Rabu, 18 Juni 2014

Hujan

Aku selalu suka saat hujan datang. Bagiku hujan membawa ketentraman, kebahagiaan. Paling tidak, hujan dapat membuat panas dahaga kembali sejuk. Aku tak pernah bisa bayangkan jika tak ada hujan. Mungkin, banyak orang akan marah-marah karena kepanasan. Tapi justru aku bingung dengan manusia. Jika panas minta hujan namun jika hujan mereka justru marah-marah. Bagiku hujan adalah surga kecil di bumi. Kamu bisa berlari-lari di bawah tetesan air, gratis. tak perlu bingung membayar, layaknya di kolam renang. Kebanyakan orang bilang dengan hujan kamu bisa menangis sekencangnya tanpa ada yang tahu. Tapi seharusnya hujan membuatmu bahagia,bahagia hidup di bumi. Kamu tahu banyak menunggu saat hujan untuk berbahagia. Buktinya ada sholat minta hujan atau bahkan ada tarian pemanggil hujan. Pernahkah kamu mendengar ada tarian pemanggil panas? Aku belum pernah. Karena hujan identik dengan rizki. Soal banjir, itu bukan salah hujan. Bukankan di berbagai mata pelajaran sudah dijelaskan bahwa banjir merupakan bencana alam yang di sebabkan oleh tangan-tangan manusia? Jadi jangan menyalahkan hujan. Hujan itu penuh rahmat. Katanya ketika hujan banyak malaikat turun ke bumi. Karenanya, berdoalah ketika hujan. Berdoa sebanyak-banyaknya pada-Nya. Yang Maha segalanya.

Aku sempat ingin kamu seperti hujan. Datang membawa kebahagiaan, tapi aku tahu hujan bersifat sementara tak permanen. Dia datang ketika musimnya. Aku tak ingin kamu seperti itu. Aku ingin bahagiamu permanen. Tak sementara.

Aku rindu menunggu hujan denganmu, Ketika doa dan harapan kita panjatkan bersama, ketika kita saling bertatap dengan hujan. Ketika kamu melindungiku dari hujan yang perlahan jatuh ke rambutku. Ketika itu, ketika aku dan kamu masih menjadi kita.

(c) Rizky Purnama
Cirebon, 19 Juli 2014


Senin, 16 Juni 2014

#1

Hai, Hallo kamu apa kabar? Sudah hampir setahun kita tak saling sapa, bercakap, apalagi bertemu. Kamu, masih seperti saat itu kah? Atau mungkin sudah banyak berubah? mmm, sepertinya sudah banyak yang berubah ya? Ah tanpa bertemu atau bercakap pun sudah dapat kuprediksikan. 
Kamu, apakah masih sering membaca hingga larut malam? Mengerjakan tugas hingga pagi menjelang? Iya itu kamu, kamu yang suka menunda pekerjaan membuat semuanya dikerjakan terburu-buru. Kamu bilang dikejar deadline, padahal kamu yang mengejarnya. Aku saat itu hanya bisa menyemangatimu lewat pesan singkat, atau membawakan Americano coffee ke kostanmu. Kamu sangat suka kopi, kan? Dan kamu hanya tersenyum, kemudian memelukku sambil mengucapkan terimakasih. Aku senang, paling tidak aku bisa membuatmu tersenyum ketika tugas-tugas itu seakan membunuhmu, 
Kamu ingat dulu kita sering ke toko buku untuk membaca bersama. Aku pergi ke rak novel, dan kamu pergi ke rak sains. Bacaan kita berbeda, namun kita selalu memiliki pembicaraan yang menyenangkan untuk dibahas, berdua. Sesekali aku pindah ke rak buku memasak. Kamu menunjuk beberapa resep masakan. Aku paham maksudmu. Kamu pun membelikanku satu buku resep untuk kucoba. Dan kamu, selalu memakan apa yang aku masak. Selalu enak katamu. Padahal aku tahu, jelas-jelas rasanya kurang ini kurang itu, tapi kamu selalu ingin membuatku senang. Katamu, biar aku tak pantang menyerah untuk memasak. Dan aku bilang, kamu adalah suporter utamaku, 
Oh ya, minggu kemarin kamu ulang tahun ya? Aku ucapkan selamat. Maaf aku mengucapkannya disini.Aku terlalu takut untuk mengucapkan langsung padamu, bahkan untuk sekedar lewat pesan singkat. Ah, tahun kemarin kita masih merayakan ulang tahunmu bersama ya. Saat itu kamu sedang penat dengan tugas akhirmu. Kamu juga lupa kalau hari itu dalah hari ulang tahunmu. Lalu aku memberikan surprise kecil. Buku resep cucakes yang kamu belikan bulan kemaren aku praktekan. Dan hasilnya, taraaa cupcakes ulangtahun, untuk kamu. Walaupun bentuknya nggak karuan, tapi cupcakes itu mampu membuat kamu tersenyum seharian. Pagi-pagi, dengan membawa cupcakes kreasiku aku datang ke kostan mu. Kamu yang masih terkantuk-kantuk membukakan pintu. Kamu kaget melihat aku membawa cupcakes lengkap dengan angka 23, dan bertanya "Emang sekarang tanggal berapa?". Kamu, selalu lupa tanggal. Pagi itu kamu memejamkan mata, membuat permohonan pada Tuhan lalu meniup lilin. Kamu bilang permohonan rahasia. Hanya kamu dan Tuhan yang tahu. Padahal aku sangat ingin tahu apa yang kamu panjatkan pada-Nya.  
Hidup ini lucu ya. Kamu menjadi pendamping wisudaku, tapi aku bukan pendamping wisudamu. Kamu bilang setelah kelulusanku, aku akan menjadi pendamping wisudamu. Tapi ternyata jarak membinasakannya. Padahal aku sudah membayangkan kita akan foto dengan toga bersama. Kufikir dengan aku lulus duluan akan membuatmu semangat. Iya kamu semangat mengerjakan tugas akhirmu dan juga semangat mencari yang lain. Yang tidak jauh denganmu. Yang jaraknya dekat. Ah, sudahlah. Kamu, memang tidak bisa jauh dari perempuanmu. Dan perempuan yang menjadi pendamping wisudamu, ah sudah lupakan. Aku tak ingin meluapkannya lagi disini. 
Kamu, sekarang baik-baik ya. Semoga mendapatkan pekerjaan yang baik seperti yang orang tuamu inginkan. Suatu saat kita akan berjumpa lagi, kan? Iya itu janjimu padaku. Tapi kuharap jika kita bertemu, aku tidak beratap muka dengan perempuan itu.
Aku memandang  teks yang dari tadi kutulis di body email. Tujuan email sudah kutulis. Bahkan subjectnya pun sudah kutulis lengkap. Tinggal klik "send" semuanya selesai. Tapi aku urung mengirimnya. Seperti biasa lagi-lagi aku hanya menyimpannya di folder draft. Sudahlah. Kututup laptopku. Dan ku rebahkan badanku. Ah otakku, sepertinya sudah menjadi kebasaan sebelum tidur merewind masa-masa  itu. Masa bahagia, masa sedih, hingga masa itu. Masa yang tak akan pernah bisa aku lupakan.

Pukul 00.15. Aku mencoba memejamkan mata. Ponselku berbunyi. Satu pesan singkat.Kubuka pesan itu. Nomor yang tak asing lagi. Kubaca isinya
"Hai La, apa kabar?"