Rabu, 09 September 2015

cerita 42 - Perjalanan Poros Tengah

Nesya ke Kupang. Sakit kakinya makin parah bernanah dan bau, kebetulan sore itu ada kapal yang membawa orang untuk pergi ke rs DI Kupang, jadi Nesya langsung menumpang disana. Aelama Nesya di Kupang hidupku hanya seputar sekolah-malam tidur di pastori-pergi ke mama desa-sekolah lagi. Mama Pendeta menyuruhku untuk tinggal di pastori “daripada sendirian “ katanya. Aku juga tidak memasak, makan siang di mama desa dan makan malam di mama pendeta. Seperti biasa aku, mama pendeta dan bapa pendeta juga ada Pa Yan (pendeta desa timau yang ikut menginap disana) bercerita dan mengobrol.

“Pi Kupang yuk!” Pa Pendeta memulai percakapan

“Eh.” Aku kaget

Pa Pendeta mau pergi ke Kupang untuk berbelanja kebutuhan paskah, mama oendeta juga ikut, pa Yan juga. Aku galau. Berarti nanti aku sendirian. Aku dan Nesya memang berencana untuk pergi ke Kupang akhir Maret karena liburan Paskah (Libur paskah disana 2 minggu), tapi karena Nesya sakit jadi mau tak mau dia harus ke Kupang. Sebenarnya tidak masalah aku pergi ke Kupang, masalahnya dalah perekonomian aku dan Nesya sedang goyah *halah*. Uang bawaan kami ke kampung sudah habis. Bahkan sekarang akuk hanya memegang uang sebesar Rp.20.000,-, Sedangkan untuk pergi ke Kupang setidaknya memerlukan uang Rp. 100.000,-. Galau melanda. Akhirnya aku curhat ke Pa Yan dan merajuk ingin ikut ke Kupang. Jujur, aku juga sudah lumayan jenuh karena biasanya aku sebulan sekali ke kota, kali ini rekor tiga bulan belum pergi ke kota. Aku merajuk dan bilang pada Pa Yan untuk naik motor saja, paling tidak kalo naik motor aku bisa gratis. Pa Yan yang kasihan melihat anak rantauan akhirnya mengiyakan permintaanku. Jadi nanti aku dengan Pa Yan, Pa Pendeta dengan Om Vanuel.

“Kita nanti jalan lewat atas atau bawah” Om Vanuel bertanya.

Aku yang mendengar kata “atas” langsung excited dan bilang untuk lewat atas saja. Lewat atas maksudnya adalah jalan memutar atau biasa disebut poros tengah. Menurut banyak orang, poros tengah ini pemandangannya keren sekali. Aku kan langsung mupeng dan merajuk. Lagipula jalan bawah agak sulit untuk dilewati Maklum musim hujan apalagi pasca bencana seperti ini ikut jalan atas adalah pilihan yang baik, walaupun jalan bawah sudah dapat dilewati. Mereka setuju, dan Pa Yan bilang “Bu, nanti ibu siap-siap turun ya.”

Pagi hari aku siap semua. Dua motor jalan beriringan, tapi tetap saja Pa Pendeta selalu di depan, maklum beliau naik motor besar dan ngebutnya masya Allah, padahal di jalan yang gak bagus. Selama perjalanan memang kenyataannya aku harus turun berkali-kali, banyak jalan yang tidak bisa dilewati jika naik motor ada boncengannya. Jalanan mendaki. Perjalanan yang melelahkan tapi semua terbayar dengan pemandangan yang begitu keren. Hamparan padang rumput hijau. Sapi yang berlalu lalang, dan ah cuacanya dingin, seperti lembang di Bandung.

Kalau lewat poros tengah kita akan menemukan mata air, air sirih namanya. Menurut penelitian air sirih ini lebih sehat dibanding air a*ua. San bebas kapur. Aku yang alay nemu air seger sehat lagi langsung minum airnya. Aku basuh muka juga yak ali mendadak cantik gitu.

Lanjut perjalanan, karena kami jalan hari Selasa dimana hari pasar di Pohon Gunung Timau. Kufikir pasarnya besar seperti pasar Oelfatu, taunya pasarnya hanya di pinggiran jalan. Apa yang dijual? Selain barang kebutuhan pokok, disini terkenal pasar daging. Banyak daging yang dijual disini, mulai dari sapi, babi, burung, musang. Daging ini merupakan daging hasil buruan. Daging tersebut hanya dibakar saja. Dan apa pelengkapnya? Laru putih.



Sudah setengah perjalanan dan aku mulai bosan. Karena pemandangan hijau sudah hilang. Masuk ke Lelogama, Takari ah sudah sama seperti Oelfatu. Perjalanan yang melelahkan selama sepuluh jam akhirnya sampai juga di kota kupang. Such a long journey. Besoknya badan sakit semua karena naik motor. Yaaa namanya nyari pengalaman, ada aja yang harus dikorbankan, badan contohnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar