Minggu, 31 Juli 2016

Lebaran a la Anak Rantau

Lebaran, tak akan pernah sama. Selalu ada cerita berbeda di setiap tahunnya. Seperti saat ini, saat dimana aku tidak bisa berlebaran bersama keluarga karena tugasku yang belum selesai. Aku adalah seorang guru SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar Tertinggal) yang ditempatkan mengajar di Kab. Kupang NTT.

Kali ini aku harus berlebaran jauh dari keluarga. Karena di kampung tempat tugasku hanya aku satu-satunya yang beragama muslim, aku dan dua orang temanku dari kampung sebelah berencana untuk berlebaran di Pulau Flores, di tempat keluarga yang menampung kami saat liburan Paskah, April lalu. Setelah urusan di kampung selesai, kami pun bersiap pergi ke kota dan menyebrang ke pulau Flores, tepatnya ke Larantuka, Flores Timur.

Tiket sudah di tangan, aku yang belum pernah mudik  sangat excited. Bagaimana tidak, melihat barang bawaan penumpang, euphoria penumpang yang berdesakkan khas mudik bagiku sangat menyenangkan. Kami (aku dan kedua temanku) sampai tak dapat kasur untuk beristirahat, akhirnya dengan terpaksa kami duduk di pinggiran lorong kapal. Kapal penuh sesak, semua memiliki satu tujuan, untuk berkumpul bersama keluarga.

Di kapal, kami bertemu dengan kerabat dari keluarga yang akan kami tinggali di Flores. Yang paling kusuka dari orang NTT adalah kekerabatan yang sangat erat. Mereka semua bersaudara.

Tiga belas jam perjalanan Kupang-Larantuka, akhirnya kami sampai di pelabuhan. Kami pergi naik angkutan bersama-sama untuk sampai ke tempat. Setengah jam berlalu, kami pun sampai di rumah Pak Badar dan Umi Nur. Mereka adalah orang tua yang baru kami kenal bulan April lalu, ketika kami nekat pergi ke Flores, Pak Badar dan Umi menyediakan kami tempat tinggal. Kami tinggal di rumah Pak Badar selama 10 hari padahal kami hanya kenal kerabat Pak Badar. Mereka dengan baik hati mengizinkan kami tinggal di rumahnya dan memakai fasilitas yang ada dirumahnya, cuma-cuma.
Sebelum pulang dari liburan Paskah, Pak Badar juga Umi meminta kami untuk berlebaran di rumah mereka. Kami pun mengindahkan permintaan mereka untuk berlebaran bersama mereka.  Kami disambut dirumahnya bersama dengan 3 orang anak perempuan mereka yaitu Ummu, Rayyan, dan Zahra.

H-5 lebaran. Hari-hari dihabiskan dengan membantu Umi dan Pak Badar menyiapkan lebaran. Jauh dari orang tua memang tak pernah menyenangkan, tapi pak Badar dan Umi melengkapi kami sebagai orang tua. Kami senang tinggal dengan keluarga mereka yang menganggap kami juga sebagai keluarga.

H-1 lebaran kami membantu Umi memasak untuk esok hari raya. Kalau di Larantuka, kebanyakan masyarakat tidak memakai ketupat, melainkan kalesong. Hampir mirip seperti ketupat, bedanya hanya di bentuk, ukuran, dan mungkin bahan-bahannya. Umi juga biasanya tak membuat opor, namun melihat ada kami, Umi mendadak membuat opor. Umi bilang, agar kami serasa berelebaran di rumah.

Lebaran pun tiba. Kami sholat id di lapangan kantor Bupati Larantuka. Sedih rasanya lebaran jauh dari keluarga. Sedih rasanya hanya melihat orang-orang yang berkumpul dengan keluarganya. Kami hanya bisa meminta maaf dengan keluarga via telpon, tapi itu tak mengurangi esensi dari lebaran.

kami dan keluarga Pak Badar
Setelah shalat Id, kami ikut Pak Badar dan Umi berkeliling ke keluarga mereka di Larantuka untuk bersilaturrahmi. Siang harinya kami diajak Umi untuk menyebrang ke pulau Adonara. Pulau asal kelahiran Umi, dan orang tua Umi. Pulau Adonara adalah pulau kecil di seberang Flores Timur. Untuk sampai ke Adonara kita harus naik kapal motor.

Sesampainya di Pelabuhan kami dijemput keluarga Umi untuk menuju Desa Terong. Desa tempat tinggal Umi. Hebatnya di Desa ini semuanya bersaudara, aku sampai bingung ketika bertanya pada Ummu, siapa orang itu. Ummu selalu menjawab saudara. Kadang Ummu bingung menjelaskan silsilahnya.

Lebaran di desa selalu lebih ramai dibanding di kota. Apalagi Di desa Terong. Lebaran di desa Terong disambut dengan suka cita. Sore hari, kami diajak berkumpul di lapangan. Semua warga ternyata turut kumpul di lapangan. Mereka menari bersama. Para mama dan bapak memakai sarung menari sambil bernyanyi diiringi tabuhan alat music tradisional. Pemuda-pemudi juga turut ambil bagian dalam acara ini. Ternyata acara menari seperti ini sudah ada sejak dulu.. Yang keren adalah, panitia acara ini adalah para pemuda pemudi asli Desa Terong yang masih sekolah atau kuliah, entah itu di daratan NTT atau di Pulau lain. Karena bagi mereka, lebaran merupakan waktunya berkumpul di kampung halaman. Kami pun di ajak menari. Kalau tak salah namanya tari lilin. Katanya menari seperi ini adalah salah satu cara untuk mendapat jodoh. hihi, tapi sayang kami tak dapat. Lebaran disini benar-benar terasa seperti lebaran, ramai dan meriah. Disini terlihat ragam budaya Indonesia yang masih dilestarikan oleh warga sekitar.
mereka menari dengan satu orang yang memimpin di ujung barisan

semua yang menari menggunakan sarung

Keesokan harinya kami diajak pergi ke pantai air panas. Aku juga bingung kenapa air panas, padahal ketika kami mandi di laut airnya sama dinginnya. Ternyata, ketika kita menggali pasir pantainya hingga dalam dan keluar air, airnya hangat. Dan di dekat pantai, ada sumur yang airnya panas. Padahal di sekelilingnya air dingin biasa. Tak lupa kami ikut mandi-mandi di sumurnya. Alam Flores ini sungguh luar biasa. Dari pantai kami bisa melihat gunung-gunung yang sangat indah. Puas main-main di pantai, kami diajak pergi ke pasar. Tak lupa membeli tenun asli motif khas Adonara.

pantai air panas
Berlebaran di Adonara ini membuatku merasa seperti berlebaran di rumah. Penerimaan baik dari keluarga Umi dan Pak Badar membuat kami merasa nyaman tinggal dengan mereka. Padahal, kami baru mengenal mereka. Seperti yang pernah ku bilang, aku sampai menggeneralisasikan bahwa semua orang NTT ini baik, semua mereka anggap sebagai keluarga.

Tak terasa waktu berjalan, kami harus pulang. Tidak ada kapal dari Adonara menuju Kupang. Ada dua pilihan, kami ke Larantuka terlebih dahulu, atau ke Pulau Lembata. Kami pun memilih untuk naik kapal dari Pulau Lembata. Kami dititipkan ke keluarga Pak Bdar dan Umi yang ada di Lembata. Kami pun dijemput di pelabuhan Lewoleba, Lembata. Menginap sehari, baru kami pulang ke Kupang.

karena berlebaran bersama mereka seperti berlebaran bersama keluarga

Sehingga lebaran kalli ini, dalam waktu semingggu kami menyebrangi 4 Pulau, yaitu Timor – Flores – Adonara – Lembata. Dalam seminggu juga kami mendadak memiliki banyak sekali saudara yang menerima kami dengan baik, yang membuat kami belajar untuk menerima orang yang abru dikenal dengan penerimaan yang baik, yang memberikan pengalaman baru bagi kami, yang mengajarkan kami tentang budaya turun-temurun mereka yang tak pernah mereka tinggalkan. Dan dalam seminggu ini kami melihat sisi lain Indonesia, budaya dan keramahan khas Indonesia.


Memang, tak pernah ada yang bisa menggantikan keluarga. Tapi selalu ada yang bisa melengkapi sebagai keluarga di setiap perjalanan.




*Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition CERIA "Cerita Lebaran Asyik" yang diadakan oleh Diary Hijaber dan Blogger Perempuan

Hari Hijaber Nasional
  • Nama Acara: Hari Hijaber Nasional,
  • Tanggal: 07 Agustus 2016 – 08 Agustus 2016
  • Tempat: Masjid Agung Sunda Kelapa,  Menteng, Jakarta Pusat