Sabtu, 01 Februari 2014

Aku Tak Pernah Lupa

Aku tak pernah lupa bagaimana dia menggendongku penuh kasih. Mendekapku erat, ataupun menggandeng tanganku. Aku selalu ingat bagaimana aku bergelantungan di tangannya yang kekar, mencabuti ubannya yang mulai terlihat banyak, atau menciumi ketiaknya, yang wanginya sangat khas.

Aku tak pernah lupa bagaimana dia begitu perhatian padaku. Menyuapiku ketika aku mulai malas menelan makanan-makanan yang menurutku rasanya aneh. Menawari untuk mengantarku ketika aku bingung harus naik apa, atau bahkan menyiapkan semua vitamin yang harus aku minum, ya karena saat itu aku terlalu lemah dan penyakitan. Dia tak ingin aku sakit. Tak pernah ingin.

Aku tak pernah lupa bagaiman cara dia menghiburku. Berbagai lelucon selalu keluar dari mulutnya. Mimik mukanya ketika tertawa. Anggota tubuhnya yang seakan ikut melucu sampai membuat perutku terkoyak. Karena harus menahan tawa. Dan aku selalu terhibur.

Aku ingat bagaimana dia selalu berusaha untukku. Dia selalu memenuhi kebutuhanku, bahkan saat dia tak bisa memenuhinya. Dia selalu berusaha. Katanya agar aku senang. Katanya dia tak pernah rela jika aku sedih. Apalagi hanya karena hal-hal sepele. Dia sampai rela meminta tolong pada orang lain, untuk membantunya memenuhi keinginannku. Ah, aku sangat tak tahu diri.

Aku tak pernah bisa lupa bagaimana cara dia memarahiku. Saat aku pulang tak pada waktunya. Saat aku tidak mengerjakan apa yang dia minta dengan  sempurna atau saat aku menunda ibadahku. Yang saat itu aku selalu menganggap dia cerewet. Dan saat ini aku hanya tau, dia begitu sayang padaku, teramat sayang.

Aku pun tak pernah bisa lupa, tak akan bisa lupa. Ketika stroke seakan menghilangkan semuanya. Semua yang bisa dia berikan untukku. Tawanya, senyumnya, perhatiannya. Ah, aku terlalu ingin saat itu kembali. Namun aku tahu, saat itu seharusnya aku yang berbalik melakukan demikian. Aku yang seharusnya memeluknya, menggandeng tangannya, menyuapinya, menyiapkan obatnya, dan memanaskan air untuknya mandi. Seharusnya. Beberapa aku lakukan, walau dengan muka kusut sambil menggerutu kepada-Nya. Justru saat ini jika bisa aku ingin melakukan semuanya (lagi). Bahkan sangat ingin melihatnya senyum, senyum yang sangat kurindukan.

Aku juga tak pernah akan bisa lupa ketika sakaratul maut menghadangnya. Ketika tubuhnya tergolek lemah di tengah alat-alat kesehatan yang terus bekerja. Kata dokter, pembuluh darahnya pecah, dia terkena serangan stroke yang kedua. Mereka bilang ini tidak baik, tapi aku tak mengerti. Aku ingat raut mukanya. Aku ingat, selalu kuingat. Ketika dia menangis kesakitan, ketika dia ingin berbicara namun sulit. Dan aku terus menangis saat itu. Dan aku sadar beberapa jam kemudian, dia telah tiada.

Aku pun ingat bagaimana saat aku memandikannya, saat dia dikafani, dan saat aku menciumnya untuk yang terakhir kali. Dibalutan kain putih itu, dia tersenyum. Manis sekali. Seolah bahagia meninggalkan dunia ini, atau ingin yang ditinggalkan ikut berbahagia dengannnya. Tapi aku tak bisa. Air itu selalu keluar dari mataku perih, dan sakit rasanya. Dia tak akan pernah kembali lagi, tak akan bisa.

Lalu sepi, sedih, sendiri. Tak ada lagi sandaran. Tak ada lagi pelukan. Tak ada lagi gandengan tangan. Tak ada lagi pria yang bisa menghibur dan juga memarahiku. Tak ada lagi…Tak ada lagi.

Aku hanya tersadar bahawa kematian dapat merubah segalanya. Begitu cepat begitu drastis, tanpa pandang buluh. tanpa aba-aba.


Kiky…Kangen Papa…

Cirebon,  27 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar