Kamis, 18 Agustus 2016

Buah Jatuh Jauh dari Pohonnya

Papa adalah seorang guru olahraga yang bertugas di sekolah dasar. Biasanya jika orangtua mengampu suatu mata pelajaran, sang anak otomatis akan menjadi ahli di mata pelajaran tersebut, tapi tidak denganku. Aku payah dalam olahraga. Badanku ringkih dan penyakitan saat kecil. Nilaiku selalu di ambang batas untuk mata pelajaran olahraga. Bukannya Papa tak mengajariku olahraga. Papa rutin mengajak kami berenang, sekedar berlari, main ke stadion olahraga, bahkan Papa mengajak anak satu komplekku untuk main kasti di lapangan setiap hari Minggu. Hanya saja, aku yang selalu “bermain” ketika Papa mengajariku olahraga.

Saat Sekolah Dasar, Papa rutin mengajak aku dan kedua kakakku berenang. Kami berenang bersama teman-teman satu komplek, atau hanya berempat. Aku yang saat itu masih kecil, kerjanya hanya “main air”. Bahkan ketika kedua kakakku sedang serius berlatih renang, aku hanya bermain, sambil sesekali mengganggu mereka yang sedang belajar. Ketika papa ingin mengajariku, aku malah lari, tak ingin belajar renang, terus bermain, dan bermain. Alhasil, hingga sebesar ini aku tak bisa renang. Hingga Papa meninggal, dan kami berenang sekeluarga, kakakku berenang dengan gaya-gayanya. Sedangkan aku, hanya bisa menatap iri. Sambil berkata pada mereka “Ko, Kiky ga bisa sih.” Kakakku hanya tersenyum sambil berkata “Makanya, dulu waktu diajarin berenang sama Papa jangan main terus.” Aku menyesal.

Saat SMP, Papa mengikuti pendidikan wasit bola voli, dan Papa resmi menjadi wasit voli. Banyak pertandingan yang Papa pimpin, skala local hingga skala nasional. Suatu kali, ada pertandingan Pro Liga di kotaku. Papa mengajakku untuk menonton. Aku selalu senang pergi dengan Papa, bukan karena suka dengan voli, melainkan jika pergi dengan Papa, aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku pun duduk di bangku penonton ketika Papa memimpin pertandingan. Yang kulihat dari atlet volley adalah mereka semua cantik, hahaha. Saat jeda pertandingan aku diajak papa makan. Kami makan sambil ngobrol. Papa bilang ‘Tau ngga, De? Itu pemain volley itu hampir rata-rata pemain bayaran. Perusahaan yang narik dia untuk main buat perusahaannya. Kerjaan yang cari mereka, bukan mereka yang cari kerjaan.” Papa kemudian membujukku untuk masuk klub volley. Setiap pulang sekolah Papa menyuruhku latihan volley, dan aku selalu ada saja alasannya. Aku tak suka volley. Hingga mungkin Papa jengah, dan berhenti membujukku. Hingga aku sebesar sekarang, aku sama sekali tidak bisa main volley. Ketika ada pertandingan, aku hanya bisa jadi penonton yang meramaikan, bukan yang ikut andil dalam permainan.

Sampai ketika SMA, aku ikut ekskul olahraga. Softball. Ikutan Kakakku yang ikut softball juga. Itu pun mainnya gak bagus-bagus banget. Latihannya juga males-malesan. Berbeda dengan  kakakku yang main hingga Bandung, dan menang pula. Sampai kalau latihan suka dibandingkan. Dan aku paling tak suka kalau papa menontonku ketika latihan atau pertandingan. Pasti kmentar Papa banyak, dan aku tak suka dikomentari, apalagi komentar yang jelek.

Hingga usia yang menginjak seperempat abad, aku memang tak bisa olahraga. Rasanya menyesal karena dulu yang tak serius ketika belajar olahraga bersama Papa. Kadang  sempat terfikir “Coba kalau dulu belajar bener, pasti kalo ada volley bisa ikutan”, Ah tapi ya sudahlah.

Papa memang tak memaksakan kami untuk jago dalam olahraga, Papa hanya menganjurkan kami olahraga agar badan kami sehat dan bugar. Aku memang buah yang jatuh jauh dari pohonnya, tapi aku tetap buah yang tumbuh dari pohonnya, Ah Papa, aku rindu.