Selasa, 23 Februari 2016

Cerita 52 - Flores: Pulau Sejuta Alam dan Sejuta Orang Baik

 “Paskah nanti, ada pawai Semana Santa yang hanya ada di Brazil dan Larantuka.” Itu kata Nesya, teman sepenempatanku. Semana santa adalah prosesi pawai paskah umat katolik, bisa disebut juga sebagai ziarah. Semana santa berlangsung selama seminggu yang puncaknya diadakan pada Jumat Agung. Aku tertarik. Kapan lagi melihat pawai setahun sekali yang langka. sekalian juga aku menginjakkan kaki Ke Pulau Flores. Pulau yang menyajikan sejuta keindahan alam. Aku juga ingin sekalian liburan. Sebagai guru SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Terlinggal) Kab. Kupang yang hidup dalam keterbatasan, liburan merupakan salah satu cara untuk melepas kepenatan.

Libur paskah pun tiba. Tidak seperti di Jawa, di Kupang libur paskah sampai 2 minggu lamanya. Sesampainya di Kota kami mencari info bagaimana cara pergi ke Flores dengan biaya seminim mungkin, maklum kami hanya modal nekat karena gaji yang belum turun.

Kemudian kami mendapat info bahwa ada kapal gratis dari Gubernur untuk mengakomodasi masyarakat Kupang yang ingin mengikuti acara Semana Santa. Kapal ini memang diprioritaskan bagi masyarakat katolik, tapi agama lain pun masih bisa ikut mendaftar. Sesampainya di kota Kupang, aku bersama dengan tujuh orang temanku termasuk Nesya ikut mendaftar.

Siang hari, 1 April 2015 kami sudah di Pelabuhan Bolok. Masuk di kapal Gubernur, rasanya canggung mengingat kebanyakan yang ada di dalam adalah umat katolik, sedangkan kebanyakan dari kami memakai kerudung. Kapal terdiri dari tiga dek, dan kami mendapat dek yang paling dasar, dek yang biasanya diperuntukkan bagi kendaraan. Manusia tumpah ruah di kapal, menyatu dengan barang bawaan yang teramat banyak, bahkan ada juga yang membawa hewan ternak.

Sore hari kapal mulai berjalan. Kami pun bingung. Nanti disana tinggal dimana. Kami benar-benar nekat. Kami semua belum pernah ke Flores.  Ini merupakan kali pertama bagi kami. Bagaimana nanti jika sampai disana kemudian kami menggelandang. Saat wisata begini pasti semua penginapan penuh, dan hotel-hotel high season, sedangkan kami belum gajian. “Tenang namanya juga NTT, Nanti Tuhan Tolong.” Itu kata Nesya. Kami pun biasa saja seperti tak panik nanti disana bakal ngegembel. Tetap main kartu dan tidur dengan tenang.

Sampai…
Ketika subuh Aku dan temanku pergi ke musholla untuk menunaikan sholat subuh. Walaupun kapal mengangkut umat khatolik, tapi tetap disediakan musholla. Kami sholat berjamaah dengan tiga orang Bapak paruh baya. Ternyata bukan hanya kami yang muslim. Selepas sholat, salah satu diantara mereka kemudian bertanya “Baru pertama kali ke Larantuka? Nanti disana tinggal dimana?”. Aku yang kala itu memang tak tahu akan tinggal dimana langsung berkata “Belum tahu, Pak.” Kemudian Bapak seperti bernegosiasi dengan kedua temannya memakai bahasa daerah, kemudian bilang “Nanti saya hubungi saudara saya, mudah-mudahan kalian bisa tinggal disana.” Antara speechless, seperti mimpi dan sebagainya. Sang Bapak yang kemudian kami kenal bernama Abah Kaf menelepon. Setelah menutup teleponnya beliau lalu berkata “Bisa, kalian nanti tinggal disana saja.” Alhamdulillah. Rasanya senang sekali bisa dapat tempat tinggal. Lalu aku bertanya lagi “Larantuka masih jauh ya, Pak?” Kemudian Abah Kaf berkata sambil menunjuk ke jendela ‘Ini kita sudah hampir sampai Pelabuhan Larantuka.” Setelah berterimakasih dan janjian untuk bertemu di depan, kami langsung menuju ke tempat teman-temanku berada. Kami langsung membangunkan yang lain, memberitahu kabar ini dan semua serempak bilang “Alhamdulillah, gak jadi ngegembel di Flores.”

Sesampainya di Pelabuhan Larantuka, rasanya masih tak percaya bisa sampai di Flores. Abah Kaf sudah menunggu di depan, dan kami siap dibawa ke tempat menginap. Di perjalanan kami baru tahu bahwa Abah Kaf berasal dari Adonara, pulau seberang dari Flores. Dan kami akan tinggal di rumah keluarga Abah. Sesampainya di rumah kami disambut oleh tuan rumah yaitu Umi Nur dan Pa Badar. Mereka baik sekali pada kami. Padahal kami orang yang baru mereka kenal. Bahkan untuk makan, kami berinisiatif untuk berbelanja, mereka malah tak enak. Harusnya kan kami yang tak enak. Mereka bilang, dulu mereka pernah merantau dan sekarang anaknya sedang merantau jadi ke perantau harus saling membantu. Kami tinggal di rumah Pak Badar selama di Larantuka, bahkan dicarikan oto (mobil) untuk jalan-jalan.

Selain mengikuti pawai Semana Santa, kami berencana untuk pergi ke Ende, melihat Danau Kelimutu dan berkeliling kota Ende. Pak Badar juga memesankan bis untuk perjalanan kami ke Ende, berangkat esok lusa.

Siang hari, setelah selesai membersihkan badan dan istirahat sejenak, kami langsung berkeliling kota Larantuka. Dengan menggunakan oto yang dipesan oleh Pak Badar kami mulai berkeliling kota. Kota Larantuka tidak terlalu besar. Jalanan tidak terlalu ramai, apalagi besok adalah acara Semana Santa, yang berpusat di Gereja Katedral. Jalanan sudah mulai ditutup. Kami memasuki jalanan utama kota, disana banyak patung yang berdiri megah. Ada patung Mater Dolorosa dan Reinha Rosari. Terdapat juga Gereja Katedral yang berdiri megah.

Semana Santa berlangsung satu pekan dan hari ini hari Kamis, dimana Patung Tuan Ma atau Bunda Maria  dan Tuan Ana atau Yesus Kristus mulai dibersihkan dan dipersipkan di Kapela, sebuah rumah ibadat. Kami melihat keramaiannya dari luar Kapela. Sudah mulai banyak turis yang berdatangan.
Puas melihat-lihat, kami kemudian pulang kerumah Pak Badar. Kami disambut dengan jagung titi, makanan khas Larantuka. Jagung Titi adalah jagung yang dipipihkan (dititi), bentuknya mirip dengan emping, dan rasanya mirip dengan popcorn. Biasanya orang Larantuka memakan jagung titi sebagai pengganti nasi.

Keesokan harinya, kami pergi ke Pantai Poso untuk melihat prosesi. Prosesi dibagi menjadi dua, prosesi laut pada pagi hari, dan prosesi darat pada malam hari. Hari ini adalah hai Jumat, yang berarti Jumat Agung puncak perayaan. Pagi hari kami sudah berangkat ke Pantai Poso. Titik awal prosesi berlangsung. Di Pantai Poso dibuka pendaftaran untuk mengikuti prosesi laut. Banyak kapal yang disiapkan untuk mengangkut turis mengikuti prosesi laut, tetapi kami memilih mengikuti prosesi dari darat, melalui jalanan di pinggir pantai. Pak Badar tak mengizinkan kami mengikuti prosesi laut, karena tahun lalu terjadi tragedi yang membuat kapal tenggelam dan memakan banyak korban.

Prosesi Semana Santa
Kami melihat prosesi dari pinggiran pantai. Patung suci dibawa dari laut, diiringi kapal-kapal lain dibelakangnya untuk di bawa ke pelabuhan kemudian ke katedral. Jalanan penuh oleh masyarakat yang ikut mengantar patung Tuan Ma dan Tuan Ana menuju Katedral. Kemudian dilakukan misa Jumat Agung.

Malam harinya, prosesi arak-arakan Tuan Ma dan Tuan Ana dimulai. Jalanan Kota Larantuka dipadati oleh manusia yang ingin mengikuti arak-arakan. Dengan lilin di tangan para peziarah dan pemuka agama berjalan sambil mengalunkan doa pujian. Dalam arak-arakan, setiap rombongan berhenti di setiap armada atau perhentian. Arak-arakan terasa hikmad dan sakral. Acara selesai pada jam 2 dini hari.

Pulang kerumah Pak Badar kami langsung mempersiapkan untuk esok keberangkatan ke Ende. Pagi-pagi sekali kami pergi ke Ende. Pak Badar berpesan untuk kembali ke Larantuka setelah dari Ende. Dalam perjalanan menuju Ende, kami bingung mau tinggal dimana, Abah Kaf membantu lagi. Kami dikenalkan dengan Bapak Natsir, kami tinggal disana selama di Ende. Beliau juga berbaik hati meminjamkan mobilnya untuk kami pakai selama di Ende.

Jarak dari Larantuka ke Ende sekitar 250 km. Kami berangkat dari jam 06.00 dan sampai sekitar jam 15.00. Di tengah perjalanan, di daerah Wolowaru yang terkenal akan buah durian, kami mampir sebentar untuk mencicipi durian. Sampai di Terminal Ende kami lalu naik angkot untuk sampai ke rumah Pak Natsir. Kami disambut hangat oleh keluarga mereka.

Kami dipinjamkan mobil plus supir untuk berkeliling kota Ende. Ende adalah kota yang sangat menarik. Di kota kita bisa melihat bukit-bukit. Di sepanjang perjalanan mata kita disajikan oleh pemandangan laut yang beriringan dengan bukit. Udara yang sejuk dan pemandangan yang memanjakan mata merupakan suatu perpaduan yang pas.

Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende
Kota Ende adalah kota dimana Presiden pertama RI diasingkan. Banyak yang blang bahwa Ende adalah Kota Soekarno. Sehingga tujuan utama kita dalah Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende. Sayangnya, kami tidak dapat masuk kedalamnya karena kami kesana pada hari Minggu dan kebetulan penjaga kuncinya tidak di tempat. Kami hanya bisa melihat dari luar. Rumah pengasingan Bung Karno seperti rumah biasa, namun barang-barang di dalamnya masih asli, sama seperti saat Bung Karno berada disana. Sedikit kecewa karena tak bisa masuk, kami pun melanjutkan perjalanan.

Patung Bung Karno, sedang duduk merenung
Tempat selanjutnya adalah Lapangan Pancasila. Lapangan ini merupakan 0 km Kota Ende.  Lapangan Pancasila merupakan tempat Bung Karno setiap sore menghabiskan waktu untuk duduk merenung dan membaca buku Disebelah Lapangan Pancasila terdapat Taman Perenungan Bung Karno. Di taman ini terdapat Patung Bung Karno berukuran besar sedang duduk merenung, patung ini baru diresmikan pada tahun 2013, menggantikan model patung lama yang posisinya berdiri dan mengenakan pakaian TNI. Di taman ini juga terdapat pohon sukun yang bercabang lima. Katanya pancasila diilhami dari pohon tersebut. Kami iseng untuk mengitung cabang pohon itu, ternyata memang benar, setiap rantingnya memiliki cabang lima. Di Lapangan yang cukup besar itu juga terdapat Tugu “Mengenang Bencana Alam  Nasional Gempa Bumi Tektonik di Pulau Flores Pada Tanggal 12 Desember 1992”. Gempa bumi saat itu di Flores menjadi bencana nasional karena getaran yang sangat kuat yaitu 6,3 SR dan memakan korban yang sangat banyak.

Melanjutkan perjalanan, kami pergi ke pasar untuk mencari tenun khas Ende. Daerah-daerah di NTT terkenal dengan kerajinan tenunnya. Motifnya selalu berbeda antara daerah satu dan daerah yang lain. Pergi ke tempat pengrajin tenun akan membuat takjub. Melihat kain-kain indah yang dihasilkan dari tangan para mama. Harga kain tenun berbeda, tergantung benang untuk membuat, kerumitan motif, dan lebar kain. Setelah puas berbelanja, kami melanjuttkan perjalanan.

Rencananya kami mau ke Museum Tenun Ikat, tetapi sayang lagi-lagi karena kami berkeliling hari Minggu, museum tutup, dan kami hanya bisa melihat dari luar.  Karena hari sudah sore, kami memutuskan untuk berkeliling kota Ende saja. Sama seperti Larantuka, Ende merupakan kota kecil di Pulau Flores. Berkeliling saja membuat kami takjub karena pemandangan yang sangat aduhai di sekeliling jalan. Bukit dan laut yang berdampingan. Kombinasi warna hijau dan biru yang sangat indah dan jalan yang berliku khas pegunungan. Setelah puas berkeliling kami pun pulang kerumah.

Di rumah kami sudah disambut dengan ubi nuabosi dan pisang baranang. Dua makanan itu adalah makanan khas kota Ende. Dimakan bersama sambal tomat membuat rasanya makin enak. Malam hari kami bersiap-siap, karena esok hari kami akan melanjutkan perjalanan ke Danau Kelimutu dan pulang kembali ke Larantuka.

Melalui kenalan Pak Natsir, kami menyewa mobil. Dengan rute Ende-Larantuka. Tujuan utama kita adalah Danau Kelimutu. Setelah berdiskusi dengan driver akhirnya kami memutuskan untuk ke Danau Kelimutu dan Air terjun yang ada di Moni, lalu ke Pantai Koka dan Patung Paga yang ada di Kab. Sikka, Maumere.

Kami dijemput jam 3 pagi, karena untuk pergi ke Danau Kelimutu sebaiknya saat pagi hari, karena jika siang hari nanti akan ada kabut yang menutupi danau. Perjalanan dari Ende ke Moni sekitar 2 jam. Jam 5 lebih kami sampai ke Kawasan Danau Kelimutu. Setelah bersiap dan tak lupa membawa jaket kami mulai berjalan mendaki. Kami berjalan ditemani denga gerimis yang kadang menjadi gerimis besar sehingga kami harus berteduh di pendopo-pendopo yang ada disana.

Untuk sampai ke Danau Kelimutu, kami harus berjalan kaki cukup jauh, layaknya mendaki gunung. Dengan cuaca yang cukup dingin, memaksa kami untuk terus bergerak agar tak kedinginan. Setelah berjalan cukup jauh, kami naik ke pendakian pertama. Disana kami bisa melihat satu danau berwarna coklat cola. Kemudian kami turun kembali dan menuju ke pendakian paling atas dimana lewat pendakian itu kami bisa melihat tiga Danau Kelimutu. Danau kelimutu warnanya berubah-ubah, dan kami mendapat kesempatan melihat perubahan warnanya.
Danau Kelimutu, Lihat Perubahan Warnanya!

Rasanya hampir tak percaya, kami melihat langsung danau tiga warna yang biasanya hanya kami lihat di uang pecahan lima ribuan jaman dulu. Melihat danau yang sangat besar dengan warna yang berbeda tak henti-hentinya kami merasa kagum. “Indonesia memang keren”. Kami beruntung bisa melihat ketiga danau tanpa tertutup kabut. Tetapi, katanya ketika ada kabut, kami cukup bersiul, memanggil angin. Nanti kabutnya akan terbawa angin.

Menurut kami, Danau Kelimutu adalah wisata yang patut diacungi jempol. Hanya membayar Rp. 5.000,- kami bisa melihat keindahan tiga danau berwarna. Perjalanan pendakian pun bebas dari sampah, dan benar-benar dijaga keasriannya. Di sepanjang jalan pendakian banyak dijumpai pendopo untuk beristirahat dan toilet-toilet gratis yang bersih. Terdapat pedagang yang terkoordinir, sehingga tak mengganggu para wisatawan, justru sangat membantu. Menghilangkan dinginnya perjalanan Kelimutu dengan minum segelas kopi yang dijual pedagang, cukup untuk menghangatkan badan.

Setelah puas menikmati keindahan Danau Kelimutu, kami melanjutkan perjalanan. Rencana awal, kami ingin pergi ke air terjun Kedebodu, namun driver menganjurkan untuk tidak pergi kesana karena tempatnya sangat jauh, dan nanti kita tidak akan sampai ke Larantuka tepat waktu. Kami memang menyewa mobil hanya untuk perjalanan satu hari. Namun, driver memberikan alternative untuk pergi ke air terjun yang ada di daerah Moni, sejalan dengan perjalanan kami ke Larantuka. Tidak jauh dari Kawasan Taman Nasional Danau Kelimutu. Kami kaget ketika driver bilang “sudah sampai”. Mana air terjunnya? Mobil berhenti di pinggir jalan. Kami memang mendengar suara air, tapi rasanya aneh ada air terjun di pinggir jalan.

Driver kemudian menunjuk ke bawah. Untuk sampai ke air terjun, kami harus menuruni tangga yang ada di samping jalan. Hanya sedikit anak tangga dan kita bisa melihat air terjun setinggi 6 meter. Kami langsung mengabadikan momen ini dengan bidikan kamera. Rasanya kami ingin main-main di bawah air terjun yang sejuk, namun karena mengingat perjalanan yang masih jauh kami urungkan niat tersebut.

Pantai Koka
Photo di ambil sebagian karena pantai yang sangat ramai
Melanjutkan perjalanan, tujuan kami adalah Pantai Koka di Kab. Sikka, Maumere. Perjalanan cukup jauh, kami yang lelah juga menghabiskan waktu perjalanan dengan tidur. Mungkin sepanjang perjalanan hanya driver yang tetap terjaga. Kemudian sampai di Pantai Koka. Seperti pantai-pantai di NTT, Pantai Koka memiliki pasir putih dan laut berwarna biru. Yang membedakan adalah di sekeliling pantai dapat dijumpai bukit. Menikmati deburan ombak pantai sambil makan kelapa muda sangat menyenangkan. Pantai Koka ramai pengunjung. Pantai Koka adalah wisata murah meriah alias gratis. Kami hanya membayar biaya parkir.

Sebenarnya ada tempat di Maumere yang ingin kami datangi, yaitu patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus yang ada di Bukit Nilo. Namun, driver mengatakan bahwa Bukit Nilo sangat jauh, dan lagi-lagi tak sejalan dengan perjalanan ke Larantuka. Akhirnya driver memberikan alternatif perjalanan lain. yaitu Patung Tuhan Yesus di Paga. Tak jauh dari pantai Koka, driver berhenti di pinggir jalan. Driver memang hobi membuat kami terkejut. Di pinggiran jalan itu tak ada apa-apa, hanya jalan dan bukit di kanan dan kirinya. Lalu beliau menunjuk ke bukit di seberang, dan berdirilah Patung Tuhan Yesus di atas bukit tersebut.

Patung tuhan Yesus Memberkati di Paga
Untuk sampai ke atas kami harus mendaki dengan kemiringan sekitar 70o. Agak susah untuk menaiki bukit, ditambah pakaian dan alas kaki yang tak kompatibel untuk mendaki. Untuk sampai ke atas memang benar-benar harus mendaki, tidak terdapat tangga, hanya setapak jalan dengan pijakan kaki yang tak terlalu besar. Cukup lama kami mendaki. Perjuangan kami mendaki terbayar oleh pemandangan dari atas. Selain terdapat Patung Tuhan Yesus berukuran besar, dari atas sini kami bisa melihat Maumere dan Pantai Koka yang membentang luas. Sayangnya, karena bukit berada di dekat pantai dan kami yang pergi kesana siang menjelang sore hari, cuacanya sangat panas. Kami hanya sebentar berada di atas bukit. Perjalanan turun lebih menguras tenaga. Bahkan, sepatu karetku sampai putus dalam perja

lanan menurun. Rasanya paha sakit semua karena harus menahan tubuh agar tidak jatuh. Sesampainya di bawah rasanya lega sekali.

Hari sudah sore dan kami pulang menuju Larantuka. Kami sampai di Larantuka sekitar jam 7 malam. Selain karena pesan Pak Badar untuk kembali kerumahnya sebelum ke Kupang, kami memang berencana pulang dari Larantuka, karena kami naik kapal Ferry Larantuka-Kupang. Kami berencana pulng ke Kupang lusa.

Dari buku panduan wisata yang kami baca, ada satu tempat yang belum kita kunjungi di Larantuka, yaitu Tanjung Bunga. Kami bertanya pada Pak Badar, beliau tak mengetahui tempat itu. Keeseokan harinya, dengan menyewa oto yang biasa, kami menuju tanjung bunga. Supir oto bilang dia mengetahui tempat itu. Dengan bantuan google map, pengetahuan supir oto dan bertanya ke masyarakat sekitar mencoba pergi ke Tanjung Bunga. Sudah dua jam berjalan, kami tak kunjung sampai. Karena lelah sisa kemarin dan putus asa, karena makin jauh penduduk yang kami Tanya bilang tidak tahu akhirnya kami putar arah kembali ke rumah untuk beristirahat.

Keluarga Pak Badar baik sekali pada kami. Keesokan harinya ketika kami ingin pulang, masing-masing kami diberi oleh-oleh berupa jagung titi dan kue rambut khas larantuka. Pak Badar dan Umi Nur juga mengantar kami sampai ke atas dek Kapal.

Kami sampai menggenalisir bahwa orang Flores baik dan ramah. Selain Pak Badar dan Pak Natsir yang menampung kami, ada juga Pak Umar tempat kami singgah ketika mengikuti Prosesi Semana Santa. Kami bertemu Pak Umar ketika sholat di masjid. Melihat muka pendatang kami Pak Umar mengajak kami untuk singgah beristirahat di rumahnya. Kami disuguhi minuman dingin dan cerita anak Pak Umar yang merantau di Jawa.

Keluarga Pak Badar

Pak Umar dan Bapak-bapak di Masjid
Selama perjalanan juga kami dibantu oleh masyarakat sekitar. Kami buta Flores, dan masyarakat membantu kami untuk dapat mellihat Flores dengan baik. Bertanya jalan tanpa disasarkan. Bahkan kami sering menumpang ke kamar kecil di rumah masyarakat yang menerima dengan baik kami.

Perjalanan pulang kali ini membuat kami belajar bahwa tak perlu takut dengan pendatang, tak perlu mencurigai pendatang. Berbuat baiklah kepada semua orang, kenal ataupun tak kenal. Karena perbuatan baik akan diiringi dengan langkah-langkah baik berikutnya. Seperti kami, pendatang yang diterima baik oleh keluarga Pak Badar.

Terima kasih kepada keluarga Pak Badar, Pak Natsir, Pak Umar, driver dan masyarakat. Karena mereka, pengalaman menginjakkan kaki pertama kali di tanah Flores ini sangat menyenangkan.


PS: Tulisan ini diikutsertakan dalam writing contest yang diadakan oleh NatGeo Indonesia. Awalnya tidak berharap apapun, karena tulisan saya yang alakadarnya dan melihat galeri ada 2755 cerita yang masuk, dengan cerita yang lebih menarik, dan pastinya lebih tertata dibanding tulisan travelling ala saya. Sampai tanggal 12 Februari 2016 tim NatGeo menelpon saya dan bilang tulisan saya masuk 40 besar. Antara kaget, senang dan rasa tak percaya. Saya pun di wawancara by phone, untuk menyaring 10 kontestan yang akan mendapat hadiah utama, Menjelajah Australia Barat ala NatGeo. Saya pun berharap lolos, namun kenyataan berkata lain. Kemarin, Senin 22 Februari 2016, diumumkan 10 pemenang, dan nama saya tidak ada diantara 10 pemenang tersebut. Kecewa, pasti. Sedih, tentu. Karena saya sudah berharap. Di otak saya selama seminggu ini adalah Australia. Tapi, ya sudahlah. Seperti kata Mama “Namanya juga kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah, tapi yang penting sudah berusaha, dan semoga Allah akan memberi penggantinya.” Saya kemudian mengaamiininya.

Selasa, 16 Februari 2016

Cerita 51 - Piknik

Bagi kami guru pedalaman yang baru hijrah dari kota ke desa, pasti ada kalanya dimana perasaan jenuh dan bosan muncul. Bosan dengan kesepian, rindu dengan hingar bingar keramaian. Terkadang rasis, rindu teman-teman satu suku yang sama-sama dari Jawa.

Aku memberitahu akan hal ini, kala itu aku dan Nesya dalam keadaan sebosan-bosannya. Lalu tercetuslah ide untuk piknik, bersama teman-teman se-kecamatan. Kami pun mengirim surat pada Ayu dan Irvan yang ada di Saukibe, Dani dan Fitrah yang ada di Leonai. Kalau mengirim usrat ke Ayu dan Irvan kami bisa kapan saja, banyak anak murid yang berasal dari Saukibe, kami tinggal titip saja. Masalahnya adalah kirim surat ke Leonai tempat Dani dan Fitrah. Leonai adalah tempat terjauh di Kec. Ambal. Banyak juga anak murid yang berasal dari sana, tetapi mereka kebanyakan tinggal di desa dekat sekolah, mereka akan kembali ke Leonai jika weekend. Mau tidak mau kami menitipkan surat pada salah satu murid hari Sabtu, dan berpesan untuk membalas sesegera mungkin yaitu hari Senin. Surat balasan diterima. Teman-teman lain setuju untuk mengadakan piknik ke pantai desa Soliu, Minggu depan hari Minggu selepas gereja.

Hari Minggu pun tiba, Nesya pergi ke gereja dan aku siap-siap. Masak nasi, masak air, dan membuat jeli. Kami sudah membeli ayam, tapi ragu untuk mengolahnya, karena sudah hampir siang teman-teman yang lain tak kunjung datang. Jangan-jangan tidak jadi, pikirku. Sayang-sayang, sudah masak nasi banyak.

Tunggu-tunggu, ternyata jam 1 siang mereka baru tiba. Mereka kaget, karena ternyata aku dan Nesya (sebagai tuan rumah) belum mengolah ayam bahkan aku belum mandi. Mereka (yang lelah karena telah berjalan kaki berkilo-kilo) ngambek dan mau tak mau turun tangan membantu aku dan Nesya mengolah ayam dan makan lainnya. Aku membungkus nasi dengan daun, seperti nasi timbel. Ayam ungkep (mau dibakar di pantai), kentang goreng, dan jelly sebagai penutup.

Setelah makanan siap kami bergegas ke pantai, karena waktu menunjukan sudah hampir sore, bisa-bisa nanti pikniknya hanya sebentar.  Perjalanan dari tempatku ke pantai kurang lebih memakan waktu 15-30 menit, ditambah omelan teman-teman karena pikniknya melelahkan.

Sampai pantai, kami langsung mulai membakar ayam smabil bercerita, Nesya dan Dani langsung pergi ke pantai untuk berenang. Inilah esensi piknik, bukan tempatnya, bukan makanannya. Tapi cerita kebersamaannya. Rasanya menyenangkan pergi bersama rekan-rekan senasib, menceritakan kehidupan di penemoatan, saling member nasihat, saling menguatkan dan bahkan saling mentertawakan.

Matahari mulai turun, dan waktunya kita kembali ke tempat tinggal.


Setelah piknik hari ini kami memutuskan untuk menjadwalkan piknik tiap bulan. Karena piknik itu asik!