Jumat, 13 Maret 2015

Cerita 11 – another welcoming party

Hari ini hari Minggu. Mingu pertama aku dan Nesya di amfoang. Pagi-pagi Nesya sudah berangkat ke gereja. Kebetulan tempat tinggal kami dekat dengan gereja. Lonceng gereja berbunyi pada tiga waktu. Yang pertama jam 5.30, jam 7.00 dan jam 7.30.Suaranya dahsyat. Aku dan Nesya sampai bisa bangun karena mendengar lonceng gereja. Ini kali pertama aku mendengar mereka beribadat. Ya, aku di Cirebon hidup dengan homogen, walau pernah beberapa kali heterogen, tapi aku belum pernah mendengar mereka beribadat sedekat ini. Ketika aku sholat dhuha, aku mendengar mereka bernyanyi. Duh rasanya :”)

Selepas mereka selesai gereja, aku dan guru-guru yang lain melayat ke desa Saukibe. Kemarin, ada ibu dari salah seorang murid meninggal. Untuk ke desa Saukibe, kami harus menyebrangi kali. Kalau menggunakan motor sekitar 15 menit waktu tempuhnya, kalau berjalan kaki bagi yang sudah terbiasa sekitar 45 menit, kalau aku yang jalan mungkin ya 2 jam. Hehe. Nah, di desa Saukibe juga ada teman sm3t, Irfan dan Ayu. Rencananya selepas melayat aku ingin berkunjung ke mereka.

Sampai di sukibe kami langsung ke rumah duka. Memberi salam kepada keluarga yang ditinggalkan dan duduk untuk upacara pemakaman. Aku tidak mengerti dengan upacara pemakaman, ya aku ikut saja duduk dengan yang lain. Pandangan aku upacara pemakaman ya sama dengan ketika aku melayat di yang muslim. Ternyata jauh berbeda. Upacara pemakaman ini dipimpin oleh pendeta. Mereka menyanyi lagu-lagu gereja,bangun berdiri, duduk. Duh aku tidak mengerti. Aku hanya ikut saja. Jika mereka duduk aku ikut duduk, jika mereka berdiri aku ikut berdiri. Tapi disitu aku merasa takut berdosa. Bukankah lakum dinukum waliyadin? Ah tapi ya sudahlah aku perlu beradaptasi. Setelah doa selesai, jenazah dikuburkan. Dan fyi, kebanyakan orang disini menguburkan keluarga di halaman rumah, daaaan makamnya itu lebih bagus dibanding rumah-rumah mereka. Ibaratnya, rumah-rumah mereka hanya beratap daun berdinding bamboo, kalau makamnya pakai keramik, dikasih atap seng, kadang ada pagarnya. Takjub.

Mayat sudah dikuburkan, kami pulang. Tapi sebelumnya kami berkunjung dulu ke tempat tinggal Irfan dan Ayu. Mereka tinggal di rumah Mama Kepala Sekolah. Kami hanya ngobrol sebentar lalu pulang.

Sore hari, ka Ale menjanjikan untuk bakar ayam di pantai. Ka Ale bilang, biar betah hidup di Amfoang. Teman-teman guru, beberapa anak murid, dan masyarakat ikut. Bahkan bapa kepala UPTD kecamatan Amfoang turut serta. Bapa desa tidak ikut karena harus mengurus beras raskin di kampung. Semua disiapkan. Ayam, nasi, air, bahkan periuk. Dengan menggunakan motor kami ramai-ramai pergi ke pantai, nimsono namanya. Pantai ini perbatasan antara Amfoang barat laut dan Amfoang Utara. Dan ohyeah aku dapat sinyal internet disana.

Dari Oelfatu, kami lewat ke desa Soliu. Di jalan, kami minta ir ke warga, disana ada pohon jambu monyet dan  aku mencoba jambu monyet. Lucunya, mereka khawatir aku makan jambu itu. Mereka bilang nanti mulutnya gatal. Nyatanya, tidak kenapa-napa tuh, bahkan aku malah tambah jambunya lagi.

Perjalanan ke nimsono cukup dekat. Sekitar 15 menit. Disana aku melihat hamparan laut yang bersih. Indah sekali. *Jangan bandingkan dengan kejawanan di Cirebon, jauh!* Kami sampai disana saat sunset. Wiiih. Pemandangannya.


Para wanita menyiapkan tikar dan masakan. Aku mengajukan diri untuk menyembelih ayam. Yang aku tahu aku tidak boleh makan hewan yang tidak aku sembelih sendiri. Rasanya deg degan. Terakhir kali aku sembelih ayam waktu SMP Kelas 2, itu juga karena praktek agama. Tapi bismillahirragmanirrahiim, aku berani akhirnya. Sambil menunggu ayam masak kami main-main di pantai. Mengobrol, bersenda gurau. Ah menyenangkan. Mereka bilang, ini pesta penyambutan. Penyambutan orang jawa yang datang ke Amfoang. Aku dan Nesya senang. Alhamdulillah, mereka welcome dengan kami.



Makanan siap, kami makan bersama-sama di pinggir pantai. Hari sudah gelap, kami makan diterangi sinar rembulan dan suara jangkrik. Entah namanya romantis atau apa. Yang jelas aku senang. Malam beranjak, dan kami pun pulang. Di jalan aku terus berdoa, maklum saja, kami harus melewati hutan. Saat siang terang benderang, dan malam. Duh rasanya kaya di film-film gitu. Aku memang penakut.

Tapi hari ini aku sadar, mereka menerimaku dengan baik.



 Mudah-mudahan ini merupakan awal langkah yang baik juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar