Rabu, 11 November 2015

Cerita 48 - Bintang di Langit Gelap; Siswa Cerdas

Mengajar di daerah terpencil membuatku untuk tidak menaruh harapan yang tinggi. Karena terkadang ekspektasi hanya berujung kekecewaan atau bahkan membuat  terkejut. Tapi aku tidak boleh berputus asa, aku yakin mereka bukan tidak bisa melainkan tidak adanya fasilitas, lagi-lagi masalah akses. Aku pun tak melulu hanya mengajarkan mereka tentang program linear ataupun matriks, aku lebih mengajarkan tentang hidup pada mereka, paling tidak mereka tidak sekedar tahu yang itu-itu saja.

Setahun mengajar, sudah lumrah rasanya melihat hampir 90% siswaku remedial. Hal biasa, karena rasanya sulit memang mengajarkan polynomial ketika mereka belum pernah belajar aljabar atau mengajarkan program linear ketika perkalian mereka belum khatam. Pemahaman mereka memang harus dibentuk. Tidak cukup jika setahun. Logikanya kita belajar matematika di SMP selama tiga tahun, dan mereka tidak merasakan belajar matematika saat SMP, dan tiba-tiba setahun mereka harus paham semuanya, mustahil rasanya.

Hari-hari berlalu, dan aku mengajar semampuku. Aku paham betul fungsi sekolah untuk mereka. Sekolah merupakan tempat istirahat dari pekerjaan fisik yang cukup melelahkan. Ya, siswaku tak seperti siswa kebanyakan yang tugasnya hanya belajar. Banyak pekerjaan yang mereka lakukan di pagi hari sehingga siang hari ketika sekolah mereka hanya beristirahat. Fisik mereka lelah, mungkit otak mereka hanya menginginkan satu kata, tidur.

Tapi bagiku, mengajar mereka merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan. Mereka memang lelah dan beristirahat di sekolah, namun mereka tetap excited dengan pelajaranku, walaupun ujungnya nanti mereka bilang “Beta pusing ibu, kermana bisa begitu?”. Lalu aku menjelaskannya berulang-ulang sampai nanti mereka bilang “Nah, kalau begini beta su mengerti, tapi beta yakin besok pasti su lupa lagi.”

Diantara siswa yang seperti itu ada dua orang siswa yang menurutku sangat cemerlang. Mereka bagai bintang di hamparan langit luas. Aku tak berlebihan. Mereka adalah Tirsa Natbais kelas XI IPA dan Yani Taemnanu kelas X. Tirsa dan Yani tak hanya pintar matematika, mereka pintar sema pelajaran dan selalu menjadi juara umum.

Tirsa pernah tidak masuk sekolah karena sakit saat pelajaranku. Keesokan harinya di sekolah, dia bertanya padaku tentang pelajaran kemarin. Ketika ulangan, dia mendapat nilai paling besar. Ketika akan diadakan olimpiade matematika se-Kab. Kupang aku merekomendasikan dirinya. Aku pun menjadi pembimbingnya. Dia bersemangat sekali. Dia bisa menjawab soal denga benar. Aku hanya perlu mengajarkan sekali, dan dia sudah benar-benar paham. “Walaupun tidak jadi mengikuti olimpiade, paling tidak saya sudah belajar banyak, lebih dari teman-teman saya.” Itu kata Tirsa setelah akhirnya mengetahui kami tidak jadi ikut Olimpiade karena hujan besar yang melanda mengakibatkan jembatan putus, sehingga kami tak bisa ke kota.

Lain halnya dengan Yani. Yani adalah adik dari teman guruku di sekolah, dan anak perepmuan satu-satunya di keluarga. Dia pendiam orangnya, tapi otaknya sangatlah encer. Aku pernah melihat dia membaca buku dengan pelita saat aku berkunjung ke rumah teman guru. Dia juga satu-satunya siswa yang membawa buku untuk belajar saat disuruh orang tuanya membantu memasak untuk kami, guru-guru. Ketika aku bertanya di kelas, dia hanya menjawab lirih. Dia pemalu, padahal semua jawaban yang keluar dari mulutnya benar. Nilainya untuk mata pelajaran matematika juga selalu bagus. Pernah kakaknya (teman guru) bilang “Yani pernah dapat ulangan nilainya kecil, dia tak henti-hentinya menangis., dan nanti belajarnya akan lebih keras lagi.

Lalu aku tersadar. Selalu ada lilin terang di setiap kegelapan. Aka nada anak yang cemerlang di tengah semua keterbatasan. Aku yakin, jika Tirsa dan Yani hidup dari kecil di Jawa yang fasilitas serba ada, mereka akan menjadi bintang. Mereka cerdas alami, tanpa bantuan buku yang memadai, tanpa penerangan, dan tanpa fasilitas.

Yani (Tengah)

Tirsa (Kanan)


Aku berpesan pada kedua orang tua mereka saat berpamitan “Mama, mereka (Yani dan Tirsa) harus sekolah sampai tinggi. Mama harus tau, anak mama berdua sangat pintar.” Berkata seperti itu membuat orang tua mereka menangis, kemudian berkata “Pasti Bu, kami akan menyekolahkan mereka setinggi mungkin yang kami bisa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar