Selasa, 11 Februari 2014

Rekam Jejak Empat Tahun

Cirebon,16 Januari 2014



Empat Tahun. Masih terekam dalam ingatanku bagaimana tangisanku pecah ketika harus menerima kenyataan aku tak diterima di universitas yang aku inginkan, bukan tidak diterima melainkan tak diizinkan, karena pada kenyataannya aku diterima di salah satu ptn agama di bandung, tapi orangtuaku tak mengizinkan. Kecewa sedih barang tentu menjadi makananku saat itu. Dengan sangat terpaksa dan ogah-ogahan aku pun kuliah di kampus kecilku, jurusan pendidikan matematika. Menjadi seorang guru bukan menjadi keinginanku, melainkan keinginan papa yang aku turuti.

Empat Tahun. Aku ingat bagaimana aku ogah-ogahan mengikuti ospek. Aku benci tiap orang yang bertanya padaku “Ko SMA 1 nyasar kesini”. Aku benci hal itu. Seperti  menjadi orang paling bodoh yang hanya dapat kuliah di kampus kecil tak terpandang. Aku benci orang-orang yang bertanya seolah merendahkanku. Aku malu pada teman-temanku. Sempat aku tak ingin berkunjung ke sekolahku. Namun teman-temanku selalu membesarkan hatiku.

Empat tahun. Aku belajar bahwa hidup adalah tentang menerima dan terus menggerutui nasib tak dapat membuat perubahan. Aku pun mulai menata kehidupanku. Paling tidak, aku tidak ingin mempermalukan orang tuaku, almamaterku dan diriku sendiri. Aku mulai belajar dengan giat. Mendengarkan dosen, mencatat, bermain bersama teman baruku atau sesekali mengikuti organisasi, hanya sekedar ingin tahu.

Empat tahun. Semester tiga perkuliahan, Papa meninggal. Aku larut dalam kesedihan, karena aku belum bisa membahagiakan Papa. Namun Tuhan memang pembuat skenario paling baik untuk Umatnya. Jika dahulu aku diterima di ptn negeri di luar kota, lalu siapa yang akan menemani Mama? Siapa yang akan mengurusi adik-adikku. Siapa yang akan membiayai kuliah dan hidupku di luar kota sana. Paling tidak, jika aku belum bisa membahagiakan Papa, menemani Mama mungkin akan membuat Papa lebih tenang disana.

Empat tahun. Aku belajar menerima kehidupanku. Berusaha untuk menjadi yang terbaik, walau kadang banyak setan berkeliaran di sekelilingku. Walau akhirnya aku tidak menjadi yang terbaik, paling tidak berusaha menjadi yang lebih baik telah aku lakukan. Untuk menambah pengalamanku, aku mulai mengikuti lomba-lomba, walau tidak pernah menang, setidaknya aku telah mencoba. Jika aku bukan mahasiswa berprestasi, aku ingin menjadi mahasiswa dengan banyak pengalaman.

Empat tahun. Aku merasa jika aku tak punya passion di bidang mengajar, sebagai guru. Tapi itu berubah ketika aku mulai mengajar. Rasanya bahagia jika melihat siswa paham apa yang aku ajarkan, melihat binar matanya ketika semangat mengerjakan soal, atau ketika ia menaruh rasa percayanya padaku untuk menceritakan kehidupannya. Aku pun ingin terus mengajar. Berbagi sedikit ilmu yang kupunya. Berbagi tawa juga harapan pada siswa yang kuanggap teman-temanku. Papa benar menjadi guru memiliki kepuasan tersendiri.

Empat tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk mengubah sedikit-demi sedikit kehidupanku. Bukan waktu yang singkat untuk menjalani perkuliahan yang tidak kusenangi kemudian bermetamorfosa menjadi candu. Berbagai jatuh dan bangunnya kehidupan. Tawa dan tangis yang telah terurai, sudah tak terhitung jumlahnya.
Empat tahun. Ketika saat itu datang. Ketika hari dimana aku membolak balikan tugas akhirku hingga hafal diluar kepala. Aku diuji di depan penguji yang siap menerkam, kemudian dinyatakan lulus. Ini menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupku. Akhirnya perjalanan empat tahunku menjadi sarjana diakhiri dengan baik.

Empat tahun. Aku memang tidak menjadi mahasiswa terbaik, tidak cumlaude, dan tidak membacakan pesan dan kesan di depan podium. Tapi Empat tahun ini aku belajar. Belajar tentang kehidupan. Skenario kehidupan yang aku rencanakan dulu digubah oleh Tuhan yang lebih baik, lebih manis, dan lebih indah.

Empat tahun. Hari ini aku duduk di ruangan besar, di depan majelis senat bersama ratusan wisudawan-wisudawati yang lainnya. Tali kur toga ku dipindah, artinya aku resmi menjadi sarjana, Sarjana Pendidikan. Aku lihat binar wajah ibuku, senyum bahagia kakakku dan tawa adikku. Aku, sarjana pertama dalam keluargaku. Doa kalian terkabul, Pa Ma.


Selalu, tidak ada yang sia-sia dalam kehidupan ini. Perjalanan empat tahun tak akan berakhir disini. Karena ini bukan sebuah akhir, melainkan sebuah awal yang baru. Awal yang kuyakini nanti akan lebih indah.

Terima kasih Tuhan. Telah memberi skenario empat tahun ini.
Rizky Purnama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar