Selasa, 15 Juli 2014

People Change, Life change

Aku gak mau jadi guru. Buat mereka yang sudah lama mengenalku mungkin tau, aku mau jadi ahli gizi, bukan jadi guru. Mereka juga tahu, aku kuliah di keguruan karena permintaan orang tua, papa terutama. Itu aku dulu, sebelum menikmati peran menjadi seorang guru.

Selama hampir tiga tahun setengah kuliah di keguruan, gak ada fikiran di benakku mau jadi guru. Pokonya aku mau kerja kantoran. Apapun itu. Bagiku, jadi guru itu membosankan. Ketemu anak yang menjengkelkan tiap hari, ngajarin anak-anak berulang-ulang sampai bikin program, gajinya pun kecil.

Tapi itu berubah. Semester akhir kuliah akhirnya aku melamar untuk menjadi tutor di salah satu bimbel di kota Cirebon. Tanpa pikir bakal diterima, ternyata aku dipanggil untuk tes tulis dan interview. Ada dua orang yang di tes saat itu. Aku pun pesimis, karena beberapa soal gak dijawab, dan orang yang ikut tes bareng aku selesai lebih dulu, disaat aku masih ngitung. Beberapa minggu kemudian, aku dipanggil lagi untuk microteaching dan akhirnya ditetapkan lolos sebagai salah satu pengajar di bimbel tersebut. Alhamdulillah.

Kelas pertama yang aku ajar adalah kelas 8 SMP. Awkward awalnya, tapi semua berlangsung menyenangkan. Mereka (anak-anak) semuanya aktif, dan aku nggak berusaha jadi guru mereka, melainkan berusaha jadi teman mereka. Kemudian aku dapet bagian ngajar anak-anak lainnya. Sistem bimbel gue itu bisa privat bisa kelompok. Tapi kebanyakan privat yang mengharuskan aku dateng ke tempat si anak.

Nyari alamat anak yang sebelumnya nggak aku tahu itu lumayan susah. Kadang sampe setengah jam sendiri muter-muter nyari alamat. Tapi kesel nyari alamat itu sirna ketika negliat anak les semangat mau belajar. Awalnya pasti canggung. Sama kaya baru pertama kenalan sama orang. Bingung apa yang mau di omongin. Tapi makin kesini, mereka udah kaya temen bagiku, mereka curhat, dan kadang sebaliknya. Aku seneng, karena artinya mereka percaya sama aku. Aku kaya punya keluarga baru.

Awalnya aku nggak mau kalau disuruh ngajar anak SMA. Aku takut, anaknya lebih pinter dariku. Tapi kemudian si mbak yang punya les ngebujuk dan terus nyemangatin. Alhasil, aku terima tawaran itu. Pokonya, sebelum aku berangkat ngeles, aku belajar dulu. Hehe. Aku ngelesin anak SMA yang umurnya nggak jauh beda, eh tetep beda jauh sih. Dan mereka, sungguh menyenangkan. Mereka bercerita apa saja, mengerjakan soal matematika diiringi tawa ringan khas anak-anak sekolah. Ah, menyenangkan sekali. Jam belajar itu satu jam setengah, namun kadang dihabiskan dengan satu jam ngobrol dan setengah jam belajar. Aku berprinsip, paling tidak ada beberapa materi yang mereka pahami. Aku nggak mau les justru makin membebani mereka.

Dari sinilah aku berfikir, ternyata menjadi guru tak membosankan seperti yang pernah aku bayangkan sebelumnya. Cukup menyenangkan. Sangat, bahkan. Aku ingin menjadi guru. Aku ingin menjadi guru.

Tapi, ternyata takdir bekata lain. Selepas wisuda, Aku harus bekerja kantoran yang hidupnya monoton. Office hour dihabiskan dengan duduk di depan layar komputer, atau kadang sekali pergi kunjungan ke beberapa perusahaan. Menjemukan dan menjenuhkan. Tapi bukankah ini yang dulu aku mau, bekerja kantoran. Tuhan hanya mengabulkan apa yang aku inginkan. Balik kerja demi menghibur diri, aku masih mengajar les anak-anak bimbel. Capek? Banget. Kadang jam 8 malem gue baru sampe rumah. Tapi itu semua menyenangkan, justru menjadi hiburan. Kejenuhan kantor hilang ketika mereka berceloteh tentang sekolahnya. Atau kita bersama-sama meneyelesaikan soal matematika. Disini aku baru sadar, Teaching is my passion.

Tapi, masih terbesit diotak ku untuk menjadi seorang guru. Bukan sekedar guru les, tapi guru di sekolah. Bertemu dengan murid-murid setiap hari. Berbagi ilmu. Ah aku ingin menjadi guru.

Lalu, aku akan terus berusaha untuk menjadi guru. Aku pun berdoa pada Tuhan, agar aku bisa menjadi guru. Aku percaya, Jika ini bukan saatnya pasti nanti ada masanya untukku dapat menjadi seorang guru. Mungkin Tuhan ingin aku mempersiapkan diri menjadi seorang guru. Mungkin aku belum siap. Dan diantara banyaknya kemungkinan-kemungkinan yang berkecamuk dalam otakku, aku terus berdoa pada-Nya. Karena Tuhan dekat, dan menunggumu untuk berdoa pada-Nya. Aku percaya itu.

(c) Rizky Purnama
16 Juli 2014