Kamis, 18 Agustus 2016

Buah Jatuh Jauh dari Pohonnya

Papa adalah seorang guru olahraga yang bertugas di sekolah dasar. Biasanya jika orangtua mengampu suatu mata pelajaran, sang anak otomatis akan menjadi ahli di mata pelajaran tersebut, tapi tidak denganku. Aku payah dalam olahraga. Badanku ringkih dan penyakitan saat kecil. Nilaiku selalu di ambang batas untuk mata pelajaran olahraga. Bukannya Papa tak mengajariku olahraga. Papa rutin mengajak kami berenang, sekedar berlari, main ke stadion olahraga, bahkan Papa mengajak anak satu komplekku untuk main kasti di lapangan setiap hari Minggu. Hanya saja, aku yang selalu “bermain” ketika Papa mengajariku olahraga.

Saat Sekolah Dasar, Papa rutin mengajak aku dan kedua kakakku berenang. Kami berenang bersama teman-teman satu komplek, atau hanya berempat. Aku yang saat itu masih kecil, kerjanya hanya “main air”. Bahkan ketika kedua kakakku sedang serius berlatih renang, aku hanya bermain, sambil sesekali mengganggu mereka yang sedang belajar. Ketika papa ingin mengajariku, aku malah lari, tak ingin belajar renang, terus bermain, dan bermain. Alhasil, hingga sebesar ini aku tak bisa renang. Hingga Papa meninggal, dan kami berenang sekeluarga, kakakku berenang dengan gaya-gayanya. Sedangkan aku, hanya bisa menatap iri. Sambil berkata pada mereka “Ko, Kiky ga bisa sih.” Kakakku hanya tersenyum sambil berkata “Makanya, dulu waktu diajarin berenang sama Papa jangan main terus.” Aku menyesal.

Saat SMP, Papa mengikuti pendidikan wasit bola voli, dan Papa resmi menjadi wasit voli. Banyak pertandingan yang Papa pimpin, skala local hingga skala nasional. Suatu kali, ada pertandingan Pro Liga di kotaku. Papa mengajakku untuk menonton. Aku selalu senang pergi dengan Papa, bukan karena suka dengan voli, melainkan jika pergi dengan Papa, aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku pun duduk di bangku penonton ketika Papa memimpin pertandingan. Yang kulihat dari atlet volley adalah mereka semua cantik, hahaha. Saat jeda pertandingan aku diajak papa makan. Kami makan sambil ngobrol. Papa bilang ‘Tau ngga, De? Itu pemain volley itu hampir rata-rata pemain bayaran. Perusahaan yang narik dia untuk main buat perusahaannya. Kerjaan yang cari mereka, bukan mereka yang cari kerjaan.” Papa kemudian membujukku untuk masuk klub volley. Setiap pulang sekolah Papa menyuruhku latihan volley, dan aku selalu ada saja alasannya. Aku tak suka volley. Hingga mungkin Papa jengah, dan berhenti membujukku. Hingga aku sebesar sekarang, aku sama sekali tidak bisa main volley. Ketika ada pertandingan, aku hanya bisa jadi penonton yang meramaikan, bukan yang ikut andil dalam permainan.

Sampai ketika SMA, aku ikut ekskul olahraga. Softball. Ikutan Kakakku yang ikut softball juga. Itu pun mainnya gak bagus-bagus banget. Latihannya juga males-malesan. Berbeda dengan  kakakku yang main hingga Bandung, dan menang pula. Sampai kalau latihan suka dibandingkan. Dan aku paling tak suka kalau papa menontonku ketika latihan atau pertandingan. Pasti kmentar Papa banyak, dan aku tak suka dikomentari, apalagi komentar yang jelek.

Hingga usia yang menginjak seperempat abad, aku memang tak bisa olahraga. Rasanya menyesal karena dulu yang tak serius ketika belajar olahraga bersama Papa. Kadang  sempat terfikir “Coba kalau dulu belajar bener, pasti kalo ada volley bisa ikutan”, Ah tapi ya sudahlah.

Papa memang tak memaksakan kami untuk jago dalam olahraga, Papa hanya menganjurkan kami olahraga agar badan kami sehat dan bugar. Aku memang buah yang jatuh jauh dari pohonnya, tapi aku tetap buah yang tumbuh dari pohonnya, Ah Papa, aku rindu.


Minggu, 31 Juli 2016

Lebaran a la Anak Rantau

Lebaran, tak akan pernah sama. Selalu ada cerita berbeda di setiap tahunnya. Seperti saat ini, saat dimana aku tidak bisa berlebaran bersama keluarga karena tugasku yang belum selesai. Aku adalah seorang guru SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar Tertinggal) yang ditempatkan mengajar di Kab. Kupang NTT.

Kali ini aku harus berlebaran jauh dari keluarga. Karena di kampung tempat tugasku hanya aku satu-satunya yang beragama muslim, aku dan dua orang temanku dari kampung sebelah berencana untuk berlebaran di Pulau Flores, di tempat keluarga yang menampung kami saat liburan Paskah, April lalu. Setelah urusan di kampung selesai, kami pun bersiap pergi ke kota dan menyebrang ke pulau Flores, tepatnya ke Larantuka, Flores Timur.

Tiket sudah di tangan, aku yang belum pernah mudik  sangat excited. Bagaimana tidak, melihat barang bawaan penumpang, euphoria penumpang yang berdesakkan khas mudik bagiku sangat menyenangkan. Kami (aku dan kedua temanku) sampai tak dapat kasur untuk beristirahat, akhirnya dengan terpaksa kami duduk di pinggiran lorong kapal. Kapal penuh sesak, semua memiliki satu tujuan, untuk berkumpul bersama keluarga.

Di kapal, kami bertemu dengan kerabat dari keluarga yang akan kami tinggali di Flores. Yang paling kusuka dari orang NTT adalah kekerabatan yang sangat erat. Mereka semua bersaudara.

Tiga belas jam perjalanan Kupang-Larantuka, akhirnya kami sampai di pelabuhan. Kami pergi naik angkutan bersama-sama untuk sampai ke tempat. Setengah jam berlalu, kami pun sampai di rumah Pak Badar dan Umi Nur. Mereka adalah orang tua yang baru kami kenal bulan April lalu, ketika kami nekat pergi ke Flores, Pak Badar dan Umi menyediakan kami tempat tinggal. Kami tinggal di rumah Pak Badar selama 10 hari padahal kami hanya kenal kerabat Pak Badar. Mereka dengan baik hati mengizinkan kami tinggal di rumahnya dan memakai fasilitas yang ada dirumahnya, cuma-cuma.
Sebelum pulang dari liburan Paskah, Pak Badar juga Umi meminta kami untuk berlebaran di rumah mereka. Kami pun mengindahkan permintaan mereka untuk berlebaran bersama mereka.  Kami disambut dirumahnya bersama dengan 3 orang anak perempuan mereka yaitu Ummu, Rayyan, dan Zahra.

H-5 lebaran. Hari-hari dihabiskan dengan membantu Umi dan Pak Badar menyiapkan lebaran. Jauh dari orang tua memang tak pernah menyenangkan, tapi pak Badar dan Umi melengkapi kami sebagai orang tua. Kami senang tinggal dengan keluarga mereka yang menganggap kami juga sebagai keluarga.

H-1 lebaran kami membantu Umi memasak untuk esok hari raya. Kalau di Larantuka, kebanyakan masyarakat tidak memakai ketupat, melainkan kalesong. Hampir mirip seperti ketupat, bedanya hanya di bentuk, ukuran, dan mungkin bahan-bahannya. Umi juga biasanya tak membuat opor, namun melihat ada kami, Umi mendadak membuat opor. Umi bilang, agar kami serasa berelebaran di rumah.

Lebaran pun tiba. Kami sholat id di lapangan kantor Bupati Larantuka. Sedih rasanya lebaran jauh dari keluarga. Sedih rasanya hanya melihat orang-orang yang berkumpul dengan keluarganya. Kami hanya bisa meminta maaf dengan keluarga via telpon, tapi itu tak mengurangi esensi dari lebaran.

kami dan keluarga Pak Badar
Setelah shalat Id, kami ikut Pak Badar dan Umi berkeliling ke keluarga mereka di Larantuka untuk bersilaturrahmi. Siang harinya kami diajak Umi untuk menyebrang ke pulau Adonara. Pulau asal kelahiran Umi, dan orang tua Umi. Pulau Adonara adalah pulau kecil di seberang Flores Timur. Untuk sampai ke Adonara kita harus naik kapal motor.

Sesampainya di Pelabuhan kami dijemput keluarga Umi untuk menuju Desa Terong. Desa tempat tinggal Umi. Hebatnya di Desa ini semuanya bersaudara, aku sampai bingung ketika bertanya pada Ummu, siapa orang itu. Ummu selalu menjawab saudara. Kadang Ummu bingung menjelaskan silsilahnya.

Lebaran di desa selalu lebih ramai dibanding di kota. Apalagi Di desa Terong. Lebaran di desa Terong disambut dengan suka cita. Sore hari, kami diajak berkumpul di lapangan. Semua warga ternyata turut kumpul di lapangan. Mereka menari bersama. Para mama dan bapak memakai sarung menari sambil bernyanyi diiringi tabuhan alat music tradisional. Pemuda-pemudi juga turut ambil bagian dalam acara ini. Ternyata acara menari seperti ini sudah ada sejak dulu.. Yang keren adalah, panitia acara ini adalah para pemuda pemudi asli Desa Terong yang masih sekolah atau kuliah, entah itu di daratan NTT atau di Pulau lain. Karena bagi mereka, lebaran merupakan waktunya berkumpul di kampung halaman. Kami pun di ajak menari. Kalau tak salah namanya tari lilin. Katanya menari seperi ini adalah salah satu cara untuk mendapat jodoh. hihi, tapi sayang kami tak dapat. Lebaran disini benar-benar terasa seperti lebaran, ramai dan meriah. Disini terlihat ragam budaya Indonesia yang masih dilestarikan oleh warga sekitar.
mereka menari dengan satu orang yang memimpin di ujung barisan

semua yang menari menggunakan sarung

Keesokan harinya kami diajak pergi ke pantai air panas. Aku juga bingung kenapa air panas, padahal ketika kami mandi di laut airnya sama dinginnya. Ternyata, ketika kita menggali pasir pantainya hingga dalam dan keluar air, airnya hangat. Dan di dekat pantai, ada sumur yang airnya panas. Padahal di sekelilingnya air dingin biasa. Tak lupa kami ikut mandi-mandi di sumurnya. Alam Flores ini sungguh luar biasa. Dari pantai kami bisa melihat gunung-gunung yang sangat indah. Puas main-main di pantai, kami diajak pergi ke pasar. Tak lupa membeli tenun asli motif khas Adonara.

pantai air panas
Berlebaran di Adonara ini membuatku merasa seperti berlebaran di rumah. Penerimaan baik dari keluarga Umi dan Pak Badar membuat kami merasa nyaman tinggal dengan mereka. Padahal, kami baru mengenal mereka. Seperti yang pernah ku bilang, aku sampai menggeneralisasikan bahwa semua orang NTT ini baik, semua mereka anggap sebagai keluarga.

Tak terasa waktu berjalan, kami harus pulang. Tidak ada kapal dari Adonara menuju Kupang. Ada dua pilihan, kami ke Larantuka terlebih dahulu, atau ke Pulau Lembata. Kami pun memilih untuk naik kapal dari Pulau Lembata. Kami dititipkan ke keluarga Pak Bdar dan Umi yang ada di Lembata. Kami pun dijemput di pelabuhan Lewoleba, Lembata. Menginap sehari, baru kami pulang ke Kupang.

karena berlebaran bersama mereka seperti berlebaran bersama keluarga

Sehingga lebaran kalli ini, dalam waktu semingggu kami menyebrangi 4 Pulau, yaitu Timor – Flores – Adonara – Lembata. Dalam seminggu juga kami mendadak memiliki banyak sekali saudara yang menerima kami dengan baik, yang membuat kami belajar untuk menerima orang yang abru dikenal dengan penerimaan yang baik, yang memberikan pengalaman baru bagi kami, yang mengajarkan kami tentang budaya turun-temurun mereka yang tak pernah mereka tinggalkan. Dan dalam seminggu ini kami melihat sisi lain Indonesia, budaya dan keramahan khas Indonesia.


Memang, tak pernah ada yang bisa menggantikan keluarga. Tapi selalu ada yang bisa melengkapi sebagai keluarga di setiap perjalanan.




*Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition CERIA "Cerita Lebaran Asyik" yang diadakan oleh Diary Hijaber dan Blogger Perempuan

Hari Hijaber Nasional
  • Nama Acara: Hari Hijaber Nasional,
  • Tanggal: 07 Agustus 2016 – 08 Agustus 2016
  • Tempat: Masjid Agung Sunda Kelapa,  Menteng, Jakarta Pusat

Minggu, 26 Juni 2016

Pemimpin dan Dipimpin

sumber gambar

Beberapa waktu yang lalu kami (aku dan teman asrama) tidak pergi ke masjid untuk sholat taraweh karena satu dan lain hal. Kami merencanakan untuk sholat sendiri di asrama secara berjamaah. Seperti biasa, ketika akan sholat berjamaah yang isinya perempuan semua, kami akan saling tunjuk imam. Terkadang ada yang berebut iqomah karena tidak ingin menjadi imam. Pada akhirnya aku yang disuruh menjadi imam, padahal kami semua setara, bacaan kami ya hanya itu-itu saja. Daripada membuang waktu saling tunjuk imam, akhirnya aku mengalah.

Dimulailah dengan shalat Isya. Aku ingat sekali, aku mengantuk, dan bacaan surat pilihanku ada yang salah. Aku merasa berdosa. Yang kutahu, ketika imam salah, berarti dosa makmum ditanggung imam. Selepas shalat isya, aku meminta maaf dan berkata “Kalau ada yang salah bacaannya, tolong dibenerin, ya!” Kemudian aku melanjutkan dengan shalat taraweh. Ini kali pertama bagiku. Lalu, aku merasa lelah, ternyata menjadi imam melelahkan. Ternyata menjadi imam shalat tidak semudah dibayangkan. Tidak hanya memimpin sholat, tapi membaca dengan benar, bahkan menanggung dosa. Duh.

Kemudian… aku berfikir.

Perkara memimpin dan yang dipimpin. Menjadi imam adalah perkara yang tak mudah. Bukan hanya perkara memimpin, membaca Quran yang bagus, tapi juga perkara tanggung jawab. Perkara ini yang sulit. Seperti kita memilih imam kelak, memilih imam harus yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab untuk membimbing kita ke jalan yang benar. Bertanggung jawab akan diri kita. Bertanggung jawab akan dosa-dosa kita

Imam dan makmum juga harus bersinergi. Makmum mempercayai imam, dan imam berusaha agar dapat dipercaya. Makmum akan mengikuti semua gerakan imam, semua bacaan imam, asalkan benar dan tak menyalahi aturan sholat. Imam dan makmum juga harus saling membantu. Saling mengingatkan. Seperti halnya manusia biasa, imam pun tak luput dari kesalahan. Makmum boleh mengingatkan. Bukankah makmum yang baik adalah makmum yang dapat mengingatkan?

Dan yang kutahu, menjadi imam itu adalah pekerjaan berat lagi lelah. Makmum seyogyanya menghargai imam, mempercayainya dan mendukungnya. Karena bagiku, makmum dan imam adalah satu tim yang seharusnya solid. Wallahualam.


*Tulisan ini adalah tulisan iseng ketika menjelang fajar, selingan menulis buku kajian tugas pesantren yang tak kunjung selesai

Senin, 20 Juni 2016

Mencari dan Menemukan

sumber gambar
Hari ini aku pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan demi seminar proposal yang sudah di depan mata. Entahlah apa jadinya proposal penelitianku yang seperti mie instan, dikerjakan dalam waktu singkat. Mudah-mudahan tak seperti mie instan betulan yang mudah mengembang, namun sulit membuat kenyang *apasih*. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan. Ada hal yang membuatku belajar di perpustakaan siang ini. Belajar materi proposal, itu pasti. Tapi lagi-lagi sering kubilang, belajar tentang kehidupan adalah hal yang paling penting, menurutku. Dan hari ini aku menemukan suatu pembelajaran yang implisit namun berarti.

Di perpustakaan aku mencari buku-buku penunjang bahan proposalku. Dimulai melihat tesis yang ada di perpustakaan, kemudian melihat daftar pustakanya lalu mencari bukunya di katalog online yang disediakan oleh perpustakaan. Aku mulai mengetik judul buku dan keluarlah nomor katalog buku. Aku pun mencarinya, satu kali tak ketemu. Aku kembali menyusuri lorong, tapi nomor buku yang kucari tak kunjung terlihat, 370 nomor buku yang kucari. Tak kunjung dapat. Sampai akhirnya aku pergi ke mesin pencari buku (lagi). Aku mengetik judulnya. Dan kali ini aku menulis semua nomor bukunya, 370.152. Aku tak ingin gagal lagi. Akupun menyusuri lorong-demi lorong, dan tak kunjung dapat.

Aku mulai jengah, dan kembali ke tempat duduk sambil menggerutu. Kemudian salah seorang temanku bertanya “Ky, cari buku nomor 370? Itu ada di lorong sebelah sana.” Aku pun mulai semangat lagi untuk mencari. Pelan-pelan kucari, namun tak kunjung ketemu. Sampai akhirnya aku menysuri satu persatu bukunya, perlahan-lahan, dan voila. Ketemu! Ternyata buku yang kucari daritadi ada di depan mataku, hanya kapasitas mata manusiaku yang tak dapat melihatnya. Ternyata buku yang kucari hanya sediikit terselip atau mungkin “ngumpet”, karena bukunya kecil, tertutup buku-buku lain. Dan selepas menemukan buku itu, rasanya senang sekali. Bagaikan mendapat secercah harapan karena proposal yang tak kunjung selesai. Ah senang rasanya.

Lalu aku kemudian mendapatkan suatu pelajaran baru. Pelajaran tentang mencari dan menemukan. Mungkin saat ini ada yang sedang mencari namun tak kunjung dapat. Mungkin kita mencari tergesa-gesa hingga tak menemukan yang dicari. Mungkin kita mencari di tempat yang salah, hingga tak kunjung menemukan. Mungkin yang kita cari ada di depan mata kita, namun kita sibuk mencari ke tempat yang lain sehingga yang dicari seakan-akan tak terlihat. Mungkin mata kita kurang terbuka lebar hingga yang dicari seakan-akan terlampau kecil untuk terlihat. Atau mungkin, kita butuh bantuan orang lain agar dapat menemukan pencarian kita.

Jadi, pelajarannya adalah sabar, jangan tergesa-gesa, dan jangan menyerah. Siapa tahu yang dicari sedang menunggu untuk ditemukan. Dan percayalah, setiap pencarian pasti akan menemukan.

Selamat mencari dan selamat menemukan. Mudah-mudahan Tuhan memberi jalan yang mudah lagi berkah dalam proses penemuanmu.

Minggu, 12 Juni 2016

PILIHAN YANG DIPILIH


Hidup memang suatu pilihan. Tapi bagaimana jika kalian yang menjadi suatu pilihan. Bukan pilihan utama melainkan pilihan kedua. Pilihan yang sebenarnya tak akan dipilih, namun hanya diberi harapan untuk dipilih. Bagaimana jika kalian seperti itu? Bagaimana jika pada akhirnya harapan patah karena dia lebih memilih (pastinya) pilihan yang pertama?

Jika diibaratkan antara pilihan pertama dan kedua seperti Bunga, mungkin begini jadinya:

Seseorang akan menanam dua bunga pada waktu yang berbeda. Pertama, dia menanam bunga A. Selang beberapa waktu dia menanam bunga B.

Bunga A berasal dari bibit yang baik, disiram setiap hari. Dan tumbuh seiring berjalannya waktu, hanya perlu matahari dan air bunga tersebut tumbuh baik. Merekah dan indah. Sampai  dikiranya bunga itu akan dipelihara terus menerus, dan dirawat terus menerus.

Selang beberapa waktu dia menanam bunga B.
Bunga B berasal dari bibit yang baik, disiram dan diberi pupuk setiap hari, ditambah vitamin-vitamin pendukung. Dan bunga tersebut tumbuh lebih pesat dibanding bunga A. Tumbuh lebih merekah dan lebih indah dibanding bunga A. Bunga itu tumbuh baik bukan hanya karena matahari dan air saja, namun juga ditambah pupuk dan vitamin-vitamin pendukung.

Lalu ketika harus memilih, dia pasti akan memilih bunga yang lebih cepat pertumbuhannya dibanding bunga alami yang lama pertumbuhannya. Belum lagi pendukung-pendukung yang membuatnya semakin merekah.

Pada akhirnya dia memilih bunga B, dan bagaimana nasib bunga A? Bunga yang terlanjur merekah itu dia buang begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana jika dia mencari faktor pendukung lain agar bunga A cepat merekah. Dirinya begitu saja memutuskan, tanpa berusaha. Dirinya begitu pasrah untuk memilih bunga B. Terlalu cepat, mungkin hanya karena melihat pertumbuhannya.

Tapi lagi-lagi itu pilihan sang penanam bunga. Hak preogratifnya untuk memilih. Mau berusaha atau tidak, bukankah yang lebih cepat justru lebih baik? Untuk apa berusaha lebih untuk hasil yang belum pasti juga nantinya. Lebih baik melihat yang sudah ada, kemudian langsung memilih. Perkara Bunga A, sudah dibuang, ya sudah. Bukankah hanya sebuah bunga?

Seperti itu analogi pilihan. Bagaimana jika kalian menjadi bunga A? Disiram terus menerus, namun dibuang begitu saja pada akhirnya. Tidak diperjuangkan atau memang tak ingin berjuang. Sakit? Kecewa? Patah? Begitulah nasib menjadi pilihan, dipilih atau ditinggalkan, dibuang atau diperjuangkan.

“Jangan berharap pada manusia, karena pada akhirnya kamu akan kecewa.” – Ali bin Abi Thalib

Pesan moral : Jika menjadi pilihan, jangan sedikitpun berharap. Berharap akan menimbulkan kekecewaan. Kekecewaan akan menimbulkan kesedihan dan pastinya penyesalan.

“Ketika seseorang benar mencintaimu karena agama, dia akan memperjuangkanmu sebagaiman yang dianjurkan agama” - @jalansaja_
------- Mungkin memang dia tak ingin berjuang, karena kenyataannya dia tak mencintaimu

“Akan ada, dan pasti ada. Orang yang bisa menerimamu sedemikian rupa” – Kurniawan Gunadi



Minggu, 10 April 2016

Chapter 1 – Selamat Datang di Pondok Pesantren Guru

Cerita SM-3T telah berakhir, tulisannya sudah ku rangkum disini. Sekarang aku akan memulai chapter baru yaitu PPG alias Pendidikan Profesi Guru yang biasanya diplesetkan menjadi Pondok Pesantren Guru.

Agustus 2015 kemarin, kami (peserta SM-3T angkatan IV), pulang ke daerah asal. Enam bulan masa transisi (pengangguran) dihabiskan dengan berbagai macam kegiatan ada yang menjadi traveler, ada yang kerja kantoran, ada yang mengajar, ada juga yang hanya makan dan bobo cantik alias menganggur.

Aku pun demikian, enam bulan pasca SM-3T kuhabiskan dengan mengajar privat, menjaga toko kakaku, dan jalan-jalan. Rasanya agak kaget mengingat kehidupan yang serba bebas di penempatan, lalu pulang kerumah dengan kebiasaan yang berbeda, budaya yang berbeda, dan karakter yang berbeda. Jenuh dan bosan itu pasti, namun mau apa lagi. Ingin kerja yang terikat pun bingung, karena program PPG pasca SM-3T yang rumornya dimulai bulan Maret.

Enam bulan berlalu, tepatnya bulan Februari (kebanyakan) anak SM-3T mengalami kegalauan akan PPG yang tak kunjung memberikan kabar kepastian, ibarat digantung pacar mau putus atau lanjut, begitulah kira-kira pemerintah menggantungkan nasib kami. Berita Hoax pun bermunculan, dari mulai katanya diundur tahun depan, bulan Juni, bahkan katanya PPG ditiadakan. Semua panik, semua bingung, semua galau.

source : google
Sampai akhirnya ada angin segar pada awal Maret, mengenai info PPG. Hari-hari berlalu, makin lama hilal PPG makin jelas. Plotingan penempatan keluar, peserta disebar ke berbagai LPTK seluruh Indonesia. Aku sendiri kembali ke LPTK dimana aku daftar, UPI Bandung. Padahal aku berdoa mendapat LPTK lain, namun doa Mama mengalahkan segalanya. Registrasi online selesai, registrasi kampus selesai, saatnya berangkat ke tempat tujuan selama satu tahun, Bandung. Tempat yang kata Pidi Baiq bukan hanya masalah geografis namun juga melibatkan perasaan.

Tanggal 15 Maret aku berangkat bersama ketiga temanku yang berasal dari Cirebon. 7 jam perjalanan Cirebon-Bandung (entah kenapa lama sekali) akhirnya kami sampai di asrama. Kenapa asrama? Jadi PPG ini adalah program berasrama, selama satu tahun, dan katanya asrama UPI adalah asrama yang paling ketat.

lorong asrama
Asrama kami terletak di paling belakang, terdiri dari empat lantai, putra di sayap kiri dan putri di sayap kanan. Aku mendapatkan kamar di lantai 4, mungkin Allah mengijabah keinginanku untuk menurunkan berat badan. Teman asramaku Sari dan Ulfa, yang sudah kukenal sebelumnya, mereka berasal dari LPTK UPI dan prodi matematika, sama sepertiku. Lalu aku berdoa “Ya Allah, semoga kehidupan asramaku bersama mereka, bisa berjalan berdampingan tanpa selisih paham yang berarti. Bisa menjadi keluarga disaat jauh dari keluarga, dan bisa menghangatkan udara Bandung yang dingin” Aamiin.

kamar mandi
Setiap lantai di asrama memiliki dua lorong, masing-masing lorong memiliki enam kamar mandi yang terdiri dari tiga wc dan tiga kamar mandi, satu pantry, dan jemuran. Satu lorong terdiri dari enam kamar. Kamar kami terdiri dari tiga kasur plus ranjang, dua lemari, dua meja belajar, dan tiga kursi.
kamarku~~~~~

Keesokan harinya dimulailah orientasi PPG Pasca SM-3T. Semacam ospek tanpa plonco, Orientasi berjalan tiga hari memulai perjalanan satu tahun ini. Orientasi seperti layaknya duduk kuliah, mendengar materi, kemudian makan. Ha-ha, diawali dan diakhiri dengan Kartika Sari dan ditengahi oleh jajanan pasar.


Setelah Orientasi, kami mulai memasuki perkuliahan yang sesungguhnya. Kami harus mulai beradaptasi dengan cuaca Bandung yang tiap sore hujan, air yang sangat dingin dan makanan manis. Kemudian aku berdoa lagi "Ya Allah, semoga dalam setahun ini semuanya berjalan lancar, diberi kecerdasan, memahami materi yang diberikan, lulus dengan baik dan seperti tujuannya menjadi guru profesional" Aamiin. Yap, Selamat datang di Pondok Pesantren Guru! 

Jumat, 04 Maret 2016

Cerita 54 - Perpisahan



Bagiku perpisahan tak akan pernah menyenangkan, Entah itu dengan pacar,keluarga, sahabat, atau bahkan saat ini. Aku tahu tugasku disini hanya satu tahun, dan ketika ada pertemuan pastinya akan ada perpisahan. Perspisahan yang bagi sebagian orang merupakan suatu kesedihan, tapi mungkin bagi sebagian lagi merupakan suatu kebahagiaan. Kalau bagiku saat ini perpisahan camur-campur rasanya antara senang dan sedih. Senang karena masa tugasku telah habis, aku akan bertemu keluargaku di tanah kelahiranku. Tapi perpisahan ini juga membuatku sedih, meninggalkan keluarga baru yang sudah setahun ini menemaniku, teman, sahabat, anak murid, dan kebiasaan-kebiasaan satu tahun ini. Ini yang membuat perpisahan menjadi sulit.

Satu tahun bukan waktu yang sebentar mengukir pengalaman disini. Hal-hal yang dulu kuanggap tabu harus menjadi biasa disini. Hal yang sebelumnya tak pernah kufikir bisa kulakukan, kulakukan disini. Hal-hal yang belum pernah aku lakukan, kulakukan disini. Hal yang tak pernah kutahui, aku tahu disini.Ah begitu banyak hal-hal tersebut yang membuatku sedih meninggalkan tempat ini. Tapi, perpisahan ini memang harus begini adanya. Karena setiap yang bertemu memang harus berpisah.

Minggu-minggu akhir berada disini rasanya memang tak ingin pulang. Banyak kegiatan disini, dari mulai sekolah, desa sampai kecamatan. Teman-teman guru dan anak-anak makin sering berkunjung kerumah. Bahkan di akhir-akhir setiap hari mereka ke rumah hanya untuk sekedar menemani atau bersenda gurau sambil ngecas hape. Lalu mereka membuat kopi dan aku memasak alakadarnya. Kami semua makan sambil tertawa. Sudah malam kuusir mereka karena aku yang mengantuk, tapi mereka pasti bilang “Nanti do ibu, Ibu su mau pulang ju.” Jadilah aku tidak jadi tidur. Menunggui mereka yang belum pulang.

Minggu-minggu terakhir juga aku makin sering mengobrol dengan orang rumah. Mama dan Bapa yang super sibuk. Kadang aku menemani mama yang bertani di belakang Balai Desa. Atau iseng-iseng bertamu kerumah orang. Atau main ke rumah Bai Tapatab gara-gara mau makan ikan lele, dan Bai bilang “cukup empat su”, padahal aku ambilnya lima. Atau juga memasak bareng mama dan anak-anak. Mereka bilang masakan Jawa. Entah aku masak apa pokonya nanti mereka akan komentar “Enak dan Pedis.” Padahal aku yakin makananku kurang ini kurang itu, maklum koki amatiran.


Sampai di acara perpisahan. Banyak yang menitihkan air mata. Aku pun demikian. Aku baru melihat Bapa menangis sampai tersedu-sedu. Teman-teman guru juga demikian. Bahkan anak-anak yang histeris. Lalu aku sadar, tinggal beberapa hari lagi, aku tak akan bertemu mereka dan entah kapan aku bisa menginjakkan kaki kesini lagi.

Sampai saatnya tiba aku pamit kepada masyarakat, aku mendatangi rumah mereka satu per satu dan tangis itu mulai pecah. Tangis yang tulus dari dalam diri mereka. Tangisan yang penuh arti bagiku. Dan juga kata-kata mereka “Pulang bae-bae Ibu, terimakasih.” Seharusnya aku yang berterimakasih, bukan mereka.



Tim sepakbola sekolah tak menghadiri perpisahan
karena harus bertanding di kecamatan
malam harinya mereka datang ke tempat tinggalku dan berkata
'Ibu su mau pulang, mari kotong foto!"

Perjalanan satu tahun ini merupakan perjalanan yang luar biasa bagiku. Trelalu berlebihan jika dikatakan “mengabdi”. Justru aku yang banyak belajar disini, belajar tentang arti hidup sesungguhnya, belajar untuk lebih bersyukur, dan belajar bahwa banyak anak kurang beruntung yang harus kudidik. Terimakasih atas pembelajaran kehidupan yang telah diberikan. Aku tidak akan melupakan pengalaman yang luar biasa ini. Semoga semuanya dapat bermanfaat. Aamiin yra.

Rizky Purnama
SM-3T IV UPI
Kab. KUPANG

Rabu, 02 Maret 2016

Cerita 53 - Chef Dadakan

Aku hidup mandiri di penempatan, maksudnya tidak tinggal bersama penduduk asli. Aku hanya tinggal berdua dengan Nesya, teman sepenempatanku. Kami tidur, makan, memasak, mencuci sendiri.

Masalah perut adalah masalah yang krusial dan amat sangat penting. Kami harus memasak, karena jika kami tak memasak, kami tidak bisa makan. Tak mungkin juga kalau minta makanan terus ke Mama Desa atau Mama Pendeta. Tak mungkin juga kalau harus tiap hari makan mie instan atau telur (anw telur harganya mahal). Karena hal itu, dimulailah kreasi makanan ala ala chef Kiky.

Aku tahu masak. Nesya tahu makan. Nesya bilang dia malas masak karena panas. Jadi dia menyerahkan urusan masak memasak kepadaku. Untungnya Nesya tipe omnivore, pemakan segala. Kadang masakan yang menurutku rasanya gak karuan, Nesya tetap memakannya. Sayang kalau dibuang, begitu katanya.

Kebiasaan dirumah adalah makan makanan lebih dari satu macam. Mamaku selalu memasak makanan lebih dari satu macam. Kebiasaan itu yang aku terapkan di penempatan, Nesya menyetujuinya. Di penempatan aku menjadi kreatif mengolah bahan makanan. Sudah bukan menjadi hal yang aneh manusia yang terdesak oleh keadaan akan lebih kreatif.

Biasanya kami (aku dan Nesya) membeli stok makanan instan di Kupang seperti sarden, kornet, bihun, mie instan, spageti, kuetiauw, saus,cemilan  bahkan mayones. Oke, kami memang termasuk yang lebay dalam membeli stok makanan. Kadang kami membeli tomyam instan, atau bahkan keju dan meisis. Alibi kami adalah agar tidak bosan makan yang itu-itu saja. Sempat ingin seperti Fitrah yang membeli bumbu instan rendang dan opor, kemudian menggunakan terong sebagai pengganti daging, tapi kami urungkan niat tersebut, kami lebih memilih rasa rendang dan soto pada mie instan.

Biasanya makanan instan stok dari Kupang untuk sarapan, sedangkan siang dan malam hari kami berbelanja di pasar, yang ada setiap hari Senin. Sarapan kami seputar nasi goring, spageti, mie instan, dan kwetiau. Sebenarnya di Pasar hanya ada sayur-mayur, jadi kami membeli sayur untuk hari Senin, Selasa dan Rabu. Sedangkan Kamis, Jumat dan Sabtu kami makan kering alias tanpa sayur, dan hari Minggu akan makan sarden. Begitu awal mula di penempatan.

 Lama-kelamaan kami merasa makanan instan tak sehat, akhirnya aku mulai berpikir untuk mengolah makanan dan menghindari sarden (fyi: kami sampai merasa makan sarden seperti makan kaleng). Di Kupang kami membeli sayuran yang tahan lama seperti kentang. Kentang kuolah menjadi perkedel atau campuran sup, atau kubuat kentang mayones. Pernah juga ku olah menjadi bola kentang isi keju dimasak asam manis. Rasanya, ya kalau kata Nesya enak. Kataku, ya begitulah. Pernah kami diberi kol segelondong, besar. Lalu kubuat soto, tanpa ayam tanpa daging. Yaa intinya kol, bihun, dan kuah kuning. Soto kan namanya? Atau pernah di pasar ada ikan kering, katanya namanya ikan krismon. Aku memasaknya dengan saos, rasanya hampir mirip sarden tanpa rasa kaleng. Tapi setelahnya badan Nesya gatal-gatal, jadi besok-besok kami tak membeli ikan kering lagi.
ini soto ala-ala

Hidup di Amfoang berarti hidup menurut musim. Setahun hidup disini kami pernah membali cabe dari mulai satu genggam Rp. 2000,- sampai 8 buah Rp. 8.000,- Kalau sudah harganya mahal begitu, kami siasati dengan cabe bubuk. Pernah makan tumis kangkung pakai cabe bubuk? Atau bumbu pecel pakai cabe bubuk? Kami sering kalau cabe mahal. Rasanya enak, gitu kata Nesya.Di musim panas, kami bisa dapat tomat Rp. 2000,- satu kresek, tapi di musim panas, jangankan tomat, pasar isinya hanya labu, sayur pucuk labu tak ketinggalan sirih dan pinang yang setiap musim tak pernah absen. Fyi, aku pernah masak sayur pucuk labu, kemudian perutku langsung kontraksi, dan diare. Memang, katanya labu dan sayur pucuk labu tak cocok bagi sebagian perut orang.

Pernah saat musim panen jagung, kami diberi jagung oleh mama desa, mama pendeta. Pagi siang sore. Awalnya diolah menjadi perkedel jagung, lalu kadang sup jagung, sampai kadang semua masakan kucampur jagung. Aku juga pernah membuat emping melinjo. Di desa bawah banyak pohon melinjo, aku memakai daunnya untuk membuat sayur asem, dan penasaran mengolah melinjo menjadi emping. Arinda (teman SM-3T dari Siumate yang berkunjung ke tempatku) saat kuberi emping, dia bilang rasanya enak. Iya enak, membuat emping nya sedikit, korbannya cobek kami terbelah menjadi lima. Aku juga sempat iseng membuat kolang kaling, karena di desa atas banyak pohon kolang kaling, tapi buahnya dibiarkan saja membusuk jatuh di tanah. Masyarakat tak memakannya, mereka bilang gatal. Kemudian aku dibantu dengan Mama desa mengolahnya, dan berhasil, lalu kubuat manisan, tidak gatal namun agak keras karena terlalu banyak kapur saat merendamnya.

Walaupun dekat dengan pantai, tapi bukan berarti ada ikan setiap saat.Ikan melimpah ketika musim penghujan. Saat itu harga ikan sedang murah-murahnya. Rp. 20.000 untuk 3 ekor kakap merah, Rp. 5000 untuk cakalang. Tapi kalau tiap hari makan ikan juga ada bosannya. Jadi aku memasaknya berbagai varian. Kadang ku masak balado, kadang ku filet kemudian goreng tepung dan dimasak asam manis, atau kadang dimasak acar ikan, kalau sudah mentok ya di goreng aja udah. Pernah kami membeli udang dan kepiting, kemudian kutanya pada Nesya “mau dimasak apa?”, Nesya langsung menjawab “Terserah Lo.” Kucampur saja dengan saos, jadilah udang dan kepiting saus tomat.

Kami juga hobi ngemil. Pokonya kalau ke Kupang, pasti satu kardus belanjaan penuh dengan cemilan, yang direncanakan untuk tiga bulan tapi kenyataannya hanya dalam waktu seminggu sudah lenyap. Jadi mau tak mau aku membuat cemilan sendiri. Kami membeli berbagai tepung di Kupang, tepung terigu, tepung ketan, tepung beras, tepung kanji. Mulailah membuat klepon, pempek, cireng yang seperti karet, donat yang bantat, rempeyek, onde-onde, ah kadang kalo iseng campur-campur semuanya hehe, mayan buat di kunyah.

Aku sering mengirim masakan ke Mama Desa, Mama Pendeta, atau teman-teman guru. Kalau aku kirim, mereka langsung bilang "wah masakan Jawa"(?). Nanti kutanya rasanya bagaimana, mereka pasti menjawab "enak'. Entah itu karena hanya menyenangkan hatiku, atau memang beneran enak.


Kami memang hidup dengan keterbatasan dan makan alakadarnya, tapi satu tahun di penempatan berat badan kami naik, apalagi Nesya. Bulan pertama hidup dipenempatan, hidupku tak jauh dari diare, hingga beratku turun hampir 6 kilo, tapi setelah adaptasi malah berat badanku melonjak lagi, hingga nmelebihi berat badan yang awal. Kufikir memang benar, Alah bisa bukan karena biasa namun karena terpaksa. Seperti aku yang tiba-tiba bisa menjadi chef disaat terdesak.

Selasa, 23 Februari 2016

Cerita 52 - Flores: Pulau Sejuta Alam dan Sejuta Orang Baik

 “Paskah nanti, ada pawai Semana Santa yang hanya ada di Brazil dan Larantuka.” Itu kata Nesya, teman sepenempatanku. Semana santa adalah prosesi pawai paskah umat katolik, bisa disebut juga sebagai ziarah. Semana santa berlangsung selama seminggu yang puncaknya diadakan pada Jumat Agung. Aku tertarik. Kapan lagi melihat pawai setahun sekali yang langka. sekalian juga aku menginjakkan kaki Ke Pulau Flores. Pulau yang menyajikan sejuta keindahan alam. Aku juga ingin sekalian liburan. Sebagai guru SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Terlinggal) Kab. Kupang yang hidup dalam keterbatasan, liburan merupakan salah satu cara untuk melepas kepenatan.

Libur paskah pun tiba. Tidak seperti di Jawa, di Kupang libur paskah sampai 2 minggu lamanya. Sesampainya di Kota kami mencari info bagaimana cara pergi ke Flores dengan biaya seminim mungkin, maklum kami hanya modal nekat karena gaji yang belum turun.

Kemudian kami mendapat info bahwa ada kapal gratis dari Gubernur untuk mengakomodasi masyarakat Kupang yang ingin mengikuti acara Semana Santa. Kapal ini memang diprioritaskan bagi masyarakat katolik, tapi agama lain pun masih bisa ikut mendaftar. Sesampainya di kota Kupang, aku bersama dengan tujuh orang temanku termasuk Nesya ikut mendaftar.

Siang hari, 1 April 2015 kami sudah di Pelabuhan Bolok. Masuk di kapal Gubernur, rasanya canggung mengingat kebanyakan yang ada di dalam adalah umat katolik, sedangkan kebanyakan dari kami memakai kerudung. Kapal terdiri dari tiga dek, dan kami mendapat dek yang paling dasar, dek yang biasanya diperuntukkan bagi kendaraan. Manusia tumpah ruah di kapal, menyatu dengan barang bawaan yang teramat banyak, bahkan ada juga yang membawa hewan ternak.

Sore hari kapal mulai berjalan. Kami pun bingung. Nanti disana tinggal dimana. Kami benar-benar nekat. Kami semua belum pernah ke Flores.  Ini merupakan kali pertama bagi kami. Bagaimana nanti jika sampai disana kemudian kami menggelandang. Saat wisata begini pasti semua penginapan penuh, dan hotel-hotel high season, sedangkan kami belum gajian. “Tenang namanya juga NTT, Nanti Tuhan Tolong.” Itu kata Nesya. Kami pun biasa saja seperti tak panik nanti disana bakal ngegembel. Tetap main kartu dan tidur dengan tenang.

Sampai…
Ketika subuh Aku dan temanku pergi ke musholla untuk menunaikan sholat subuh. Walaupun kapal mengangkut umat khatolik, tapi tetap disediakan musholla. Kami sholat berjamaah dengan tiga orang Bapak paruh baya. Ternyata bukan hanya kami yang muslim. Selepas sholat, salah satu diantara mereka kemudian bertanya “Baru pertama kali ke Larantuka? Nanti disana tinggal dimana?”. Aku yang kala itu memang tak tahu akan tinggal dimana langsung berkata “Belum tahu, Pak.” Kemudian Bapak seperti bernegosiasi dengan kedua temannya memakai bahasa daerah, kemudian bilang “Nanti saya hubungi saudara saya, mudah-mudahan kalian bisa tinggal disana.” Antara speechless, seperti mimpi dan sebagainya. Sang Bapak yang kemudian kami kenal bernama Abah Kaf menelepon. Setelah menutup teleponnya beliau lalu berkata “Bisa, kalian nanti tinggal disana saja.” Alhamdulillah. Rasanya senang sekali bisa dapat tempat tinggal. Lalu aku bertanya lagi “Larantuka masih jauh ya, Pak?” Kemudian Abah Kaf berkata sambil menunjuk ke jendela ‘Ini kita sudah hampir sampai Pelabuhan Larantuka.” Setelah berterimakasih dan janjian untuk bertemu di depan, kami langsung menuju ke tempat teman-temanku berada. Kami langsung membangunkan yang lain, memberitahu kabar ini dan semua serempak bilang “Alhamdulillah, gak jadi ngegembel di Flores.”

Sesampainya di Pelabuhan Larantuka, rasanya masih tak percaya bisa sampai di Flores. Abah Kaf sudah menunggu di depan, dan kami siap dibawa ke tempat menginap. Di perjalanan kami baru tahu bahwa Abah Kaf berasal dari Adonara, pulau seberang dari Flores. Dan kami akan tinggal di rumah keluarga Abah. Sesampainya di rumah kami disambut oleh tuan rumah yaitu Umi Nur dan Pa Badar. Mereka baik sekali pada kami. Padahal kami orang yang baru mereka kenal. Bahkan untuk makan, kami berinisiatif untuk berbelanja, mereka malah tak enak. Harusnya kan kami yang tak enak. Mereka bilang, dulu mereka pernah merantau dan sekarang anaknya sedang merantau jadi ke perantau harus saling membantu. Kami tinggal di rumah Pak Badar selama di Larantuka, bahkan dicarikan oto (mobil) untuk jalan-jalan.

Selain mengikuti pawai Semana Santa, kami berencana untuk pergi ke Ende, melihat Danau Kelimutu dan berkeliling kota Ende. Pak Badar juga memesankan bis untuk perjalanan kami ke Ende, berangkat esok lusa.

Siang hari, setelah selesai membersihkan badan dan istirahat sejenak, kami langsung berkeliling kota Larantuka. Dengan menggunakan oto yang dipesan oleh Pak Badar kami mulai berkeliling kota. Kota Larantuka tidak terlalu besar. Jalanan tidak terlalu ramai, apalagi besok adalah acara Semana Santa, yang berpusat di Gereja Katedral. Jalanan sudah mulai ditutup. Kami memasuki jalanan utama kota, disana banyak patung yang berdiri megah. Ada patung Mater Dolorosa dan Reinha Rosari. Terdapat juga Gereja Katedral yang berdiri megah.

Semana Santa berlangsung satu pekan dan hari ini hari Kamis, dimana Patung Tuan Ma atau Bunda Maria  dan Tuan Ana atau Yesus Kristus mulai dibersihkan dan dipersipkan di Kapela, sebuah rumah ibadat. Kami melihat keramaiannya dari luar Kapela. Sudah mulai banyak turis yang berdatangan.
Puas melihat-lihat, kami kemudian pulang kerumah Pak Badar. Kami disambut dengan jagung titi, makanan khas Larantuka. Jagung Titi adalah jagung yang dipipihkan (dititi), bentuknya mirip dengan emping, dan rasanya mirip dengan popcorn. Biasanya orang Larantuka memakan jagung titi sebagai pengganti nasi.

Keesokan harinya, kami pergi ke Pantai Poso untuk melihat prosesi. Prosesi dibagi menjadi dua, prosesi laut pada pagi hari, dan prosesi darat pada malam hari. Hari ini adalah hai Jumat, yang berarti Jumat Agung puncak perayaan. Pagi hari kami sudah berangkat ke Pantai Poso. Titik awal prosesi berlangsung. Di Pantai Poso dibuka pendaftaran untuk mengikuti prosesi laut. Banyak kapal yang disiapkan untuk mengangkut turis mengikuti prosesi laut, tetapi kami memilih mengikuti prosesi dari darat, melalui jalanan di pinggir pantai. Pak Badar tak mengizinkan kami mengikuti prosesi laut, karena tahun lalu terjadi tragedi yang membuat kapal tenggelam dan memakan banyak korban.

Prosesi Semana Santa
Kami melihat prosesi dari pinggiran pantai. Patung suci dibawa dari laut, diiringi kapal-kapal lain dibelakangnya untuk di bawa ke pelabuhan kemudian ke katedral. Jalanan penuh oleh masyarakat yang ikut mengantar patung Tuan Ma dan Tuan Ana menuju Katedral. Kemudian dilakukan misa Jumat Agung.

Malam harinya, prosesi arak-arakan Tuan Ma dan Tuan Ana dimulai. Jalanan Kota Larantuka dipadati oleh manusia yang ingin mengikuti arak-arakan. Dengan lilin di tangan para peziarah dan pemuka agama berjalan sambil mengalunkan doa pujian. Dalam arak-arakan, setiap rombongan berhenti di setiap armada atau perhentian. Arak-arakan terasa hikmad dan sakral. Acara selesai pada jam 2 dini hari.

Pulang kerumah Pak Badar kami langsung mempersiapkan untuk esok keberangkatan ke Ende. Pagi-pagi sekali kami pergi ke Ende. Pak Badar berpesan untuk kembali ke Larantuka setelah dari Ende. Dalam perjalanan menuju Ende, kami bingung mau tinggal dimana, Abah Kaf membantu lagi. Kami dikenalkan dengan Bapak Natsir, kami tinggal disana selama di Ende. Beliau juga berbaik hati meminjamkan mobilnya untuk kami pakai selama di Ende.

Jarak dari Larantuka ke Ende sekitar 250 km. Kami berangkat dari jam 06.00 dan sampai sekitar jam 15.00. Di tengah perjalanan, di daerah Wolowaru yang terkenal akan buah durian, kami mampir sebentar untuk mencicipi durian. Sampai di Terminal Ende kami lalu naik angkot untuk sampai ke rumah Pak Natsir. Kami disambut hangat oleh keluarga mereka.

Kami dipinjamkan mobil plus supir untuk berkeliling kota Ende. Ende adalah kota yang sangat menarik. Di kota kita bisa melihat bukit-bukit. Di sepanjang perjalanan mata kita disajikan oleh pemandangan laut yang beriringan dengan bukit. Udara yang sejuk dan pemandangan yang memanjakan mata merupakan suatu perpaduan yang pas.

Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende
Kota Ende adalah kota dimana Presiden pertama RI diasingkan. Banyak yang blang bahwa Ende adalah Kota Soekarno. Sehingga tujuan utama kita dalah Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende. Sayangnya, kami tidak dapat masuk kedalamnya karena kami kesana pada hari Minggu dan kebetulan penjaga kuncinya tidak di tempat. Kami hanya bisa melihat dari luar. Rumah pengasingan Bung Karno seperti rumah biasa, namun barang-barang di dalamnya masih asli, sama seperti saat Bung Karno berada disana. Sedikit kecewa karena tak bisa masuk, kami pun melanjutkan perjalanan.

Patung Bung Karno, sedang duduk merenung
Tempat selanjutnya adalah Lapangan Pancasila. Lapangan ini merupakan 0 km Kota Ende.  Lapangan Pancasila merupakan tempat Bung Karno setiap sore menghabiskan waktu untuk duduk merenung dan membaca buku Disebelah Lapangan Pancasila terdapat Taman Perenungan Bung Karno. Di taman ini terdapat Patung Bung Karno berukuran besar sedang duduk merenung, patung ini baru diresmikan pada tahun 2013, menggantikan model patung lama yang posisinya berdiri dan mengenakan pakaian TNI. Di taman ini juga terdapat pohon sukun yang bercabang lima. Katanya pancasila diilhami dari pohon tersebut. Kami iseng untuk mengitung cabang pohon itu, ternyata memang benar, setiap rantingnya memiliki cabang lima. Di Lapangan yang cukup besar itu juga terdapat Tugu “Mengenang Bencana Alam  Nasional Gempa Bumi Tektonik di Pulau Flores Pada Tanggal 12 Desember 1992”. Gempa bumi saat itu di Flores menjadi bencana nasional karena getaran yang sangat kuat yaitu 6,3 SR dan memakan korban yang sangat banyak.

Melanjutkan perjalanan, kami pergi ke pasar untuk mencari tenun khas Ende. Daerah-daerah di NTT terkenal dengan kerajinan tenunnya. Motifnya selalu berbeda antara daerah satu dan daerah yang lain. Pergi ke tempat pengrajin tenun akan membuat takjub. Melihat kain-kain indah yang dihasilkan dari tangan para mama. Harga kain tenun berbeda, tergantung benang untuk membuat, kerumitan motif, dan lebar kain. Setelah puas berbelanja, kami melanjuttkan perjalanan.

Rencananya kami mau ke Museum Tenun Ikat, tetapi sayang lagi-lagi karena kami berkeliling hari Minggu, museum tutup, dan kami hanya bisa melihat dari luar.  Karena hari sudah sore, kami memutuskan untuk berkeliling kota Ende saja. Sama seperti Larantuka, Ende merupakan kota kecil di Pulau Flores. Berkeliling saja membuat kami takjub karena pemandangan yang sangat aduhai di sekeliling jalan. Bukit dan laut yang berdampingan. Kombinasi warna hijau dan biru yang sangat indah dan jalan yang berliku khas pegunungan. Setelah puas berkeliling kami pun pulang kerumah.

Di rumah kami sudah disambut dengan ubi nuabosi dan pisang baranang. Dua makanan itu adalah makanan khas kota Ende. Dimakan bersama sambal tomat membuat rasanya makin enak. Malam hari kami bersiap-siap, karena esok hari kami akan melanjutkan perjalanan ke Danau Kelimutu dan pulang kembali ke Larantuka.

Melalui kenalan Pak Natsir, kami menyewa mobil. Dengan rute Ende-Larantuka. Tujuan utama kita adalah Danau Kelimutu. Setelah berdiskusi dengan driver akhirnya kami memutuskan untuk ke Danau Kelimutu dan Air terjun yang ada di Moni, lalu ke Pantai Koka dan Patung Paga yang ada di Kab. Sikka, Maumere.

Kami dijemput jam 3 pagi, karena untuk pergi ke Danau Kelimutu sebaiknya saat pagi hari, karena jika siang hari nanti akan ada kabut yang menutupi danau. Perjalanan dari Ende ke Moni sekitar 2 jam. Jam 5 lebih kami sampai ke Kawasan Danau Kelimutu. Setelah bersiap dan tak lupa membawa jaket kami mulai berjalan mendaki. Kami berjalan ditemani denga gerimis yang kadang menjadi gerimis besar sehingga kami harus berteduh di pendopo-pendopo yang ada disana.

Untuk sampai ke Danau Kelimutu, kami harus berjalan kaki cukup jauh, layaknya mendaki gunung. Dengan cuaca yang cukup dingin, memaksa kami untuk terus bergerak agar tak kedinginan. Setelah berjalan cukup jauh, kami naik ke pendakian pertama. Disana kami bisa melihat satu danau berwarna coklat cola. Kemudian kami turun kembali dan menuju ke pendakian paling atas dimana lewat pendakian itu kami bisa melihat tiga Danau Kelimutu. Danau kelimutu warnanya berubah-ubah, dan kami mendapat kesempatan melihat perubahan warnanya.
Danau Kelimutu, Lihat Perubahan Warnanya!

Rasanya hampir tak percaya, kami melihat langsung danau tiga warna yang biasanya hanya kami lihat di uang pecahan lima ribuan jaman dulu. Melihat danau yang sangat besar dengan warna yang berbeda tak henti-hentinya kami merasa kagum. “Indonesia memang keren”. Kami beruntung bisa melihat ketiga danau tanpa tertutup kabut. Tetapi, katanya ketika ada kabut, kami cukup bersiul, memanggil angin. Nanti kabutnya akan terbawa angin.

Menurut kami, Danau Kelimutu adalah wisata yang patut diacungi jempol. Hanya membayar Rp. 5.000,- kami bisa melihat keindahan tiga danau berwarna. Perjalanan pendakian pun bebas dari sampah, dan benar-benar dijaga keasriannya. Di sepanjang jalan pendakian banyak dijumpai pendopo untuk beristirahat dan toilet-toilet gratis yang bersih. Terdapat pedagang yang terkoordinir, sehingga tak mengganggu para wisatawan, justru sangat membantu. Menghilangkan dinginnya perjalanan Kelimutu dengan minum segelas kopi yang dijual pedagang, cukup untuk menghangatkan badan.

Setelah puas menikmati keindahan Danau Kelimutu, kami melanjutkan perjalanan. Rencana awal, kami ingin pergi ke air terjun Kedebodu, namun driver menganjurkan untuk tidak pergi kesana karena tempatnya sangat jauh, dan nanti kita tidak akan sampai ke Larantuka tepat waktu. Kami memang menyewa mobil hanya untuk perjalanan satu hari. Namun, driver memberikan alternative untuk pergi ke air terjun yang ada di daerah Moni, sejalan dengan perjalanan kami ke Larantuka. Tidak jauh dari Kawasan Taman Nasional Danau Kelimutu. Kami kaget ketika driver bilang “sudah sampai”. Mana air terjunnya? Mobil berhenti di pinggir jalan. Kami memang mendengar suara air, tapi rasanya aneh ada air terjun di pinggir jalan.

Driver kemudian menunjuk ke bawah. Untuk sampai ke air terjun, kami harus menuruni tangga yang ada di samping jalan. Hanya sedikit anak tangga dan kita bisa melihat air terjun setinggi 6 meter. Kami langsung mengabadikan momen ini dengan bidikan kamera. Rasanya kami ingin main-main di bawah air terjun yang sejuk, namun karena mengingat perjalanan yang masih jauh kami urungkan niat tersebut.

Pantai Koka
Photo di ambil sebagian karena pantai yang sangat ramai
Melanjutkan perjalanan, tujuan kami adalah Pantai Koka di Kab. Sikka, Maumere. Perjalanan cukup jauh, kami yang lelah juga menghabiskan waktu perjalanan dengan tidur. Mungkin sepanjang perjalanan hanya driver yang tetap terjaga. Kemudian sampai di Pantai Koka. Seperti pantai-pantai di NTT, Pantai Koka memiliki pasir putih dan laut berwarna biru. Yang membedakan adalah di sekeliling pantai dapat dijumpai bukit. Menikmati deburan ombak pantai sambil makan kelapa muda sangat menyenangkan. Pantai Koka ramai pengunjung. Pantai Koka adalah wisata murah meriah alias gratis. Kami hanya membayar biaya parkir.

Sebenarnya ada tempat di Maumere yang ingin kami datangi, yaitu patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus yang ada di Bukit Nilo. Namun, driver mengatakan bahwa Bukit Nilo sangat jauh, dan lagi-lagi tak sejalan dengan perjalanan ke Larantuka. Akhirnya driver memberikan alternatif perjalanan lain. yaitu Patung Tuhan Yesus di Paga. Tak jauh dari pantai Koka, driver berhenti di pinggir jalan. Driver memang hobi membuat kami terkejut. Di pinggiran jalan itu tak ada apa-apa, hanya jalan dan bukit di kanan dan kirinya. Lalu beliau menunjuk ke bukit di seberang, dan berdirilah Patung Tuhan Yesus di atas bukit tersebut.

Patung tuhan Yesus Memberkati di Paga
Untuk sampai ke atas kami harus mendaki dengan kemiringan sekitar 70o. Agak susah untuk menaiki bukit, ditambah pakaian dan alas kaki yang tak kompatibel untuk mendaki. Untuk sampai ke atas memang benar-benar harus mendaki, tidak terdapat tangga, hanya setapak jalan dengan pijakan kaki yang tak terlalu besar. Cukup lama kami mendaki. Perjuangan kami mendaki terbayar oleh pemandangan dari atas. Selain terdapat Patung Tuhan Yesus berukuran besar, dari atas sini kami bisa melihat Maumere dan Pantai Koka yang membentang luas. Sayangnya, karena bukit berada di dekat pantai dan kami yang pergi kesana siang menjelang sore hari, cuacanya sangat panas. Kami hanya sebentar berada di atas bukit. Perjalanan turun lebih menguras tenaga. Bahkan, sepatu karetku sampai putus dalam perja

lanan menurun. Rasanya paha sakit semua karena harus menahan tubuh agar tidak jatuh. Sesampainya di bawah rasanya lega sekali.

Hari sudah sore dan kami pulang menuju Larantuka. Kami sampai di Larantuka sekitar jam 7 malam. Selain karena pesan Pak Badar untuk kembali kerumahnya sebelum ke Kupang, kami memang berencana pulang dari Larantuka, karena kami naik kapal Ferry Larantuka-Kupang. Kami berencana pulng ke Kupang lusa.

Dari buku panduan wisata yang kami baca, ada satu tempat yang belum kita kunjungi di Larantuka, yaitu Tanjung Bunga. Kami bertanya pada Pak Badar, beliau tak mengetahui tempat itu. Keeseokan harinya, dengan menyewa oto yang biasa, kami menuju tanjung bunga. Supir oto bilang dia mengetahui tempat itu. Dengan bantuan google map, pengetahuan supir oto dan bertanya ke masyarakat sekitar mencoba pergi ke Tanjung Bunga. Sudah dua jam berjalan, kami tak kunjung sampai. Karena lelah sisa kemarin dan putus asa, karena makin jauh penduduk yang kami Tanya bilang tidak tahu akhirnya kami putar arah kembali ke rumah untuk beristirahat.

Keluarga Pak Badar baik sekali pada kami. Keesokan harinya ketika kami ingin pulang, masing-masing kami diberi oleh-oleh berupa jagung titi dan kue rambut khas larantuka. Pak Badar dan Umi Nur juga mengantar kami sampai ke atas dek Kapal.

Kami sampai menggenalisir bahwa orang Flores baik dan ramah. Selain Pak Badar dan Pak Natsir yang menampung kami, ada juga Pak Umar tempat kami singgah ketika mengikuti Prosesi Semana Santa. Kami bertemu Pak Umar ketika sholat di masjid. Melihat muka pendatang kami Pak Umar mengajak kami untuk singgah beristirahat di rumahnya. Kami disuguhi minuman dingin dan cerita anak Pak Umar yang merantau di Jawa.

Keluarga Pak Badar

Pak Umar dan Bapak-bapak di Masjid
Selama perjalanan juga kami dibantu oleh masyarakat sekitar. Kami buta Flores, dan masyarakat membantu kami untuk dapat mellihat Flores dengan baik. Bertanya jalan tanpa disasarkan. Bahkan kami sering menumpang ke kamar kecil di rumah masyarakat yang menerima dengan baik kami.

Perjalanan pulang kali ini membuat kami belajar bahwa tak perlu takut dengan pendatang, tak perlu mencurigai pendatang. Berbuat baiklah kepada semua orang, kenal ataupun tak kenal. Karena perbuatan baik akan diiringi dengan langkah-langkah baik berikutnya. Seperti kami, pendatang yang diterima baik oleh keluarga Pak Badar.

Terima kasih kepada keluarga Pak Badar, Pak Natsir, Pak Umar, driver dan masyarakat. Karena mereka, pengalaman menginjakkan kaki pertama kali di tanah Flores ini sangat menyenangkan.


PS: Tulisan ini diikutsertakan dalam writing contest yang diadakan oleh NatGeo Indonesia. Awalnya tidak berharap apapun, karena tulisan saya yang alakadarnya dan melihat galeri ada 2755 cerita yang masuk, dengan cerita yang lebih menarik, dan pastinya lebih tertata dibanding tulisan travelling ala saya. Sampai tanggal 12 Februari 2016 tim NatGeo menelpon saya dan bilang tulisan saya masuk 40 besar. Antara kaget, senang dan rasa tak percaya. Saya pun di wawancara by phone, untuk menyaring 10 kontestan yang akan mendapat hadiah utama, Menjelajah Australia Barat ala NatGeo. Saya pun berharap lolos, namun kenyataan berkata lain. Kemarin, Senin 22 Februari 2016, diumumkan 10 pemenang, dan nama saya tidak ada diantara 10 pemenang tersebut. Kecewa, pasti. Sedih, tentu. Karena saya sudah berharap. Di otak saya selama seminggu ini adalah Australia. Tapi, ya sudahlah. Seperti kata Mama “Namanya juga kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah, tapi yang penting sudah berusaha, dan semoga Allah akan memberi penggantinya.” Saya kemudian mengaamiininya.

Selasa, 16 Februari 2016

Cerita 51 - Piknik

Bagi kami guru pedalaman yang baru hijrah dari kota ke desa, pasti ada kalanya dimana perasaan jenuh dan bosan muncul. Bosan dengan kesepian, rindu dengan hingar bingar keramaian. Terkadang rasis, rindu teman-teman satu suku yang sama-sama dari Jawa.

Aku memberitahu akan hal ini, kala itu aku dan Nesya dalam keadaan sebosan-bosannya. Lalu tercetuslah ide untuk piknik, bersama teman-teman se-kecamatan. Kami pun mengirim surat pada Ayu dan Irvan yang ada di Saukibe, Dani dan Fitrah yang ada di Leonai. Kalau mengirim usrat ke Ayu dan Irvan kami bisa kapan saja, banyak anak murid yang berasal dari Saukibe, kami tinggal titip saja. Masalahnya adalah kirim surat ke Leonai tempat Dani dan Fitrah. Leonai adalah tempat terjauh di Kec. Ambal. Banyak juga anak murid yang berasal dari sana, tetapi mereka kebanyakan tinggal di desa dekat sekolah, mereka akan kembali ke Leonai jika weekend. Mau tidak mau kami menitipkan surat pada salah satu murid hari Sabtu, dan berpesan untuk membalas sesegera mungkin yaitu hari Senin. Surat balasan diterima. Teman-teman lain setuju untuk mengadakan piknik ke pantai desa Soliu, Minggu depan hari Minggu selepas gereja.

Hari Minggu pun tiba, Nesya pergi ke gereja dan aku siap-siap. Masak nasi, masak air, dan membuat jeli. Kami sudah membeli ayam, tapi ragu untuk mengolahnya, karena sudah hampir siang teman-teman yang lain tak kunjung datang. Jangan-jangan tidak jadi, pikirku. Sayang-sayang, sudah masak nasi banyak.

Tunggu-tunggu, ternyata jam 1 siang mereka baru tiba. Mereka kaget, karena ternyata aku dan Nesya (sebagai tuan rumah) belum mengolah ayam bahkan aku belum mandi. Mereka (yang lelah karena telah berjalan kaki berkilo-kilo) ngambek dan mau tak mau turun tangan membantu aku dan Nesya mengolah ayam dan makan lainnya. Aku membungkus nasi dengan daun, seperti nasi timbel. Ayam ungkep (mau dibakar di pantai), kentang goreng, dan jelly sebagai penutup.

Setelah makanan siap kami bergegas ke pantai, karena waktu menunjukan sudah hampir sore, bisa-bisa nanti pikniknya hanya sebentar.  Perjalanan dari tempatku ke pantai kurang lebih memakan waktu 15-30 menit, ditambah omelan teman-teman karena pikniknya melelahkan.

Sampai pantai, kami langsung mulai membakar ayam smabil bercerita, Nesya dan Dani langsung pergi ke pantai untuk berenang. Inilah esensi piknik, bukan tempatnya, bukan makanannya. Tapi cerita kebersamaannya. Rasanya menyenangkan pergi bersama rekan-rekan senasib, menceritakan kehidupan di penemoatan, saling member nasihat, saling menguatkan dan bahkan saling mentertawakan.

Matahari mulai turun, dan waktunya kita kembali ke tempat tinggal.


Setelah piknik hari ini kami memutuskan untuk menjadwalkan piknik tiap bulan. Karena piknik itu asik!