Rabu, 22 Juli 2015

cerita 35 - GGD

GGD merupakan singkatan dari Guru Garis Depan, yaitu guru-guru yang telah mengikuti program SM3T dan PPG, lalu mengikuti tes cpns formasi khusus dan ditempatkan di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). SMA tempatku bertugas mendapatkan 3 orang guru GGD, kedatangan mereka membuatku berpikir…

Mereka hebat, mau mengajar di daerah terpencil, bukan sepertiku yang hanya satu tahun. Mereka harus mengajar di daerah penempatan minimal 5 tahun baru boleh mengajukan mutasi. Bagiku itu hal yang sangat jauh dari bayanganku harus tinggal seumur hidup di daerah seperti ini. Hidup berumah tangga dengan kondisi tempat yang tak menentu atau membesarkan anak dengan lingkungan yang keras.

Memang kenyataannya GGD mendapatkan financial yang sangat cukup bagi seorang guru, gaji pokok dan tunjangan-tunjangan lain yang bisa membuat kantong tebal. Aku tahu amat tahu hidup harus realistis, tapi hidup bukan semata-mata tentang uang kan? Aku hanya takut nanti pada akhirya menjadi sampah birokrasi seperti apa yang dikatakan oleh temanku. Mengejar PNS tapi ujungnya malah tidak mengajar.

Disini banyak sekali PNS yang hanya mengajar setahun sekali tapi mendapat gaji penuh. Bukankah berarti kita bersikap tidak amanah? Mengejar uang tapi tanpa kerja, sama saja dengan kita korupsi. Dapet duit iya kerjanya tidak ada. Menurutku GGD ini adalah kegiatan mulia, yang seharusnya untuk orang-orang mulia yang bukan semata-mata hanya mengejar PNS, lalu selebihnya sibuk mutasi sana sini karena tidak mau mengajar di daerah terpencil.

Seharusnya, ketika mengikuti GGD, berarti kita memang telah siap dengan konsekuensinya dan membaktikan diri kita mengabdi mencerdaskan anak bangsa. Terdengar klise memang, tapi aku yakin pemerintah telah membuat program ini untuk mencerdaskan anak bangsa bukan semata-mata untuk memberikan “hadiah” PNS kepada para peserta SM3T.

Hmm, entahlah. Aku pun belum tahu akan mengikuti GGD atau tidak. Banyak pertimbangan yang aku pikirkan. Yang utama adalah karena aku perempuan. Ah, sudahlah SM3T saja belum kelar, PPG sama sekali belum. Aku masih memiliki waktu kurang lebih satu tahun untuk memikirkan semua ini. Yang jelas seperti yang pernah kakakku bilang “rejeki itu bukan hanya PNS”. Tuhan Maha Mengetahui mana-mana yang baik bagiku, keluargaku, agama juga bangsa.


Wallahualam

cerita 34 - ujian di atas ujian

Hari ini…

Apa yang terjadi hari ini? Sebenarnya hari ini tidak ada yang istimewa. Hanya ujian akhir semester, ya memang ini adalah ujian akhir semesterku selama mengajar disini. Semua awalnya biasa.

Jam pertama, aku tidak ada jadwal mengawas. Seperti guru-guru lain yang tidak mengawas kami berkumpul di ruang guru, dengan kesibukan masing-masing. Semuanya mendadak diam ketika ada orang tua murid yang datang ke sekolah sambil teriak-teriak. Orang tua murid yang malam harinya aku datang kerumahnya untuk pesta ulang tahun. Marah, karena masalah uang iuran sekolah. Aku yang sedang tidur langsung melonjak kaget. Mama yang datang mengamuk suaranya sangat keras, tau kan orang timor jika sedang emosi.

Jadi, peraturan menentukan bahwa anak yang belum bayar uang iuran tidak diperkenankan untuk mengikuti ujian, ketika dia sudah bayar dia bisa mengikuti ujian susulan. Sang mama tidak terima, karena anaknya pulang begitu saja. Mama tidak tahu peraturan itu karena anaknya memang jarang sekolah. Dengan penuh emosi, mama mengamuk ke guru. Digiring ke kantor tidak mau, marah-marah di depan ruang kelas. Untungnya hal ini cepat ditangani dan mama cepat mengerti, semua selesai semua aman.

Masalah satu sudah aman. Semua kembali ke pekerjaan semula. Sampai…
Ada guru SMK yang lewat sambil teriak “itu ada guru SMA yang pukul anak sampai pingsan”
Hah? Ini yang lebih membuat kaget. Kufikir ini hanya main gila saja. Aku datang ke kelas yang bersangkutan. Memang banyak anak yang sedang berkerumun disana, ada juga anak yang berteriak keskitan, lagi-lagi kufikir ah, ini paling biasa. Aku pun kembali ke ruang guru. Taunya, anak yang tadi dipukul oleh oknum guru dipapah menuju ruang guru. Badannya kaku, kuning, bergetar. Duh, pokoknya mengenaskan lah.

Di ruang guru, dia dibaringkan di atas meja. Panik, semua guru dan kepala sekolah panic. Panggil tukang urut, panggil tukang doa, panggil pendeta. Ambil minum, ambil bawang, ambil minyak. Lari sana lari sini, ujian juga jadi tak karuan. Sang oknum hanya duduk terdiam.

Tukang urut bilang darah sang anak tidak mengalir. Akupun melihat demikian. Pengalamanku yang melihat papa sakit stroke membuatku iba terhadap sang anak. Bagaimana tidak, masa depan sang anak masih panjang kalau lumpuh bagaimana. Tukang urut tidak mempan untuk membuat darah sang anak mengalir. Usut punya usut sang anak dipukul di bagian belakang leher. Mau langsung dibawa ke puskesmas, tapi badan sang anak kaku. Kalau nanti taruh di muka bersama supir, tidak akan bisa, taruh di bak truk takutnya kenapa-napa karena cuaca yang panas sekali.

Pendeta bilang sang anak tidak apa-apa, hanya shock saja. Tukang doa bilang sang anak memiliki beban sehingga bisa sampai begini. Entahlah mana yang benar, yang jelas setelah diurut dan didoakan sang anak akhirnya sadar, darah mulai mengalir, badannya pun tidak kaku lagi.

Apa yang menyebabkan oknum guru memukul sang anak? Ya seperti biasa hanya masalah sepele, hanya masalah buku perpustakaan yang sang anak pinjam. Kali lalu, sang anak sudah mengembalikan ke pegawai perpustakaan, tapi dikarenakan sudah mau pulang sekolah anak tidak tanda tangan di buku pengembalian. Sehingga ketika oknum guru yang merupakan wakasek sarpras mendata anak yang belum kembalikan buku nama sang anak ada dalam daftar tersebut. Ketika ujian tengah berlangsung terjadilah pemukulan tersebut.

Sang anak sudah baikan, sudah dibawa ke puskesmas, masalah baru muncul. Wali sang anak yang merupakan mantan kepala desa Honuk datang dan melaporkan sang oknum guru ke kantor polisi, Panik. Oknum guru langsung dibawa ke pos pelayanan. Kami guru-guru juga ikut ke pos pelayanan. Seumur-umur baru aku ke pos pelayanan yang ada penjaranya.

Kami iba melihat oknum guru. Si wali anak keukeuh ingin masalah ini diselesaikan melalui proses hokum. Namun, bapak kapospol melihat ini masalah yang tidak seharusnya sampai memenjarakan seseorang, sehingga Kapospol meminta penyelsesaian masalah esok hari bersama bapa desa dan bapa komite, tapi sang oknum akan tidur di penjara malam itu.

Keesokan harinya semua berkumpul untuk menyelesaikan masalah. Masalah yang cukup pelik karena wali korban igin masalahnya diusut terus. Namunbapak desa menengahinya. Setelah berbicara sampai 6 jam akhirya diberi keputusan bahwa korban harus divisum dulu di rumah sakit, selama menunggu visum oknum guru dikenakan wajib lapor. Setelah visum selesai dan hasilnya baik, oknum guru akan bebas dengan membuat surat pernyataan, namun jika hasil visum ada gangguan pada kesehatan anak, maka masalah akan diusut kembali.


Dari dulu, aku tidak pernah setuju pada kekerasan yang dilakukan di sekolah. Dengan dalih untuk mendidik anak, banyak guru yang menghalalkan tindakan pemukulan. Kejadian ini merupakan pelajaran bagi guru yang ringan tangan agar tidak melakukan kekerasan lagi.

Cerita 33 – Oepoli, Perjalanan tapal batas Indonesia

Hari Minggu aku diajak panitia Glori Cup menyebarkan undangan ke daerah Timur Amfoang, sampai ke Oepoli perbatasan Republik Indonesia dengan RDTL (Republic Democratic of Timor Leste). Aku yang belum pernah sampai ke Oepoli langsufng mengiyakan ajakan tersebut. Setelah surat-surat sudah lengkap akhirnya aku, Pak Elfen, Yabes, Jitro, Matias dan Derven pergi sekitar jam 9 malam. Kami tiga motor, aku di bonceng Pak Elfen. Perjalanan pertama menuju Naikliu. Kami akan bermalam di tempat teman SM3T. Keesokan harinya sekitar jam 6 kami langsung melanjutkan perjalanan.

Tujuan utama perjalanan ini adalah menyebarkan undangan ke gereja-gereja. Jadi sepanjang perjalanan kami berhenti untuk membagikan undangan. Dimulai dari desa-desa di amfoag utara. Jalanan di Amfoang utara ini parah sekali. Bebatuan, membuat motor kadang selip. Kalau orang yang tidak ahli bawa motor jangan coba-coba lakukan perjalanan ini. Aku dan Elfen memiliki perjanjian, bagaimanapun keadaan jalan, aku tidak diperkenankan untuk menurunkan kaki, kakiku harus tetap berada di kuda-kuda.
Lanjut dari perjalanan yaitu Naikliu, Fatumonas, Kolabe, Bakuin sampai Nunuanah perjalanan sungguh offroad. Tidak jarang aku harus turun berjalan kaki, karena jalan yang tidak memungkinkan untuk dilalui. Kalau mau lihat jalanan di Indonesia, ya disinilah jalanan sesungguhnya, mendaki menurun penuh bebatuan. Kita juga melewati kali sitoto, kali terbesar di Amfoang yang lebarnya hampir 1 km, dan selalu tergenang air. Sampai disana kami istirahat sebentar untuk membersihkan motor yang penuh debu. Perjalanan lanjut ke Nunuanah. Ketika sampai di Nunuanah aku mampir ke rumah Orang tuanya Mama Desa. Berhenti sejenak disana untuk meluruskan kaki. Lalu melanjutkan perjalanan kembali.
kali sitoto
Nah, jalan dari Nunuanah sampai Oepoli licin. Aspal maksudnya. Bahkan sampai gang-gang juga di aspal. Mereka bilang karena jalan ini merupakan jalan perbatasan, sehingga diperhatikan pemerintah. Tapi Nunuanah juga sama tanpa listrik, kebanyakan orang menggunakan tenaga surya. Diperjalanan menuju Oepoli terhampar Lautan yang sangat indah. Sampailah kita di Fatuike. Pantai yang memiliki karang sangat tinggi.

Kami sangat excited melihat karang-karang yang tinggi menjulang sangat indah, kami langsung turun dari motor berlari sampai disana. Naik ke karang-karang yang tinggi, mengabadikannya, naik ke karang yang lain. Tak henti-hentinya aku mengagumi keindahan alam ciptaan Tuhan. Dan, ternyata bukan hanya di Bali, disini daerah perbatasan yang tak tersentuh sekalipun memiliki keindeahan alam yang sangat menawan.

Walaupun kurang puas, kami lalu melanjutkan perjalanan. Memasuki Oepoli ada hal yang berbeda disana. Rasanya seperti buikan berada di perkampungan, Oepoli ramai, tidak seperti daerah-daerah Amfoang lain yang pernah aku kunjungi, rumah-rumah di Oepoli saling berdekatan. Sawah-sawah yang besar sekali di sepanjang perjalanan. Kalau di desaku biasanya orang tanam padi bisa di pekarangan rumah, lain halnya di Oepoli, pemukiman sendiri sawah sendiri. Jadi terlihat lebih teratur.
 





Undangan semua telah dikirim.  Aku ingin bertemu dengan teman SM3T yang di Oepoli, tapi saying sekali mereka sedang mengikuti panen raya. Tadinya aku juga mau ikut panen raya tapi terlambat. Akhirnya kami pulang. Oh ya, kami juga tidak sampai ke pos perbatasan karena satu dan lain hal. Tapi paling tidak aku sudah sampai di perbatasan Indonesia-Timor Leste, dan melihat sisi lain Indonesia. 

Cerita 32 - Translator ala-ala untuk dokter dari Perancis

Nanti hari Rabu dan Kamis ada pemeriksaan gratis dari dokter-dokter Perancis, di Puskesmas dan gratis. Begitu pengumuman di desa yang aku dengar. Aku bersama warga desa turut dalam euphoria menanti para dokter tersebut. Di benakku hanya satu, Perancis, Negara yang sangat aku ingin kunjungi. Memang tujuan utamanya memang mau berobat dan konsultasi tentang batukku yang tak kunjung sembuh, selebihnya? Mungkin aku bisa berbincang dengan mereka, terus diajak deh ke Perancis *Loh?

Rabu pagi aku dan Nesya ke Puskesmas, belum mandi langsung berangkat. Kan emang orang sakit. Haha. Sampai sana, memang nampaknya hanya kami yang belum mandi, muka kucel dan memakai baju tidur. Oke abaikan. Di Puskesmas, ternyata para dokter belum datang. Kami bersama “pasien” yang lain menunggu dengan sabar, sampai rombongan datang. 12orang dokter dari Perancis dan 2 orang penerjemah? Nahloh, 12 orang dengan hanya 2 penerjemah. Mungkin sudah banyak yang mengetahui kalau kebanyakan orang Perancis kurang memahami bahasa Inggris. Disitu kehebohan mulai terjadi.

Adanya kesalahpahaman dengan staff Puskesmas dan para dokter, justru yang membuat pasien yang meilhat keriuhan tertawa. Kepala Puskesmas yang bingung dan dokter-dokter yang berlalu lalang berputar-putar. Akhirnya, dengan gerak bahasa tubuh plus isyarat yang aduhai ditetapkanlah ruang perawatan masing-masing dokter. Kenapa masing-masing? Ya karena dokter-dokter tersebut bidanganya masing-masing. Terus nanti yang berkomunikasi sama pasien siapa? Pasien notabene hanya mengerti bahasa Timor dan paling TOP bahasa Indonesia.

Mulai lagi terjadi keramaian. Ada beberapa yang bisa bahasa Inggris. “Ibu guru dua-dua bisa bahasa Inggris koh?” Kepala Puskesmas bertanya padaku. Aku dan Nesya saling tatap dan buru-buru mengangguk. Eh gila, terakhir ngomong pake bahasa Inggris kapan gue? Batinku. Akhirnya kami menjadi penerjemah dokter, Aku di bagian kandungan dan ginekologi, Nesya di bagian dokter umum.

Dokter peganganku adalah dokter Hafidah berkebangsaan perancis berumur 45 tahun dan cantik syekali. Terdengar familiar namanya? Ya dia muslim. Kaget? Sama aku juga. Aku didampingi oleh dua bidan asli Puskesmas. Dengan bahasa Inggris yang paspasan, dan kemampuan bahasa Inggris sang dokter juga yang sama denganku kami memulai praktek. Aku diminta sang dokter untuk bertanya pada setiap pasien “Hari pertama menstruasi terakhir”. Dan oh, si dokter selalu melakukan pemeriksaan dalam pada setiap pasien yang hamil.

Aku yang basicnya bukan kesehatan terkadang bingung dengan istilah kedokteran yang digunakan sang dokter. Terkadang sang dokter bingung mencari padanan kata, begitu pula aku. Ketika sulit mencari padanan kata, beliau langsung berbicara bahasa perancis yang membuat aku langsung bengong. Nah untungnya ada dua ibu bidan yang paham bahasa medis. Coba siapa yang tahu bahasa Inggrisnya keputihan? Aku susah payah menjelaskan, hingga aku Tanya ke bu bidan bahasa ilmiahnya baru sang dokter mengerti.

Puluhan pasien masuk dan keluar di ruang kami, aku jadi tahu denyut nadi seorang bayi. Banyak bayi yang diperiksa kembar. Tahu jadi bagaimana cara memasang KB implant, yang paling penting tahu kalau KB suntik dan PIL itu tidak baik bagi kesehatan jangka panjangnya. Aku juga melihat bagaimana mama-mama yang masih muda mengandung, yang kandungannya besar, bahkan ada yang kecil. Bagaimana cara menaikkan bobot kandungan. Walaupun dengan bahasa yang kadang terbata-bata aku merasa memiliki pengalaman yang baru.

Di hari terakhir kami berfoto, maklum hari pertama tampangku gak oke karena belum mandi dan masih pakai baju tidur. Kami juga banyak bercerita tentang keluarganya, beliau memiliki dua anak, suaminya seorang diplomat di Italia. Tentang perjalanannya berkeliling dunia, fyi: dia sudah naik haji, dan ah masih banyak lagi. Lucunya, ketika selesai pengobatan, beliau mencari-cari seuatu dalam tasnya. Ternyata beliau mencari bullpen, untuk diberikan padaku sebagai souvenir. Seneng gak sih? Tapi sayangnya bulpennya gak ketemu, akhirnya dia memberiku sabun asli dari perancis dan tisu. Bakal aku simpen dan aku pake nanti pas di Jawa, hihi.



Berbicara dengan native aksen perancis, dokter pulak. Ah, unforgettable moment in my life. Coba kan kalo aku gak ada disini, mana bisa aku begini hihi :p

Thank you dr. Hafida, see you in france 

Cerita 31 - HARDIKNAS

Selama aku sekolah mulai dari TK sampai Kuliah, tidak ada perayaan yang istimewa dari hardiknas. Hanya upacara ketika tanggal 20 Mei, dan selesai sudah. Tapi Hardiknas dirayakan berbeda disini, tidak hanya sebatas upacara melainkan banyak acara-acara lain yang membuat Hardiknas menjadi istimewa. Hardiknas dianggap sebagai hari Raya bagi para pelaku pendidikan mulai dari peserta didik sampai pendidik. Disini, di Kecamatan Amfoang Barat Laut semua elemen pelaku pendidikan ikut meramaikan hardiknas.

Berawal dari Rapat seluruh kepala sekolah yang ada di kecamatan amfoang barat laut – terdiri dari 9 SD, 4 SMP, 1 SMA, dan 1 SMK- merencanakan kegiatan hardiknas ini. Akhirnya diputuskan Acara berpusat di Desa Oelfatu tepatnya di SDN Nainefo 1 dan SMAN 1 AMBAL sebagai tuan rumah. Acara dimulai dari tanggal 29 April dimulai dengan upacara pembukaan dan berakhir pada tanggal 2 Mei. Acara diisi dengan kegiatan perlombaan olahraga dan kesenian. Sayangnya SMA ada kegiatan UTS –yang terlambat dilaksanakan- sehingga SMA tidak ikut berpartisipasi banyak dalam acara, hanya ikut dalam pertandingan persahabatan saja.

Semua bekerja, bahkan warga desa pun ikut andil dalam kegiatan ini. Warga Desa ikut membantu membuat panggung dan tenda sederhana, pemuda gereja membantu meratakan rumput lapangan sepakbola, semua ikut terjun mensukseskan acara ini. Mau lihat gotong royong di Indonesia? Pergi ke Kampung dan lihat sendiri kerjasama masyarakat bahu membahu mengerjakan sesuatu.

Tanggal 29 sore hari, semua anak sekolah dan guiru-guru dari desa-desa sebelah mulai turun datang ke Oelfatu. Hujan deras dan banjir di kali tak menyurutkan semangat mereka untuk ikut kegiatan. Tapi karena hujan yang tak kunjung henti akhirnya upacara dipending hingga esok hari.

Hardiknas ini membuat Oelfatu yang biasa sepi menjadi ramai, bayangkan enam desa berkumpul jadi satu. Teman sm3t yang lain juga ikut berkumpul di desaku, mereka tinggal di kamarku yang laki-laki tinggal di rumah bapa desa. Tiap desa tinggal di tempat yang berbeda, ada yang di pasar, di sekolah dan dib alai pertemuan desa, ramai sekali. Menyenangkan melihatnya.

Pagi hari kami disibukkan dengan kegiatan olahraga antar sekolahh, malamnya kegiatan kesenian yang menampilkan tarian, nyanyian dan puisi dari masing-masing sekolah. Puncaknya pada tanggal 2 Mei kami upacara di lapangan SD Nainefo dan diakhiri dengan makan bersama.

Terkadang rasa nasionalis dan cinta tanah air dapat dilihat di pedesaan, seperti saat ini, ketika dirasa Hardiknas merupakan “hari”nya anak sekolahan maka setiap warga sekolah harus turut serta merayakannya.
tarik tambang

bola kaki

ciye... dapet tiga bungaaa

malam kesenian


SM-3T Kec. Amf. Barat Laujt


Ini Hardiknas-ku, mana Hardiknasmu?

Cerita 30 - trip to Semau Island

Masih di bis dalam perjalanan Amfoang-Kupang seorang teman mengirim sms padaku
“Ky, mau ikut ke pulau semau ngga?”
Aku yang belum pernah ke pulau semau langsung mengiyakan ajakan tersebut, begitupun teh Kiki. Sampai Kupang kami langsung mandi dan buru-buru ke Pelabuhan, teman kami sudah menunggu disana. Naik kapal hanya 20 menit dari pelabuhan Tenau ke Pelabuhan Semau. Eh, naik kapalnya besar? Bukan, kapal kecil tapi bisa mengangkut penumpang, ternak bahkan kendaraan.

Kami langsung naik ke kapal. Fyi: aku agak takut sebenarnya pergi ke pulau ini. Maklum banyak yang bilang pulau disini “keras”, masih banyak suanggi (santet red.), tapi dengan iming-iming keindahan alam kami nekat, lagipula juga ada teman yang ditempatkan disana, paling tidak agak aman. Sampai pelabuhan Semau, kata temanku kami naik ojek. Penempatan temanku tidak jauh dari pelabuhan, tapi bayar ojeknya Rp15.000. Seperti kebanyakan orang disini, jauh selalu dibilang dekat.

Sampai rumah teman penempatan, jauh dari bayanganku. Gilak, ini penempatan yang paling oke pikirku. Bayangkan, rumahnya berlantai keramik, dengan wc kloset. Mereka tinggal dengan orangtua angkat yang keduanya PNS, baik sekali. Hanya satu yang kurang dari tempat penempatan temanku ini, TIDAK ADA SINYAL. Tiap malam selama disini kami naik ke bak penampungan air hanya untuk mencari sinyal.

Malam pertama, kami disuguhkan makanan cumi. Aaak, sudah lama aku tidak makan cumi. Keesokan harinya kami berencana jalan ke pantai gunung liman, pantai yang katanya gagah. Yang susah di pulau ini adalah transportasinya. Kami menyewa mobil pick up 700 ribu. Mahal? Itu justru yang paling murah.

Perjalanan dimulai. 2 jam perjalanan offroad melewati hutan yang gersang. Panas yang aduhai, tapi semuanya terbayar ketika melihat air pantai yang biru dan pasir yang putih. Bibir tak henti mengucap kebesaran-Nya. Gak perlu ke Bali dan Lombok, disini di Pulau yang banyak orang tidak ketahui tersimpan keindahan alam. Langsung, kamera bekerja.

Tapi sayangnya pantai yang begitu indahnya, tidak boleh kami berenang disana. You know lah, yang tadi aku bilang pulau ini “keras”. Kalau sudah dibilang tidak boleh kami manut saja. Kami hanya mengagumi keindahaan alamnya dari pinggiran pantai. Ohya, pantai ini memiliki bukit. Dari atas bukit, kami bisa melihat garis pantai dan pulau seberang, aku lupa nama puaunya apa. Makanya dikatakan ‘Pantai Gunung Liman”, karena ada gunungnya.

Setelah puas di Pantai Gunung Liman, kami pergi ke Pantai Otan. Disana ada teman penempatan SM-3T juga. Mereka tinggal di mes guru, jauh berbeda dari teman yang penempatan yang kami pertama datang. Di belakang Mes mereka itu pantai otan. Wuih, keren juga. Pantainya pasir putih, ombaknya bisa buat surfing, tapi kita orang baru tidak diperkenankan untuk bermain di dalam airnya. Cukup di pasirnya sebentar.

Selepas bermain kami lanjut pulang kerumah demi mengejar kapal dan tahun baru di Kupang. Tapi apa daya ternyata ombak sedang tidak bagus, kita tidak diperbolehkan pulang sekarang. Jadilah kita bertahun baru di semau. Tapi, jangan sedih. Persediaan makanan tahun baru disini sangat lengkap, dari mulai sofdrink sampai makanan ringan semua ada. Ada pawai juga,orang-orang mengendarai motor berputar-putar di area perkampungan. Tahun baru selesai dan esoknya kita pulang.
Pantai Gunung Liman


Pantai Otan

Pelabuhan


Jadi, liburan kali ini paling tidak aku keluar pulau. :) 

cerita 29 - Nilai

Mengajar di tempat terpencil menurut banyak orang merupakan suatu tantangan  tersendiri. Begitu juga bagiku. Bagaimana cara siswa dapat menangkap materi dengan baik tanpa harus membebani. Aku tahu, dan sadar benar ini sulit. Disamping mereka sudah lama tidak belajar matematika (di SMP tidak ada guru matematika) kesadaran siswa untuk sekolah juga kurang. Banyak siswa yang dalam satu minggu kehadiran tidak full, atau bahkan ada siswa yang datang ketika ujian saja.

Aku mengalaminya. Mengajar matematika siswa SMA, yang terkadang aku harus kembali lagi mengulang pelajaran SMP atau bahkan SD. Perkalian yang masih meraba atau juga operasi bilangan bulat yang belum khatam. Kadang aku merasa putus asa, tapi banyak juga siswa yang membuat aku semangat dengan semangat mereka untuk memahami pelajaran, atau siswa yang memang mereka kurang, tapi tetap semangat belajar. Aku akan menghargai siswa yang sering mengerjakan tugas, dan rajin ke sekolah dibanding mereka yang hanya sekolah senin kamis.

Keadaan ini membuat aku bingung memberikan nilai raport untuk mereka. Dalam pembelajaranku, memang aku tidak hanya memberikan mereka sebatas materi matematika, tapi aku berusaha mendidik mereka dengan pembelajaranku. Bukankah lebih baik anak-anak menjadi anak yang baik? Ketika dia menjadi anak yang baik, otomatis kepintaran akan muncul seiring berjalannya waktu. Aku bukan guru saklek yang menganggap bahwa nilai adalah segalanya. Di era dimana nilai dapat dibeli, lebih baik menanamkan nilai-nilai kehidupan dibanding menuntut mereka untuk mendapat nilai yang bagus.

Kalau boleh dibilang, nilai siswaku itu jauh dari KKM. Bagaimana tidak, bagaimana aku dapat mengajarkan mereka tentang suku banyak ketika pemahaman mereka tentang alajabar masih belum benar. Banyak materi yang memang tidak bisa dicapai. Nilai ulangan yang jauh dari tuntas. Aku bingung bagaimana harus member mereka nilai. Aku juga tidak mungkin menulis angka “30” di raport mereka.

Dalam kebingungan ini, banyak guru-guru yang bilang padaku
“Ibu, kasihan mereka kalau dapat nilai jelek di raport, paling tidak cukuplah nilai mereka pas KKM saja itu juga sudah sangat baik.”
Akhirya setelah mempertimbangkan semua, aku member nilai mereka pas KKM, dengan mengkatrol nilai-nilai mereka. Memang tidak semua, masih banyak juga anak pintar yang nilainya lebih dari KKM tanpa harus aku katrol. Semoga, dengan nilai mereka di smester awal ini membuat mereka semangat untuk belajar, atau membuat mereka bertanya “darimana saya mendapat nilai ini?”

Senin, 20 Juli 2015

Cerita 28 - Sembelih

"Memakan hewan yang tidak disembelih dengan nama Allah itu haram." Itu yang kutahu. Nah, aku adalah muslim satu-satunya di desa. Berarti semua hewan yang warga sembelih tidak bisa aku makan, karena pasti mereka tidak menyebut nama Allah dalam proses penyembelihan.

Jadi mau tidak mau aku harus menyembelih hewan yang ingin aku makan. Disini, toleransi beragama sangat tinggi. Ketika aku menjelaskan tidak memakan hewan yang tidak aku sembelih, mereka dengan sukarea memberikan hewan untuk aku sembelih sendiri. Dari sinilah aku mulai menyembelih.

Awalnya aku sembelih ayam. Aku pernah menyembelih ayam ketika kelas 2 SMP, itu juga karena praktek agama. Sekarang aku harus mempraktekan semuanya. Pertama-tama sembelih sampai lehernya putus. Lama kelamaan aku tahu bagaimana cara menyembelih yang benar yaitu sembelih di pinggir dekat telinga, itu langsung ke kerongkongan. Pengalaman sembelih ayam banyak, ada yang gak mati-mati, ada yang bmalah nyakar, ah banyak lah pokonya. Sampai saat ini aku sudah menyembelih puluhan ekor ayam, rekorku adalah sembelih ayam 35 ekor ketika perpisahan siswa SD Nainefo.

Hewan yang paling besar yang aku sembelih adalah sapi. Kaget? Mama aja sampe ngamuk dengernya. Ini semua karena Nesya. Jadi ceritanya pada hari minggu di bulan November, Nesya sedang bersiap-siap untuk ke gereja, aku baru bangun tidur. Lalu ada bos Koang yang mau mengadakan pesta malam harinya bertanya pada Nesya "Ibu yang berkerudung bisa sembelih sapi ko sonde"

Nesya lalu menjawab "bisa-bisa dia bisa sembelih apa saja dari yang kecil sampai yang besar". Gila kan? Padahalnsaat itu aku baru menyembelih beberapa ekor ayam saja. Nesya langsung menyuruhku ke tempat Bos koang. Sampai sana sapinya besar. Degdegan aku melihatnya. Kalau tiba-tiba sapinya berontak gimana. Yang lucu lagi, mau sembelih pakai parang taunya parang tidak tajam, akhirnya sembelih menggunakan pisau, kocak. Aku dibantu beberap Bapak dan seorang mama untuk membantuku menekan pisaunya. Setelah kerongkongan putus aku langsung kabur karena takut sapinya goyang-goyang. Setelah saat itu aku merasa perkasa.

Selain sapi aku juga sembelih kambing. Pertama kali ketika aku mau syukuran ulang tahun. Mau tidak mau aku harus sembelih, kalau tidak aku nanti tidak makan.





Sampai saat ini aku sudah menyembelih seekor sapi, tiga ekor kambing dan hampir seratus ekor ayam. Mungkin nanti sampai di Cirebon aku bisa buka tempat penjagalan.

Minggu, 19 Juli 2015

Cerita 27 - Sekolah Libur

Sekolah di daerah terpencil begini sedikit banyak membuatku tersadar betapa tertinggalnya pendidikan di pelosok negara. Aku dan Nesya kadang mengatakan kalau sekolahku adalah "sekolah-sekolahan".

Ada satu hal yang menarik dari sekolah di daerah ini. Seringnya libur. Ya, aku juga terkadang bingung, sering sekali libur. Bahkan kadang yang tak ada di kalender pendidikan pun kita tetap libur. Seperti ketika liburan paskah, dikalender pendidikan hanya 1 minggu, tapi kenyataannya malah 2 minggu lebih.

Atau pernah ketika belum ada kalender di sekolah, kami pernah menyangka bahwa besok hari libur, taunya malah tidak. Atau ada acara-acara lain yang seharusnya masuk malah jadinya libur. Entahlah, potret pendidikan Indonesia memang begini barangkali.

Sabtu, 18 Juli 2015

Cerita 26 - Mengajar Anak SDN Nainefo 1

Guru matematika di kecamatan Amfoang Barat Laut yang terdiri dari 9 sekolah hanya dua, satu di SMP 1 AMBAL, satunya lagi aku, guru sm3t.

Yorim, anak bapa desa duduk di bangku kelas 6 SD. Kuperhatikan sampai bulan Februari tidak ada pengayaan atau pelajaran tambahan. Akuoun berinisiatif untuk mengajar Yorim, pelajaran matematika. Setiap malam, aku mengajar Yorim. Awalnya hanya mengajar Yorim saja, taunya keesokan harinya teman-temannya sesama anak kelas 6 juga datang, bahkan kelas 4 dan 5 juga ada yang mau ikut belajar.

Setiap malam, aku mengajar mereka. Matematika. Ramai-ramai mereka datang ke rumah bapa desa. Jalan menggunakan senter atau TS kami mulai belajar.

Sampai, setelah dua minggu aku memberikan tambahan pelajaran, Bu Orche, wali kelas 6 memintaku untuk mengajarkan matematika di sekolah, khusus kelas 6. Keesokanya aku mulai mengajar di SD Nainefo 1.

Anak-anak yang excited, heboh, rame dan seru. Mengajar anak SD lebih mudah, karena pemahaman mereka masih dapat dibangun. Aku tak berharap mereka dapat nilai yng tiba-tiba tinggi setelah belajar denganku. Aku hanya berharap mereka akan tetap semangat walaupun tidak dekat ujian. Semangat mereka lah yang membuat aku makin semangat belajar. Kadang walaupun bukan jadwal belajar mereka tetap datang memintaku belajar.

Ujian pun tiba. Mereka yang ujian aku yang degdegan. Disini ujian SD dilaksanakan per gugus. Siswa SD Nainefo 1 mengikuti ujian di SD Soliu. Jadi seluruh siswa selama pekan ujian menginap di Balai Pertemuan Desa. Tujuannya agar anak-anak tidak terlambat dan bisa belajar bersama. Selain anak-anak, orang tua juga ikut menginap untuk "mengurus" anak-anaknya. BP menjadi ramai sekali, aku yang tempat tinggalnya di depan BP menjadi senang karena keramaian itu.

Sebelum ujian matematika aku mengajar anak-anak. Awalnya mengajar di halaman BP lalu masuk ke dalam BP, anak-anak belajar semangat sekali, para orang tua yang melihat juga ikut semangat. Aku senang dengan kehebohan mereka.

Ujian pun tiba. Mereka minta foto sebelum berangkat ke Soliu. Aku berdoa, semoga mereka mengerjakan dengan baik dan benar.

Bulan Juni kemaren, pengumuman kelulusan tiba. Dan, anak-anakku lulus semua. Nilai matematika paling besar 7,5 paling kecil 5. Dududududu rasanya senang sekali. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari berita itu. Mereka menyalamiku sambil berucap "terima kasih" . Aku terharu. Alhamdulillaaah paling tidak selama tiga bulan ini pembelajaranku membuahkan hasil.

Semoga kalian tetap sekolah sampai setinggi-tingginya. Aamiin.

Rabu, 15 Juli 2015

Cerita 25 – KUPANG AMFOANG PP

Bapa desa mau punya hajat. Sebagai anak angkat bapa desa yang baik hati harus ikut berpartisipasi dalam acara Bapa Desa. Kan tidak enak, masa pesta di orang lain ikut heboh tapi dorang tua sendiri tidak. Masalahnya Nesya ada di Jakarta dan aku berada di Kupang. Bapak menelponku memberitahu bahwa tanggal 29 Desember pesta anak-anak Sidi dan Angga dibaptis. Dari nada suaranya sepertinya bapa sangat berharap aku ikut.

Janjian dengan anak bapa yang kuliah di kupang kami berangkat. Aku mengajak teh kiki untuk turut serta. Sebelum berangkat terjadilah drama. Anak bapa desa memesan kursi untuk tiga orang, bus Om sultan. Aku dan the kiki berangkat dari Oesapa. Kami tunggu, bis om sultan lewat dan penuh sesak, aku tidak jadi naik. Anak bapa telah menungguku, tapi justru dia naik bis yang lain dan sudah jalan. Akhirnya aku mengejar bis ke Oelamasi, dengan perasaan kesal karena tidak dapat bis. “pokonya kalo ngga dapet bis kita pulang aja.” Ujarku pada the kiki. 

Sampai Oelamasi untungnya ada bis yang memang menungguku. Sepanjang perjalanan yang exited adalah teh kiki, maklum penempatannya di Takari, daerah gunung. Sepanjang perjalananku adalah laut, mata dia langsung segar melihat pemandangan laut yang aduhai. Perjalanan masuk dan keluar kali membuat the kiki berkata “Gila jalanannya parah banget.” Yap, inilah Amfoang.

dibelakang kali yang banjir
Sore kami sampai di rumah.  Aku bilang ke supir bis untuk menjemput lagi besok, liburanku di Kupang belum kelar. Sampai rumah, aku melihat bapa dan anak-anak senang atas kedatanganku. Malam hari pesta dimulai. Dan kami galau mau pulang kapan. The kiki bilang mau jalan-jalan Amfoang dulu, tapi masalahnya tanggal 30 sampai 1 Januari tidak ada bis yang berangkat. Diputuskanlah kami pulang besok..

Pesta berlangsung sampai malam atau bahkan samapi pagi, tapi aku dan the kiki pulang lebih awal. Pagi-pagi sekali bus sudah datang, aku pamit ke Bapa yang masih dalam suasana pesta (maklum pesta disini sampai siang). Muka Bapaseperti bertanya-tanya “Ko pergi lagi”. Tapi aku langsung bilang ke Bapa “Urusannya belum kelar.”




bus mogok, sama-sama doorooong
fatkolo
Sepanjang perjalanan aku hanya tidur, tapi di tengah perjalanan aku harus bangun karena bus yang mogok di daam kali. Panik, karena musim hujan dan kemungkinan banjir datang bisa kapan saja. Penumpang di dalam bus juga Cuma sedikit. Akhirny aku the kiki dan penumpang yang tersisa lain ikut membantu tarik bus. Berkali-kali tak kunjung jalan. Sampai kami makan mangga juga tak kunjung jalan. Hampir putus asa tapi untungnya bus kembali jalan.

Perjalanan kali-kali sudah mulai banjir. Bus harus mampu melewati kali yang berair. Kufikir seperti di film-film. Hehe. Karena penumpang yang sedikit kami bebas minta turun ke supir. Lihat pantai turun untuk foto. The kiki paling heboh.

Sore sampai Kupang, dan kami langsung di ajak ke Pulau Semau.

Merasa hebat karena bisa pulang pergi amfoang. hehehe

ceriita 24 - Masalah

Pernah lihat berita di televise kan? Banyak kriminalitas yang terjadi di sekitar kita. Seperti pencurian, perampokan, dsb. Disini, di desa Oelfatu tempat saya tinggali juga banyak tindak kriminalitas, tapi bukan pencurian. Justru di desa Oelfatu adalah desa yang paling aman dari pencurian, taroh apa saja dimana saja tak akan hilang. Pengalaman, rumah tempat tinggal kami itu jarang sekali dikunci, tapi Alhamdulillah tidak pernah ada yang hilang. Tahu kenapa? Jadi dulu, katanya pernah ada yang mencuri daging kering di rumah Bapa Pendeta, beliau sudah mengumumkan “siapa yang mengambil harap dikembalikan”, tidak ada yang mengaku, sampai keesokan harinya, orang yang mencuri itu meninggal. Akhirnya semenjak setelah itu, tidak ada lagi tindak pencurian disini.

Nah masalah yang saya maksud adalah masalah kekerasan. Tahu dikarenakan apa? Tidak lain dan tidak bukan dikarenakan minuman keras. Rumah tinggal saya di sebelah Bapa Desa, dan semua masalah yang ada disini akan diselesaikan oleh Bapa Desa. Kadang masyarakat tidak pergi ke polisi melainkan ke Bapa Desa. Yah terkadang apparatur kemananan useless. Bapa desa selaku pemimpin adat biasanya memutskan denda adat.

Beberapa masalah yang saya temui adalah masalah kekerasan rumah tangga. Berkali-kali ada mama-mama yang datang ke kantor desa dengan muka lebam bekas tonjokkan benda tajam dan benda tumpul, bahkan ada yang sampai bercucuran darah. Kenapa sampai terjadi KDRT? Biasanya oknum suami  sedang mabuk dan akhirnya mulai melakukan kekerasan kepada korban. Setelah korban datang nanti akan di bawa ke pos polisi, tapi ujung-ujungnya masalah akan diselesaikan oleh bapa desa.

Selain KDRT, masalah yang paling sering bapa desa selesikan adalah masalah makian. Biasanya yang memaki adalah orang yang sedang mabok. Ya namanya orang mabok, tidak sadar dengan semua perbuatan dan ucapannya. Ketika mabok, sang oknum mulai mengucap yang tidak-tidak, berkata kasar bahkan memaki yang nantinya akan membuat perselisihan. Perselisihan yang nantinya akan membutuhkan perdamaian.

Bertempat tinggal pas bersebelahan dengan Bapa Desa membuat kami sedikit banyak mengetahui tentang masalah masalah. Disini, biasanya jika oknum dan korban tidak mau membawa perkara ke kepolisian, cukup pergi ke Bapa Desa nanti akan dikenakan denda adat istilahnya buka tutup meja. Denda adat ini bisa menghabiskan waktu dan ber jam-jam, pernah bahkan dari pagi sampai malam, sampai keesokan harinya lagi. Denda bermacam-macam, ada berupa uang, selimut atau ternak. Dan paling sedikit denda adat adalah selimut, yang seharga Rp. 600 ribu. Ketika denda adat sudah diputuskan, mau tak mau sang oknum harus membayar hari itu juga.


Aku terkadang sampai bosan melihat Bapak menyelesaikan masalah yang tak kunjung selesai. Tapi ini memang tugas kepala desa. Bahkan, ketika musim hujan dimana semua orang sibuk bertani,Bapak menghimmbau warganya untuk tidak membuat masalah, selain ketika musim hujan warga tidak mempunyai uang, Bapa juga ingin bertani seperti yang lain. Bahkan aku dan Bapak pernah membuat jargon “Kalau gak punya uang jangan membuat masalah”

Cerita 23 – Tanam

Dari dulu waktu di Jawa selalu ingin ikut petani tanam. Rasanya asik sepertinya masuk kelumpur, nbawa bibit padi dan menanamnya. Bisa main lumpur sekaligus menikmati pemandangan sawah yang menyejukkan. Tapi sayangnya hal itu tidak pernah kesampaian. Alasannya adalah karena aku dan keluargaku tidak memiliki sawah, dan tidak mungkin juga tiba-tiba misalnya lewat persawahan dan minta ikut petani tanam, bisa-bisa nanti gagal panen gara-gara aku ikut.

Tapi disini semua itu terwujud. Memasuki musim penghujan adalah musimnya tanam bagi warga disini. Lahan yang sudah dibersihkan mulai ditanami. Jagung dan padi yang paling utama, buat makan mereka nanti selama setahun. Masing-masing keluarga disini memiliki tanah untuk ditanami. Dan tanahnya itu luas-luas. Mereka tanam di kebun atau di halaman rumah. Kanapa musim penghujan? Karena air yang susah, mereka hanya mengandalkan hujan.

Bapa dewsa tak ketinggalan ikut tanam juga. Malah, tanah bapa desa ini luas dan ada dimana-mana. Aku yang exited langsung bilang ke Bapa dan anak-anak mau ikut tanam. Tanam apa? Apa saja.

Pertama Bapa menanam jagung di belakang rumah. Kufikir tanam jagung itu susah, nyatanya gampang sekali. Kita hanya memerlukan bamboo yang ujungnya diruncingnka. Caranya tikam bamboo tersebut kedalam tanah, masukkan jagung lalu tutup. Tunggu tiga hari nanti akan keluar daunnya. Dan voila, setelah tiga hari jagung tumbuh. Senang rasanya melihat hasil tanamku, ya walaupun aku tanamnya sedikit istirahatnya yang banyak.

Pernah dengar kalau makanan pokok NTT itu jagung? Nah, masyarakat disini menyelang jagung sebagai makanan utama. Misalnya pagi dan malam makan nasi dan siangnya makan jagung. Mereka bilang jagung lebih membuat kenyang dibanding nasi. Makanan khas disini adalah jagung bose. Oleh karena itu, setiap rumah pasti tanam jagung banyak-banyak.

tanam jagung
Selain jagung disini juga masyarakat menanam padi. Ada dua macam padi, yaitu lading dan sawah. Perbedaannya adalah padi lading hanya memerlukan sedikit air sedangkan padi sawah memerlukan banyak air. Bibitnya juga berbeda, kalau padi lading bibitnya adalah gabah, sedangkan padi sawah bibitnya adalh nuk (anakan padi), ituloh yang hijau seperti rumput.

Tanam padi lading juga sama seperti jagung. Tikam, masukan gabah lalu tutup. Beberapa hari padi akan tumbuh. Nah kalau padi sawah yang mengasyikkan. Aku selalu bertanya pada Bapa kapan tanam di sawah. Bapa selalu bilang “Nanti tunggu hujan banyak-banyak”. Tunggu=tunggu akhirnya bapa mengajakku untuk tanam di sawah. “Tapi lumpur loh ibu, nanti kotor.’ Mama dan anak-anak selalu berkata padaku. Ah, justru aku mau merasakkan lumpurnya, euforianya.



bibit jagung

cabut anakan padi

yeay!
mari tanam ramerame
Melihat sawah yang begitu luas aku senang sekali. Sawah milik Bapa memiliki banyak pematang. Berbagi tugas, ada yang menanam ada yang mentraktor. Aku melihatnya takjub dan tak sabar untuk ikut tanam. Aku lipat celanja panjangku dan masuk kedalam kubangan lumpur. Aaak, senang tak terkira., Aku lalu diajarkan menanam padi. Mudah saja hanya masukkan anakan padi ke dalam tanah, tapi jangan terlalu tekan.  Hanya itu. Tapi menanam di sawah ini membuat pinggang kaku setelahnya. Tanam sampai anakan nya habis. Senang sekali karena apa yang tidak aku dapat di kampong halamnku aku dapatkan di tanah rantauan. Tuhan memang Maha asyik. Tinggal tunggu tiga bulan lagi dan aku siap ikut panen.

Cerita 22 – Pertambahan usia di tanah rantau

Sebelumnya aku tidak pernah sama sekali membayangkan akan berada disini, tempat yang sebelumnya tak pernah ada di benakku, bahkan sekilaspun tak pernah. Ketika aku memutuskan mengikuti program ini berrarti aku telah siap dengan semua konsekuensinya. Hidup penuh keterbatasan dan jauh dari orang tua, teman juga keluarga.

Seperti ketika saat ini, ketika pertambahan umurku harus aku lewati disini. Tidak ada mama tentunya yang akan menciumku, surprise dari teman-temanku atau perayaan kecil-kecilan. Aku sendirian disini, bahkan teman sepenempatanku saat ini sedang berada di Jakarta.

Malam hari, ketika tepat tanggal 21 Desember 2014, aku bangun untuk mengucap syukur pada Tuhan telah diberikan pertambahan umur. Sepi? Sangat, ditambah listrik yang sudah mati dari jam 12, hanya ada suara jangkrik. Dan telepon Nesya dari Jakarta.

Pagi hari, hari minggu. Aku bangun, dan melihat Bapa langsung senyum kepadaku dan mengucapkan selamat. Mama juga, serta anak-anak. Ah paling tidak aku tidak kesepian. Sedikit siang, mereka pulang dari gereja, anak-anak SMA juga guru-guru datang singgah untuk mengucapkan selamat. Sebagai kado ulang tahun, Bapa dan Mama memberiku sirih dan pinang. Itu kali pertama aku makan pinaang dengan sirih sampai bibir dan gigi memerah.


Aku ingin mengadakan perayaan kecil. Dibantu teman-teman guru dan Bapa, aku membeli kambing. Percaya tidak aku membeli kambing seharga Rp. 300.000, nenek yang punya kambing menawarkan padaku Rp. 350.000, tapi aku tawar. Aku bilang aku ulang tahun, nenek langsung mengabulkannya. Masak daging kambing dan yang lainnya semua membantuku.Aku undang orang-orang dekat sajam juga undang teman sm3t yang di Saukibe dan Leonai.


sembelih kambing

Malam datang, undangan mulai berdatangan. Acara syukuran pun dimulai, ada teman guru yang menjadi MC dan Pa Pendeta yang berdoa. Memang ini adalah acara ulang tahunku, tapi yang muslim disini hanya aku, sisanya nonmuslim, paling tidak pa pendeta memimpin doa jemaatnya dan aku berdoa sesuai keyakinanku. Acara berlanjut sampai tengah malam. Ada hal yang lucu, disini orang tidak membawa kado melainkan membawa amplop berisi uang. Seperti saat kondangan. Aku malu-malu menerimanya, itu pengganti kado katanya.

Ini kali pertama bagiku, berulang tahun jauh dari yang biasanya. Tapi ini adalah suatu pengalaman yang sangat berharga bagiku. Di umur yang baru menginjak 23 ini, aku telah memiliki pengalaman baru, pengalaman yang lebih dari apapun, yang tidak akan aku lupakan seumur hidupku.

Terima kasih Tuhan, engkau masih menambah usiaku
Semoga di usia yang semakin matang ini aku semakin dewasa
Biasa dalam menghadapi hidup
Tidak lupa aku berdoa agar cita-cintaku dapat tercapai
Dan semoga apa yang kulakukan dapat menjadi manfaat

Aamiin aamiin ya rabbal alamiin


Cerita 21 – Izin

Apa yang membuat tidak masuk sekolah? Tentunya hanya tiga hal, sakit, izin dan alpa. Sakit, biasanya siswa tidak masuk sekolah dikarenakan sakit berat, paling ringan sakit kepala, paling berat mungkin sampai dirawat di Rumah sakit. Kalau sekedar pilek dan batuk saja, yaaa masih bisa berangkat sekolah kan? Izin, kebanyakan siswa izin kalau tidak keluar kota biasanya ada acara keluarga yang harus dihadiri, yah kalau ke rumah tetangga sebelah saja tidak mungkin samapai izin kan? Alpa, nah kalau alpa biasanya buat siswa yang malas ke sekolah, atau bagi siswa-siswa yang lupa member kabar pada sekolah kenapa mereka tidak masuk.

Eits, itu mungkin kebiasaan waktu aku sekolah. Lain halnya disini. Setiap hari aku mengajar pasti selalu ada siswa yang absen. Ya diantara tiga alasan paling top adalah alpa. Apalagi hari Senin, hari dimana ada pasar, satu kelas paling hanya berisi setengahnya, sisanya? Entahlah. Banyak siswaku yang menjadi tukang ojek dadakan ketika hari pasar, maklum sekolah siang pagi hari bisa cari duit dulu, siangnya? Bolos sekolah. Mungkin ini agak dimaklumi, mereka lelah karena ngojek. Yang lain? Nah, hari pasar itu adalah hari mejeng, bahasa Indoneianya mungkin nge gaul di pasar. Jangankan yang ngojek, yang Cuma jalan-jalan di pasar saja banyak yang tidak masuk sekolah. Selain hari pasar juga banyak yang alpa. Alasannya beragam. Ketika musim tanam, ramai-ramai banyak yang tidak masuk sekolah karena tanam, ketika panen juga serupa. Atau tiba-tiba mereka pesiar ke Kupang. Sekolah? Sepi.

Lain halnya dengan izin. Pernah orang tua kalian ke sekolah untuk meminta izin? Disini juga da orang tua siswa yang minta izin anaknya tidak masuk sekolah. Ketika ditanya alasannya “saya minta izin anak saya satu minggu, mau bantu tanam di kebun atas.” Kaget? Aku pun demikian. Ada juga anak yang minta izin langsung kepada kami “Ibu saya minta izin tiga hari, mau bantu orang tua pasang seng rumah.” Ada juga yang “Ibu, si A izin sekolah mau mencuci.” Masih banyak alasan-alasan yang kadang bikin cengo di sekolah. Antara iba, gak tega kasih izin, atau kaget karena alasan izinnya.

Nah kalau sakit, kadang sakit yang di buat-buat. Ketika aku iseng absen di kelas, lalu ada yang sakit, aku langsung bertanya “Sakit apa?”, temannya langsung menjawab “Sakit pilek bu!”. Awkey, mungkin pileknya sampe ga bisa bangun lagi ya, mungkin,

Inilah potret kehidupan disini. Banyak siswa yang sekolah seperti puasa senin kamis atau puasa daud, atau yang lebih ekstrim belajar gak pernah hadir, giliran ujian datang tepat waktu. Terlambat udah jadi makanan sehari-hari. Kadang aku berfikir, sekolah siang saja banyak yang terlambat, apalagi sekolah pagi. Banyak yang gak masuk sekolah kali tiap harinya.

Sekolah memang bukan menjadi prioritas utama bagi mereka. Sekolah menjadi sebuah sarana hiburan atau tempat berkumpul bersama teman-teman. Mereka juga kadang bingung untuk apa sih sekolah? Kadang yang membuat aku sedih adalah ketika mereka tidak mempercayai kemampuan diri mereka sendiri dan membandingkan “ini kampung bu, beda dengan kota.” Bagiku, tidak ada yang berbeda. Semua sama, jika mereka berusaha sungguh-sungguh.


Senin, 13 Juli 2015

Cerita 20 - Lucky

"Setiap kamu merasa beruntung, percayalah doa ibumu telah didengar"- anonim

Pernyataan di atas menurutku paling tepat untuk menggambarkan penempatanku saat ini. Tidak ada yg dapat dilakukan selain berdoa agar tempat penempatan "baik". Ya paling tidak, tak terlalu sengsara.

Aku ditempatkan di desa oelfatu, tidak terlalu jauh dari kota kecamatan soliu. Di tempatku dekat dengan air, oelfatu berarti aur dan batu. Walaupun harus timba dan air berkapur, tapi paling tidak aku tidak pernah merasakan susah air. Alhamdulillah.

Di desaku ada tower sinyal di pasar. Ketika tower pasar benar, maka kami bisa telpon/sms dimana saja, tapi ketika tower rusak,  kami sms/telpon hanya di tempat tertentu saja. Seperti misalnya di kamarku, hanya bisa di sudut kursi deket pintu. Kenapa demikian? Karena kami mendapat sinyal dari kecamatan sebelah.

Untun penerangan, kami dibantu oleh mesin besar dana dari pnpm, dengan bahan bakar solar. Dari bulan pertama datang sampai desember, listrik aman walau hanya dari jam 6-12malam. Tapi mulai dari januari, listrik desa padam dikarenakan masyarakat yang tidak membayar iuran listrik. Tapi lagi-lagi alhamdulillah, bulab mei kemarin bapa desa membeli genset, paling tidak kamar kami teran.

Untuk lingkungan, disini aku disambut sangat baik. Aku mendapatkan kenyamanan berada disini. Tinggal di tengah keluarga bapa desa membuatku merasa memiliki keluarga baru yang hangat. Bapak yang dengan baik selalu membantu kami, mama yang selalu ceria mendengar celotehan kami
Dan anak-anak yang dengan sigap membantu kami. Kurang atau ada perlu apa-apa aku langsung kesebelah. Dan semua masalah hilang.

Sekolah penempatan juga tak kalah seru. Mengajar anak SMA yang usia nya tak jauh beda denganku, bercengkrama dengan guru muda yang sedikit banyak gila, dan pembelajaran yang menyenangkan. Semua bagiku merupakan keberuntungan.

Sehingga setahun ini aku menjalani kehidupan yang baik, bahkan membuat teman-teman yangblain sempat iri. Tapi mungkin ini jalan Tuhan, untum aku belajar tetang semuanya. Juga yang paling penting adalah doa mama yang tak henti-hentinya sehingga membuat ku lebih merasa beruntung.

"Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?"

Jumat, 10 Juli 2015

Cerita 19 - Hari Pasar

Hari senin merupakan hari pasar. Hari dimana semua orang akan pergi ke pasar. Pasar di daerah Hunail sekitar 2 km dari rumah bapa desa. Katanya pasar adalah tempat yang sangat ramai. Aku dan Nesya pagi hari bersiap ke pasar, tapi bapa desa Bapa Desa bilang pasar sekitar jam 9an. Kami manut, akhirnya kami berangkat jam segitu.

Walaupun kami sudah membawa banyak perbekalan dari Kupang, kami tetap ingin untuk pergi ke pasar, selain berbelanja kami juga ingin melihat pasar yang hanya terjadi sekali dalam seminggu, kami juga ingin berbelanja sayur mayur.

Sesampainya di pasar, aku kaget. Memang pasar ini ramai sekali, Maklum, di kecamatan Amfoang Barat Laut hanya ada 2 pasar, yaitu psar Senin di Oelfatu dan Pasar Sabtu di Honuk.

Selayaknya pasar, disini terjadi kegiatan jual beli. Apa yang paling banyak dijual disini? Sirih dan pinang. Memamah sirih pinang merupakan kebiasaan orang disini. Selain sirih pinang, has kebun seperti sayur dan buah ada disini, juga sembako yang biasanya dijual oleh koko dan aci yang orang cina. Pakaian dan peralata  dapur juga ada yang dijual oleh mas-mas jawa dari Kupang. Karena yang jual mas jawa aku membeli ember dapet diskon khusus haga rasis banget ya?

Laru putih, sopi timor? Ada banyak. Kalian tahu apa laru dan sopi itu apa? Itu adalah nama minuman keras khas ini. Jangan heran, pasar adalah tempat orang mabok. Lihat saja di bawah pohon banyak laki-laki berkumpul sambil memutar minuman keras. Karena hal itu, tak jarang hari senin banyak orang berkelahi di pasar.

Hari senin dianggap juga sebagai hari raya. Karena orang-orang berkumpul di pasar. Kebanyak orang saling bertukar info di pasar, bahkan berkirim undanga  juga di pasar, atau ada juga yang dapat jodoh di pasar. Kocak kan. Karena orang-orang satu kecamatan akan berkumpul di pasar. Tak akan ada acara gereja atau rapat pada hari senin, karena niscaya orang-orang tak akan datang.

Unik sekali pasar disini samapai salah satu anak muridku bilang
"Hanya ada dua tempat yang ramai disini, sekolah dan pasar."