh lampu sepeda motor, maklum ini adalah hutan mana ada lampu jalan. Kufikir Kampung lama adalah pemukiman di tengah hutan. Jarak antara rumah sangatlah jauh.

Kami mendatangi rumah pertama untuk sekedar menghangatkan tubuh. Pemilik rumah tersebut adalah seorang janda dengan anak satu. Beliau senang sekali menerima tamu. Bahkan kami disuguhkan segala yang dia punya termasuk sismeto (daging kering) makanan khas kampung lama. FYI: Daging keringnya benar-benar kering sampai aku susah untuk mengunyahnya. Yang pertama aku cari di rumah persegi berdinding kayu ini adalh kamar mandi, maklum di udara dingin seperti ini hasrat buang airku semakin besar. Dan ya, si tante bilang “disini son ada kamar mandi”. Mulailah aku stress. Aku minta ke rombongan untuk mencari rumah yang ada kamar mandinya. Akhirnya tante Oematan mengusulkan untuk pergi ke rumah Bapak RT Nainefo, yang katanya rumahnya tidak jauh dari sini.

Rumah Pak RT hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, karena jalan yang menurun. Jadi kamii titip motor di rumah pertama dan mulai berjalan kaki. Kata-kata dekat yang sebenarnya adalah jauh. Sudah gelap, kita hanya diterangi rembulan dan Hape Nokia Senter kami berjalan kaki menurun ke bawah. Melewati hutan dan padang rumput yang berembun membuat kami harus berjalan berhati-hati. Maklum jalanan licin, Bahkan Om Edi saja terpeleset. Sekitar satu jam kami sampai di rumah pak RT. Hal yang pertama aku Tanya adalah “ada kamar mandi?” Dan harapan kosong ternyata, pak RT juga tidak memiliki kamar mandi, alhasil selama di kampung lama akhirnya pertama kali aku buang air di semak-semak.

Di rumah Pak RT kami tidur untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Aenoni. Untuk diketahui Kampung Lama terdiri dari tiga tempat yaitu Nainefo, Aenoni dan Nefonunuh.

Pak RT memiliki anak kecil yang baru berusia sekitar 2 bulan. Sang nenek memintaku untuk memberikan nama. Duh, Aku merasa sangat tersanjung member nama anak. Pikir-pikir dan kuberi nama “Avisena” entah ilham darimana aku ingin saja member nama itu.

Pagi hari aku dikejutkan oleh Pak RT yang bilang “Ibu tahu tidak tadi malam ibu berjalan dari mana?” Kemudian beliau menunjuk bukit nun jauh di atas sana. OMG! Ternyata semalam aku turun dari atas sana. Dan, siang ini mau tidak mau aku harus mendaki ke atas sana untuk mencapai Aenoni. Dalam keadaan puasa, siang hari aku mendaki ke atas sana. Rasanya capek, lelah dan dibayang-bayangi oleh “membatalkan puasa”. Tapi aku disemangati oleh kawan-kawan. “Ayo semangat, ibu pasti bisa”. Perjalanan cukup lama karena aku yang sebentar-sebentar istirahat. Alhasil, aku seperti sapi dari belakang didorong, dari depan ditarik. Sampai atas, kawan-kawan langsung mengambil motor dan kita langsung pergi ke Aenoni.

Sampai di Aenoni kami berkumpul di gereja. Karena jarak antar rumah sangat jauh dan tidak memungkinkan petugas sensus untuk mendatangi masing-masing rumah akhirnya masyarakat dikumpulkan di gerja. Aku yang kala itu masih lelah karena pendakian hanya duduk diam dan membantu alakadarnya sampai nyawaku terkumpul kembali. Sensus juga berjalan menyenangkan. Orang kampung memang polos sekali, ketika ditanya ini itu. Ada juga yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Yang paling membuat takjub adalah hewan ternak yang mereka miliki, ada yang memiliki 50 ekor sapi, 20 ekor babi dan 50 ekor kuda. Gila fikirku mereka memang orang kaya. Tapi yaaa rumah mereka alakadarnya, anak mereka tidak ada yang sekkolah tinggi aku juga bingung mengapa.

Saat-saat sensus tiba-tiba hasrat ingin buang air besarku muncul. Lalu aku bilang ke mama ingin BAB. Si mama bilang disini hanya ada wc darurat. Ah gapapa fikirku, saat-saat begini gak peduli mau darurat atau wc duduk habok aja. Di dekat gereja ada bangunan persegi. Duh susah menjelaskannya, pokonya hanya dari kayu dan langsung jatuh ke bawah, permasalahan bukan itu. Masalahnya adalah pintu wc tersebut gorden yang hanya setengah, jadi disitu aku bingung mau konsentrasi BAB atau berusaha untuk menutup pintu. Akhirnya aku menyerah dan keluar. Aku bilang pada kawan-kawan “Aku nggak bisaaaaa.” Kehebohan aku ingin BAB tersebar dan ada mama yang menawarkan untuk pergi kerumahnya, disana adalah satu-satunya WC sehat yang ada di kampung lama. Beliau bilang dekat. Tanpa piker panjang aku langsung pergi kesana, dan yaaa dekatnya orang sana ya jauhnya aku. Sampai sana rasanya aku menemukan surge. Aku bingung bagaimana mereka masih bisa hidup seperti itu di era modern seperti saat ini.

Matahari terbenam dan sensus pun selesai. Aku yang kala itu puasa disuruh mama disana untuk potong ayam. Hal yang lucu adalah. Ketika aku mau datang, rumor beredar kalau aku tidak meminum kopi, aku hanya meminum teh atau susu. Dan ya, buka puasa aku disuguhi susu. Kebayang gimana eneknya buka puasa pakai susu, saat itu aku piker “Tea is better madam”. Makan selesai, kami mengobrol dengan bai (kakek). Lucunya para bai  ini sebelum minum laru (minuman keras khas sana) tidak bisa bahasa Indonesia, eh abis minum lancer jayaaa.

Selepas berbincang, kami pun pamit untuk tidur, Nah di aenoni dinginnya bangeeeeet. Aku udah pake jaket sleepingbag tetep tembus, bahkan saat mau sahur untuk minum aja gak kuat banget bangunnya. Melebihi Nainefo. Di Nainefo aku masih bisa gak pake jaket, di Aenoni jaket dan selimutan terus.

Pagi hari kami panen lemon (jeruk). Bulan juli begini kampung lama sedang panen lemon. Dari mulai lemon besar sampai kecil, jeruk cina sampai jeruk bali semua ada. Ambil seberapa? Ambil sesukanya. Sayangnya kami naik motor jadi hanya membawa sebagian, tak banyak. Aku juga diberi ayam kampung sebagai oleh-oleh. Jadi sepanjang perjalanan naik motor aku tenteng ayam kampung terus. Sekitar siang kami pulang ke Oelfatu.








Ini adalah pengalaman berharga bagiku. Pengalaman yang membuatku belajar bahwa kita harus menghargai semua orang yang mau datang membangun. Belajar bahwa kita harus baik kepada semua orang. Ah, warga kampung lama, terima kasih atas pembelajarannya. Someday, aku akan kesini lagi.

Cerita 44 - Mengungsi Puasa

Sudah satu minggu aku berpuasa disini, sendirian. Kesibukan Glori Cup membuatku tidak bisa pergi kemana-mana. Aku ksepian makan sahur dan buka seorang diri. Aku rindu ramadhan yang sesungguhnya dimana semua orang bersuka cita menyambut dan melaksanakannya, tapi disini berbeda ya mereka bukan dari golongan agamaku. Ramadhan tak seperti dulu.

Aku pun memutuskan untuk pergi ke naikliu, kecamatan sebelah yang memiliki masjid. Disana juga ada Menik dan Uyun teman SM3T-ku. Aku ijin susah payah ke Bapa desa, dan ketua panitia. Semua oke, asal jangan terlalu lama. Pikirku yang penting aku jalan dulu saja, urusan pulang ya bisa nanti-nanti lah.

Bersama Pak Yan aku jalan ke Naikliu. Rasanya excited. Ramadhan memiliki temam, mendengar suara adzan dan shalat berjamaah. Sampai di naikliu, justru aku sedih. Beginilah memang puasa di tanah rantau bersama teman-teman.

Naikliu merupakan kota kecamatan, yang lebih maju dibanding desaku. Disini listrik PLN 12 jam, yang berarti ketika sahur masih ada listrik, tidak perlu repot meminjam TS.

Memasak makanan berbuka bersama, saling bercanda riang, tidur, atau mengaji bersama. Ini semua menyenangkan, memiliki saudara sesame muslim yang membuat aku tak kesepian lagi.


“Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan.”

Cerita 43 - Ramadhan di Tanah Rantau

Ramadhan memang tak pernah sama, selalu menghadirkan kisah berbeda di setiap tahunnya, begitu juga tahun ini.

Ramadhan kali ini aku berada di tanah raantauan desa Oelfatu Kec. Amfoang Barat Laut Kab. Kupang NTT. Mungkin terdengar biasa, banyak juga orang yang berpuasa di tanah rantauan. Tapi akan berbeda halnya ketika menjadi minoritas dimana aku adalah satu-satunya muslim di desa ini.

Kebanyakan warga beragama Kristen sisanya katolik. Mereka awam tentag agamaku, tidak seperti orang kota yang berbeda namun mengetahui, mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang agamaku. Maklum ini kampung informasi susah disapat, mereka hanya tau dari lingkungan saja, selebihnya tidak tahu. Seperti kemarin ketika aku meminta maaf ke tetangga, teman, dan siswa mereka langsung bertanya padaku ada apa. Setelah aku jelaskan baru mereka mengerti. Justru mereka bertanya-tanya padaku apa itu puasa, mengapa dan bagaimana. Jangan Tanya suasana ramadhan, sama sekali tidak dapat dirasakan disini.

Teman satu penempatanku juga Kristen, tapi dia sedikit banyak tahu tentang Islam, karena bapaknya muslim. Jadilah otomatis aku akan berpuasa sendirian selama disini.

Dari kecil hingga besar tak pernah aku berpuasa sendiri seperti ini. Kenyataan harus berpuasa sendiri membuat aku mempersipkan banyak hal seperti persediaan makanan dan penerangan. Kenapa penerangan? Karena jam 12 genset milik bapa akan dimatikan, jadi aku meminjam lampu ts (tenaga surya) milik bapa yang terang. Tidak lupa pasang alarm.

Khawatir terlambat, setiap jam aku bangun. Nesya akhirnya membangunkanku ketika jam 3. Aku bangun dan mempersiapkan sahur. Seperti mama-mama aku memasak. Nesya menemaniku, dia juga bangun. Aku merasakan bagaimana beratnya menjadi mama-mama yang harus bangun lebih pagi untuk memasak makan sahur. Makanan siap aku pun makan sendiri, melakuka aktivitas sahur sendiri kadang membuatku merasa sedih. But it’s the real life.

Ramdhan memang tak akan pernah sama tapi semoga ramadhan kali ini aku dapat menjalaninya lebih baik dari sebelumnya aamiin ya rabbal alamiin.


HAPPY RAMADHAN!!!!

cerita 42 - Perjalanan Poros Tengah

Nesya ke Kupang. Sakit kakinya makin parah bernanah dan bau, kebetulan sore itu ada kapal yang membawa orang untuk pergi ke rs DI Kupang, jadi Nesya langsung menumpang disana. Aelama Nesya di Kupang hidupku hanya seputar sekolah-malam tidur di pastori-pergi ke mama desa-sekolah lagi. Mama Pendeta menyuruhku untuk tinggal di pastori “daripada sendirian “ katanya. Aku juga tidak memasak, makan siang di mama desa dan makan malam di mama pendeta. Seperti biasa aku, mama pendeta dan bapa pendeta juga ada Pa Yan (pendeta desa timau yang ikut menginap disana) bercerita dan mengobrol.

“Pi Kupang yuk!” Pa Pendeta memulai percakapan

“Eh.” Aku kaget

Pa Pendeta mau pergi ke Kupang untuk berbelanja kebutuhan paskah, mama oendeta juga ikut, pa Yan juga. Aku galau. Berarti nanti aku sendirian. Aku dan Nesya memang berencana untuk pergi ke Kupang akhir Maret karena liburan Paskah (Libur paskah disana 2 minggu), tapi karena Nesya sakit jadi mau tak mau dia harus ke Kupang. Sebenarnya tidak masalah aku pergi ke Kupang, masalahnya dalah perekonomian aku dan Nesya sedang goyah *halah*. Uang bawaan kami ke kampung sudah habis. Bahkan sekarang akuk hanya memegang uang sebesar Rp.20.000,-, Sedangkan untuk pergi ke Kupang setidaknya memerlukan uang Rp. 100.000,-. Galau melanda. Akhirnya aku curhat ke Pa Yan dan merajuk ingin ikut ke Kupang. Jujur, aku juga sudah lumayan jenuh karena biasanya aku sebulan sekali ke kota, kali ini rekor tiga bulan belum pergi ke kota. Aku merajuk dan bilang pada Pa Yan untuk naik motor saja, paling tidak kalo naik motor aku bisa gratis. Pa Yan yang kasihan melihat anak rantauan akhirnya mengiyakan permintaanku. Jadi nanti aku dengan Pa Yan, Pa Pendeta dengan Om Vanuel.

“Kita nanti jalan lewat atas atau bawah” Om Vanuel bertanya.

Aku yang mendengar kata “atas” langsung excited dan bilang untuk lewat atas saja. Lewat atas maksudnya adalah jalan memutar atau biasa disebut poros tengah. Menurut banyak orang, poros tengah ini pemandangannya keren sekali. Aku kan langsung mupeng dan merajuk. Lagipula jalan bawah agak sulit untuk dilewati Maklum musim hujan apalagi pasca bencana seperti ini ikut jalan atas adalah pilihan yang baik, walaupun jalan bawah sudah dapat dilewati. Mereka setuju, dan Pa Yan bilang “Bu, nanti ibu siap-siap turun ya.”

Pagi hari aku siap semua. Dua motor jalan beriringan, tapi tetap saja Pa Pendeta selalu di depan, maklum beliau naik motor besar dan ngebutnya masya Allah, padahal di jalan yang gak bagus. Selama perjalanan memang kenyataannya aku harus turun berkali-kali, banyak jalan yang tidak bisa dilewati jika naik motor ada boncengannya. Jalanan mendaki. Perjalanan yang melelahkan tapi semua terbayar dengan pemandangan yang begitu keren. Hamparan padang rumput hijau. Sapi yang berlalu lalang, dan ah cuacanya dingin, seperti lembang di Bandung.

Kalau lewat poros tengah kita akan menemukan mata air, air sirih namanya. Menurut penelitian air sirih ini lebih sehat dibanding air a*ua. San bebas kapur. Aku yang alay nemu air seger sehat lagi langsung minum airnya. Aku basuh muka juga yak ali mendadak cantik gitu.

Lanjut perjalanan, karena kami jalan hari Selasa dimana hari pasar di Pohon Gunung Timau. Kufikir pasarnya besar seperti pasar Oelfatu, taunya pasarnya hanya di pinggiran jalan. Apa yang dijual? Selain barang kebutuhan pokok, disini terkenal pasar daging. Banyak daging yang dijual disini, mulai dari sapi, babi, burung, musang. Daging ini merupakan daging hasil buruan. Daging tersebut hanya dibakar saja. Dan apa pelengkapnya? Laru putih.



Sudah setengah perjalanan dan aku mulai bosan. Karena pemandangan hijau sudah hilang. Masuk ke Lelogama, Takari ah sudah sama seperti Oelfatu. Perjalanan yang melelahkan selama sepuluh jam akhirnya sampai juga di kota kupang. Such a long journey. Besoknya badan sakit semua karena naik motor. Yaaa namanya nyari pengalaman, ada aja yang harus dikorbankan, badan contohnya.

Cerita 41 - Pesta

Hidup disini berarti harus hidup dengan pesta. Kenapa? Karena disini dikit-dikit pesta, dikit-dikit syukuran. Apa yang dipestakan selain pernikahan? Ada baptisan, ada syukuran wisuda bahkan kematian dan peremian kuburan pun mereka ucap syukur (?).

Pesta disini dimulai malam hari dengan jam yang sangat karet. Karena ketika di undangan tertera jam enam, maka pesta akan dimulai jam delapan bahkan kadang sampai molor jam sepuluh. Jadi sistemnya bukan tamu yang menunggu melainkan yang pesta menunggu tamu, ketika kursi sudah terisi penuh maka baru pesta dimulai. Kalau kursinya belum penuh-penuh ya makin lama dimulainya.

Pesta biasanya dimulai dengan sambutan-sambutan, pemerintahan dan keluarga, lalu doa syukur yang dipimpin oleh pendeta, setelah itu kita akan makan bersama. Makan juga berurutan sesuai tempat duduk. Biasanya sang MC akan memberikan informasi.

“Untuk makanan internasional, di sebelah sana.”

“Untuk yang berhalangan karena kesehatan dan keyakinan ada di sebalah situ.”

Paham gak maksudnya apa? Jadi maksudnya makanan internasional adalah Babi, Anjing dll. Nah yang satunya adalah makanan halal, biasanya khusus untukku atau untuk orang-orang yang gtidak memakan babi.

Ketika ada pesta, aku diberi ayam untuk aku sembelih sendiri. Terkadang kambing atau sapi. Ketika aku bilang, aku tidak memakan hewan yang tidak aku sembelih sendiri, mereka menghargai keyakinanku. Mereka akan menyediakan hewan lain untuk makanku. Bahkan kalau tidak ada ayam, mereka akan berusaha mencari makanan lain yang stera dengan daging, misalnya telur. Tapi itu juga dibarengi dengan permintaan maaf mereka yang gak habis-habis. Bagiku tidak ada masalah ketika aku harus malan yang berbeda, bahkan sayur pun aku terima, aku tak ingin mereka repot karena kehadiranku, tapi menurut pandangan mereka berbeda. Kalau mereka makan daging, berarti aku juga harus makan daging, mereka akan merasa bersalah sekali ketika aku hanya makan yang biasa.

Setelah acara makan bersama akan diadakan acara bebas. Apa itu acara bebas? Dansa. Yap, orang sini gila dansa. Aku yang semula tak bisa, sampai ketagihan dansa. Maklum, pesta selain ajang makan enak, merupakan acara hiburan bagi kami. Awalnya kami pesta diajak oleh Bapa Desa, dan jam 11 malam sudah pulang. Namun Bapa desa ditegur oleh orang-orang sana, mereka bilang bahwa Ibu guru kalau pesta jangan pulang sedu (awal), harus dansa dulu biar tahu budaya sini.

Alhasil, ketika pesta teman guru aku dan Nesya pulang jam 2 pagi. Kami belajar dansa dan akhirnya diajak dansa sana sini. Aku awalnya canggung, lama-lama juga biasa. Malah senang, mereka mengajariku berdansa.

Yang lucu saat pesta adalah ketika masih awal-awal acara bebas, masih sepi orang yang berdansa karena belum panas, mereka belum minum sopi. Lama-lama, saat mereka sudah minum sopi, mulai satu per satu berdansa, bahkan kadang rebutan nona (perempuan). Nah ada aturan khusus untuk nona, jika sudah lelah berdansa boleh menolak, tapi jangan dansa lagi. Karena nanti akan menimbulkan keributan, maklum para Nyong yang berdansa sudah terkontaminasi oleh miras, otaknya sisa setengah.

Tidak jarang pesta diakhiri dengan keributan, ada yang bahkan sampai baku hantam. Cuma masalah dansa dan senggol-senggol saat goyang. Maklum mabok.Bagiku pesta ini memang merupakan hiburan, karena kapan lagi melihat Amfoang Terang sampai pagi, melihat orang tertawa renyah sampai pagi. Apalagi kalau tidak ada yang mabok, pasti pestanya bakal lebih menyenangkan. Bahkan, pesta terakhir disini aku pulang jam 5 pagi.




Cerita 40 - Selamat datang Januari Hujan berhari-hari

Bulan Januari banyak yang bilang adalah bulan dimana musim hujan datang. Di Indonesia yang hanya memiliki dua musim yaitu hujan dan panas, bagiku ya musim hujan biasa saja. Tapi beda disini, musim hujan adalah musim yang dinanti. Musim dimana pengharapan baru muncul.

Aku mengalami hujan yang dahsyat saat disini yang mengakibatkan bencana banjir. Saat itu pagi hari hujan besar datang, ya musim hujan hujan besar datang ya wajar. Tapi hujan kali ini beda. Hujan besar yang datang , angin bertiup kencang sampai membuat pepohonan tumbang, awan hitam penuh mengelilingi langit, tak ada cahaya matahari, dan petir yang menggelegar membuat bulu romaku berdiri. Kala itu aku takut. Bayanganku sudah seperti di film Hollywood dimana ketika hujan besar seperti itu nanti atap rumah akan terbang dan aku juga ikut terbang terbawa angin, oke itu hujan besar apa angin tornado (?)

Saat hujan besar seperti ini rasanya susah untuk sekedar mencuci piring atau pakaian, bahkan untuk sekedar pergi ke kamar mandi. Maklum, kamar mandi ada di luar rumah, berjarak lumayan. Mau tidak mau harus memakai paying, belum lagi genangan air di sepanjang jalan, alhasil kutu air menghinggapi kakiku. Belum lagi harus timba air, bingung mau pegang payung atau mau timba air. Disitu aku merasa menyedihkan.

Aku lalu bertanya pada Bapak kapan hujan berhenti. Bapak bilang jika menurut perhitungan adat hujan akan berhenti setelah 2 hari 2 malam, atau 4 hari 4 malam, atau 8 hari dan 8 malam, dan seterusnya. Buset kalau begini cucian piring sama pakaian gue apa kabar.

Hujan besar disertai angin begini membuat bingun “What should I do?” Ketika laptop nyala bisa saja akmi menonton film, tapi listrik padam dan barterai laptop sudah habis. Hujan begini juga membuat sinyal hilang. Tower pasar tidak ada hujan dan angin saja tak ada sinyal apalagi hujan begini, bahkan tower sinyal di kecamatan sebelah juga rusak. Jadi aku dan Nesya menghabiskan waktu dengan duduk ngobrol bercerita, kalau tidak tidur lagi.

Setelah hujan agak reda, aku bersiap ke sekolah mandi dengan air hasil timbaan yang berburu dengan hujan. Disekolah baru aku guru yang datang, anak sekolah juga bisa dihitung dengan jari. Katanya memang biasa seperti ini kalau hujan besar ya sekolah diliburkan. Sekolah juga tak ingin mengambil resiko, bisa saja musibah sewaktu-waktu terjadi. Jadi aku memimpin apel, menggabungkan kelas, ketika hujan besar datang kemabli aku memulangkannya. Aku sendiri juga takut kalau hujan datang speerti itu.

Sabtu, 24 Januari 2015
Hujan tak berhenti walau hanya sesaat. Piring-piring yang belum dicuci mau tak mau kami cuci dengan hujan-hujanan. Anak SD pulang awal, anak SMP pun juga demikian. Dan aku masih menunggu hujan agak reda untuk pergi ke sekolah. Namu, nampaknya hari ini hujan tidak akan reda. Tahu air yang tumpah dari ember? Begitulah kira-kira gambaran hujan pada hari itu.

Siang harinya banyak warga yang mengungsi ke Balai Pertemuan Desa. Kali meluap katanya sampai masuk ke pemukiman. Bapa bilang ini baru terjadi lagi, dulu pernah terjadi ketika tahun 2002. Gilak, ini sudah bisa dibilang bencana. Bapak mulai sibuk pergi melihat lokasi. Aku berdiam diri saja di kamar, takut. Membayangkan kalau sampai banjirnya sampai sini. Sekitar sore tiba-tiba hujan berhenti dan awan kembali terang.

Usut punya usut, siang tadi ada dua orang yang meninggal terbawa banjir. Menurut kepercayaan disini kalau kali sudah memakan korban, maka hujan akan berhenti. Wallahualam. Percaya gak percaya sih tapi kenyataannya gitu. Langsung berhenti banget. Kebayang kalau hujannya masih samapi sehari lagi aja, pasti tempat tinggalku juga kebanjiran.

Bencana ini membuat banyak rumah apalagi yang dekat dengan kali rusak terendam banjir. Rumah-rumah bundar terseret air banjir, hewan ternak juga ikut terbawa banjir. Dan yang lebih parah adalah sawah yang sudah ditanami padi dan jagung ikut terendam air membuat gagal panen. Jalanan juga banyak yang putus. Ah, banjir ini memang menakutkan sampai memakan 2 korban.

Alhamdulillah Tuhan masih melindungikku.



Cerita 39 - Perjalanan ke Utara

“Mau ikut ngga ke Naikliu?” Pagi hari kak Ale bertanya padaku dan Nesya. Naikliu adalah desa di Kecamatan Amfoang Utara. Desa dimana ada teman SM3T yang bertugas dan Kecamatan di Amfoang yang satu-satunya memiliki masjid. Tanpa babibu aku langsung mengiyakan ajakan Kak Ale. Aku penasaran, bagaimana rupa masjid di dearah minoritas.

Amfoang Utara merupakan Kota Kecamatan. Sebelum pemekaran, Amfoang merupakan suatu wilayah yang memiliki pusat kecamatan di Amfoang Selatan (Lelogama) dan Amfoang Utara (Naikliu). Apa kelebihan dari kota kecamatan. Jadi di Naikliu dan Lelogama PLN sudah masuk desa, walaupun hanya 12 jam yaitu dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi, sinyal internet juga dapat disini walaupun hanya edge. Tapi itu kelebihan dari kota kecamatan. Selain itu ya sama aja, selayaknya desa-desa lain di Amfoang.

Setelah bersiap-siap kami pergi ke utara. Aku bersama Kak Elton dan Nesya bersama Kak Ale. Bagaikan perjalanan Tom San Chong mencari kitab Suci di Utara perjalan juga tak semudah yang dibayangkan. Jangan pernah mengharapkan jalanan rapi beraspal. Itu hanya sebatas angan dan impian. Medan jalan ini lebih parah dibanding jalanan di desaku. Jalanan batu pasir dengan debu yang aduhai menyambut kami selama perjalanan. Perjalanan membelah hutan ini menghabiskan waktu satu jam. Tak dianjurkan untuk menggunakan pakaian bagus disini, percuma nanti yang warnanya hitam berubah menjadi abu-abu.

Sampai di Amfoang Utara rasanya memang beda apalagi ketika sampai Naikliu. Di dekat Kantor kecamatan Amfoang Utara terdapat bangunan Bank NTT yang katanya akan dibuka bulan Oktober (kenyataannya sampai saya selesai tugas SM3T bank NTT capem Naikliu belum jua dibuka). Disana juga ada dermaga, tempat kapal berlabuh. Pertama kali kesana memang seperti biasa dermaga hanya bangunan di pinggir laut tapi sekitar bulan Maret ketika kapal Kiser dari Ambon yang berlabuh di Dermaga masuk, dermaga tersebut mulai kelihatan sedikit berfungsi ya walupun hanya dua minggu sekali. Selebihnya dermaga hanyalah tempat duduk-duduk menghabiskan waktu sore atau tempat foto yang mereka anggap gagah.

Ada dua orang  teman SM3T disana yaitu Menik dan Uyun. Sekolah mereka ada di desa Afoan dan tempat tinggal mereka ada di desa Naikliu, dan jarak antara tempat tinggal dengan sekolah adalah 6 km. Gilak. Kami langsung menuju ke tempat tinggal menik dan uyun, mereka tinggal di lingkungan masjid. Kalo disini mah namanya tempat tinggal marbot, bangunan semi tembok. Aku dan Nesya suka ngejek namanya “gubuk derita” ya padahal tempat tinggal kami juga gak lebih baik dari tempat mereka.

Melihat masjid bawaannya langsung pengen sholat. Gimana engga udah lama banget gak denger suara adzan. Emang di Masjid ini juga sdzan hanya dikumandangkan padaa saat Isya, Magrib dan subuh tapi gak mengurangi esensi masjid sebagai rumah ibadah. Muslim disini berjumlah 20 KK, mereka adalah orang bugis yang merantau disini.


Bertemu teman seperjuangan, tak henti-hentinya kami bercerita tentang penempatan masing-masing. Senang rasanya bersenda gurau sampai tak terasa waktu menunjukan jam 7 malam.  Kami memutuskan untuk pamit pulang. Kebayang buat aku yang penakut ini jalan dengan malam melewati hutan belantara yang gelap, ihhh serem. Alhamdulillah kami selamat sampai tujuan walaupun dengan Perjalanan malam yang hanya diterangi oleh lampu motor disertai dengan doa Rizky.

Cerita 38 - Hati-hati orang mabok

“Orang NTT semuanya baik, kecuali orang mabok.” Begitulah kira-kira perkataan Kepala Dinas PPO Kab. Kupang ketika aku prakondisi di upi Bandung, saat beliau menjelaskan tentang keadaan di penempatan.

Orang mabok? Pasti tak berakal fikirku. Begitu sampai disini mabok atau minum minuman keras merupakan suatu kebudayaan dan kebiasaan. Bahkan ada yang bilang berbagi minuman keras adalah berbagi berkat (?). Sopi dan laru merupakan nama asli minuman keras disini. Dibuat dari fermentasi pohon laru dan tuak, minuman ini dibuat. Yang menjual kebanyakan orang-orang pribumi yang memproduksinya secara tradisional.

Bukan hanya acara pesta, terkadang mereka minum ketika sedang makan atau bahkan sebelum rapat kadang mereka minum dulu. Tapi anehnya nanti rapat berjalan seperti biasa dan mereka juga berbicara semakin lantang dan terarah, eits itu mungkin hanya beberapa orang. Selebihnya? Ada yang mabok rese, ada yang mabok gila.

Harga sopi atau laru satu botol 600ml adalah Rp. 15.000,- mahal? Bagiku mahal. Hanya untuk kenikmatan sesaat. Mendingan uangnya untuk beli telur anak supaya tidak makan kosong. Entahlah bagaimana pemikiran orang disini. Mereka mampu untuk membeli miras tapi untuk makan sehari-hari hanya makan nasi kosong.

Hal yang lucu adalah ketika pesta. Saat acara bebas (dansa), ketika masih jam-jam awal dimana orang-orang belum panas, jarang ada yang turun ke arena dansa. Tapi, setelah mereka menenggak satu gelas sopi, wih arena mulai ramai. Jadi menurut mereka miras itu membuat kepercayaan diri bertambah, yaeyalah mabok.

Aku banyak memiliki pengalaman dengan orang mabok, dari mulai mabok sadar sampai mabok rese. Bapak Desa adalah peminum, hamper setiap hari Bapak minum. Cara paling gampang mengetahui kalau bapak habis mabok adalah di pagi hari, ketika sikat gigi Bapak Oek Oek, maka malamnya atau kemarinnya beliau habis mabok. Karena sopi bukan merupakan barang illegal disini aku sampai-sampai tahu bau sopi seperti apa. Aku tahu cirri-ciri orang yang mabok. Ah, semacam sudah professional saja aku.

Pengalaman dengan orang mabok rese bahkan lebih banyak. Bulan awal aku disini aku dikejutkan dengan orang mabok yang memukul siswaku. Aku yang kala itu takut justru berlindung dibalik para siswa. Siswa juga tak mengizinkan aku untuk bertemu dengan orang maboknya. Mereka bilang “Aman sa ibu, kami bisa atasi, ibu diam-diam sa.”

Ada yang lebih parah adalah bertemu dengan Om Tinus yang tidak lain dan tidak bukan adalah omnya Bapa Desa. Om Tinus berasal dari kampung lama dan hobinya mabok. Nah, karena dia tak pernah menikah, setiap mabok dia maunya dekat-dekat perempuan. Ih menyeramkanlah pokonya, padahal kalau tidak mabok dia pendiem banget. Sampai-sampai aku sama Nesya kalau ada Om Tinus hanya diam saja di kamar, tidak berani keluar, daripada dikejer-kejer.

Ah masih banyak pengalaman dengan orang mabok. Tak kenal usia dan jenis kelamin, semuanya mabok sampai pusing aku melihatnya. Yang kasihan adalah aku pernah melihat mama-mama yang di KDRT-in sama suaminya. Duh, muka dan badannya bonyok-bonyok mengenaskan.

akibat mabok bukan hanya KDRT pada istri, kadang orang mabok yang tidak sadar  lalu memaki tetangga, atau bahkan mudah terpancing emosi yang akhirnya memicu perkelahian, dan ujung-ujungnya denda adat. Yang rugi siapa?


Disini aku melihat kemungkaran, tapi aku bisa apa. Sebisa mungkin aku menghindari. Tapi ini budaya, budaya yang bagiku tidak baik untuk dilestarikan, budaya yang seharusnya direvitalisasi, jika masyarakat paham dan mengerti.

Cerita 37 - Cita-cita




“Apa cita-cita kalian?” Aku bertanya pada mereka di sela-sela pembelajaranku. Memang menjadi kebiasaanku untuk “mengobrol” ketika sedang menulis atau ya seperti saat ini. Mereka antusias menjawab. Aku pun bertanya pada mereka satu per satu. Ada yang ingin jadi dokter, guru, bidan, TNI, Polisi, Petani (?). Linmas (?), Membantu orang tua (?).

Kufikir memang ada beberapa yang memang cita-cita. Tapi untuk petani, Linmas, dan memabntu orang tua apakah itu sebuah cita-cita? Aku pun bertanya pada mereka apa itu cita-cita. Mereka asal-asal menjawab, banyak bilang cita-cita merupakan suatu pekerjaan. Dan kebanyakan mereka memang tak kreatif dalam menajwab masalah cita-cita ini. Bahkan kebanyakan cita-cita mereka hanya ikut-ikutan.

Aku lalu memberikan motivasi pada mereka tentang cita-cita. Mereka mendengarkan dengan seksama walau kadang banyak keraguan di benak mereka. Kadang mereka bertanya “mungkinkah kami bisa, Bu?”. Lalu aku menjawab “Pasti, kalian pasti bisa.” Keraguan-keraguan mereka memang beralasan, tapi jangan jadikan alasan itu sebagai suatu kegagalan di awal, sehingga mereka tak mau mencoba.

Aku pun meminta teman-temanku untuk mengirim surat pada mereka. Di sela-sela pembelajaran aku membacakan surat itu pada mereka. Mereka sangat excited. Ketika dapat surat dari Farid yang seorang perawat di Jepang, mereka tiba-tiba bertanya “Ko perawat bisa sampai ke Jepang, Bu?” Di akhir surat Farid menuliskan tulisan Hiragana dan aku tulis ulang di papan tulis, mereka langsung menuliskannya di buku mereka, dan bilang “Wah, kalau begini lama-lama Be su sampai Jepang.” Aku hanya tertawa melihat kelakuan mereka.

Lain halnya ketika mendapat surat dari Via yang seorang Jr. Research di PT. Aspal Button, mereka terkesima, karena wah ternyata ada pekerjaan seperti itu. Maklum, mereka hanya mengetahui pekerjaan sekeliling mereka, seperti Guru, Pendeta, Polisi, Perawat, dan Pegawai Kecamatan. Selebihnya? Mereka tidak mengetahui apa-apa.

Aku senang membacakan surat dari teman-temanku untuk mereka. Paling tidak mereka memiliki wawasan baru tentang pekerjaan dan juga tentang cita-cita. Di akhir pembacaan surat, aku meminta mereka untuk menulis cita-cita mereka. Yaa, walaupun masih ada yang cita-citanya nyeleneh tapi ada beberapa yang berubah.


Ah kalian. Memang kalian tidak seberuntung teman-temanku disana yang mengetahui banyak hal. Tapi Ibu yakin, dengan kalian yang rajin belajar, lambat laun kalian akan lebih banyak tahu. Kejar terus cita-citanya ya. Ibuu harap salah satu dari kalian ada yang bisa seperti teman-teman Ibu. Pekerjaan yang sempat kalian fikir sebagai pekerjaan aneh yang tak mampu kalian jangkau. Kalian pasti bisa.

Cerita 36 - GLORI CUP III

Menyambut hari ulang tahun Gereja Lahai Roi Manufui, akan diadakan turnamen sepak bola se-klasis amfoang utara, Glori Cup III namanya.

Seperti biasa hari Minggu adalah harinya mencuci. Nesya pergi ke Gereja, aku beres-beres kamar. Selepas Ibadah aku dan Nesya diajak untuk mengikuti rapat pembentukan panitia Glori Cup. Ini acara gereja, tapi bagiku sah-sah saja selama tidak mencampur baurkan akidah, toh ini hanya acara turnamen sepakbola. Rapat berjalan, Nesya menjadi Sekretaris dan aku menjadi koor dokumentasi. Aku senang-senang saja, paling tidak kehidupanku di kampung tidak monoton, maksudnya ada kegiatan lain selain mengajar.

Selepas aku liburan paskah, di kampung mulai disibukkan dengan persiapan kegiatan Glori. Rapat ini rapat itu. Mulai dari tugasku sebagai koor yang tiba-tiba merangkap menjadi publikasi. Aku yang (agak) sedikit bisa photosop, didaulat untuk membuat ini itu. Hari-hari menjelang turnamen, aku begadang terus menyelesaikan tugasku. Kadang sampai tidur di rumah orang karena persiapan ini. Tapi bagiku ini menyenangkan karena aku bisa kenal dengan pemuda Oelfatu yang mengasyikkan. Kegiatan paling menyita waktu adalah Dana dan Usaha, kita berjualan di pasar pagi hari untuk mencari dana. Tapi ini yang aku salut, semuanya benar-benar berpartisipasi dalam acara ini. Bahkan Pa Pendeta sebagai ketua majelis sangat all out dalam turnamen ini.

Turnamen dibuka pada tanggal 20 Agustus which is aku sedang puasa. Yap Turnamen ini dilaksanakan 3 minggu selama bulan puasa. Bahkan Remaja Masjid Naikliu pun turut serta. Saat pembukaan aku didaulat ikut serta dalam menyambut tamu, Aku mengenakan pakaian adat, dan ini kali pertamaku mengenakan pakaian adat Timor. Semua orang takjub. Aku lebih merasa seperti Ibu pejabat karena pakaian yang kugunakan, kebaya, sarung, kerudung. Berasa istri anggota DPR. Wkwk.

Selama tiga minggu turnamen dilaksanakan. Dan selama tiga minggu aku puasa di kampung. Biasanya acara dimulai pada jam 3 sore. Jadi aku habis ashar datang ke lapangan, lalu jam 5 pulang untuk buka puasa, setelah buka kembali lagi ke lapangan untuk evaluasi. Tapi yak arena acara ini puasaku sungguh tak berasa, tau tau sudah pagi, tau tau sudah buka lagi. Mereka menghormati sekali aku yang sedang puasa. Kadang, kalau aku magrib masih disana mereka berteriak “Ibu Kiky su buka ko belum?”.

Pertandingan selama tiga minggu ini amat sangat seru dan ramai. Untuk sekelas pertandingan antar kampung, bagiku Pemuda Desa Oelfatu menyajikan turnamen yang super Waw. Mulai dari sponsor, acara, pertandingan, aturan dsb. Alhamdulillah acara lancar. Dan aku mendadak suka dengan sepak bola, walaupun tidak mengerti aku terhanyut dalam Euphoria turnamen.

Di babak final dilakukan penarikan undian kupon berhadiah sebagai kegiatan danus. Acara penutupan malam hari dan aku didaulat sebagai MC. Padahal aku belum pernah jadi MC di depan banyak orang. Bayangkan se-kecamatan tumpah ruah di lapangan. Mereka bilang biar terlihat lintas agama. Aku mau tak mau harus mau.

Alhamdulillah, turnamennya lancar jaya walaupun ada sedikit drama. Tapi ini menjadi salah satu pengalaman berharga bagiku bekerja sama dengan mereka. Esok hari setelah penutupan, aku merasa sepi. Euphoria masih ada, tapi acara sudah berakhir.






Ah, Glori juga membuatku dekat dengan para pemuda desa. Yang semula tak kenal jadi saling kenal. Yang semula tak sapa jadi saling sapa. Terimakasih, semoga kehadiranku dapat bermanfaat aamiin.