Rabu, 09 September 2015

Cerita 45 - Kampung Lama

Bulan puasa kemarin saya diajak petugas sensus (Ka Ovry, Pa Jumles, Om Dan + Tante Oematan, Deky dan Om Ed) untuk pergi ke kampung lama desa Oelfatu yang berada di kaki gunung Timau. Ko satu desa bisa ada  Kampung Lama? Jadi pada jaman dahulu kala semua orang yang tinggal di desa Oelfatu yang sekarang tinggal di bawah kaki gunung Timau, pada tahun 80 an, Gubernur NTT menginstruksikan untuk pindah ke dekat pesisir pantai, jadilah para warga berduyun-duyun pindah di desa Oelfatu yang sekarang, namun masih banyak orang yang tinggal di kampung lama yang tidak ingin meninggalkan kampungnya dengan alasan untuk menjaga ternak dan hasil ladang.

Kami (aku dan petugas sensus) berangkat jam 2 siang. Empat motor berangkat bersama-sama. Jangan difikir perjalanan tanpa hambatan. Perjalanan memang mulus, namun jalan yang sangat terjal membuat kami yang di bonceng harus turun berkali-kali. Maklum, jalan menanjak dengan batu pasir membuat motor terkadang tak stabil. Tapi sepanjang perjalanan walaupun medannya berat,aku selalu takjub dengan pemandangan alamnya. Aku pernah melewati jalan ini ketika pergi ke kupang via poros tengah dimana saat itu adalah musim hujan. Nah, sekarang musim panas, memang tidak sehijau ketika saat musim hujan, tapi tak mengurangi pemandangan yang luar biasa gagah. Hamparan padang rumput yang indah, sapi dan kuda liar yang sedang makan. Ah membuatku tak henti-hentinya memuji nama-Nya.

Matahari terbenam pas ketika kami sampai air sirih. Aku berbuka dengan air sirih dan jajanan yang aku beli di kios. Segar rasanya. Hawa dingin mulai menusuk tulang. Kami melakukan perjalanan malam. Jalanan yang terjal hanya diterangi oleh lampu sepeda motor, maklum ini adalah hutan mana ada lampu jalan. Kufikir Kampung lama adalah pemukiman di tengah hutan. Jarak antara rumah sangatlah jauh.

Kami mendatangi rumah pertama untuk sekedar menghangatkan tubuh. Pemilik rumah tersebut adalah seorang janda dengan anak satu. Beliau senang sekali menerima tamu. Bahkan kami disuguhkan segala yang dia punya termasuk sismeto (daging kering) makanan khas kampung lama. FYI: Daging keringnya benar-benar kering sampai aku susah untuk mengunyahnya. Yang pertama aku cari di rumah persegi berdinding kayu ini adalh kamar mandi, maklum di udara dingin seperti ini hasrat buang airku semakin besar. Dan ya, si tante bilang “disini son ada kamar mandi”. Mulailah aku stress. Aku minta ke rombongan untuk mencari rumah yang ada kamar mandinya. Akhirnya tante Oematan mengusulkan untuk pergi ke rumah Bapak RT Nainefo, yang katanya rumahnya tidak jauh dari sini.

Rumah Pak RT hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, karena jalan yang menurun. Jadi kamii titip motor di rumah pertama dan mulai berjalan kaki. Kata-kata dekat yang sebenarnya adalah jauh. Sudah gelap, kita hanya diterangi rembulan dan Hape Nokia Senter kami berjalan kaki menurun ke bawah. Melewati hutan dan padang rumput yang berembun membuat kami harus berjalan berhati-hati. Maklum jalanan licin, Bahkan Om Edi saja terpeleset. Sekitar satu jam kami sampai di rumah pak RT. Hal yang pertama aku Tanya adalah “ada kamar mandi?” Dan harapan kosong ternyata, pak RT juga tidak memiliki kamar mandi, alhasil selama di kampung lama akhirnya pertama kali aku buang air di semak-semak.

Di rumah Pak RT kami tidur untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Aenoni. Untuk diketahui Kampung Lama terdiri dari tiga tempat yaitu Nainefo, Aenoni dan Nefonunuh.

Pak RT memiliki anak kecil yang baru berusia sekitar 2 bulan. Sang nenek memintaku untuk memberikan nama. Duh, Aku merasa sangat tersanjung member nama anak. Pikir-pikir dan kuberi nama “Avisena” entah ilham darimana aku ingin saja member nama itu.

Pagi hari aku dikejutkan oleh Pak RT yang bilang “Ibu tahu tidak tadi malam ibu berjalan dari mana?” Kemudian beliau menunjuk bukit nun jauh di atas sana. OMG! Ternyata semalam aku turun dari atas sana. Dan, siang ini mau tidak mau aku harus mendaki ke atas sana untuk mencapai Aenoni. Dalam keadaan puasa, siang hari aku mendaki ke atas sana. Rasanya capek, lelah dan dibayang-bayangi oleh “membatalkan puasa”. Tapi aku disemangati oleh kawan-kawan. “Ayo semangat, ibu pasti bisa”. Perjalanan cukup lama karena aku yang sebentar-sebentar istirahat. Alhasil, aku seperti sapi dari belakang didorong, dari depan ditarik. Sampai atas, kawan-kawan langsung mengambil motor dan kita langsung pergi ke Aenoni.

Sampai di Aenoni kami berkumpul di gereja. Karena jarak antar rumah sangat jauh dan tidak memungkinkan petugas sensus untuk mendatangi masing-masing rumah akhirnya masyarakat dikumpulkan di gerja. Aku yang kala itu masih lelah karena pendakian hanya duduk diam dan membantu alakadarnya sampai nyawaku terkumpul kembali. Sensus juga berjalan menyenangkan. Orang kampung memang polos sekali, ketika ditanya ini itu. Ada juga yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Yang paling membuat takjub adalah hewan ternak yang mereka miliki, ada yang memiliki 50 ekor sapi, 20 ekor babi dan 50 ekor kuda. Gila fikirku mereka memang orang kaya. Tapi yaaa rumah mereka alakadarnya, anak mereka tidak ada yang sekkolah tinggi aku juga bingung mengapa.

Saat-saat sensus tiba-tiba hasrat ingin buang air besarku muncul. Lalu aku bilang ke mama ingin BAB. Si mama bilang disini hanya ada wc darurat. Ah gapapa fikirku, saat-saat begini gak peduli mau darurat atau wc duduk habok aja. Di dekat gereja ada bangunan persegi. Duh susah menjelaskannya, pokonya hanya dari kayu dan langsung jatuh ke bawah, permasalahan bukan itu. Masalahnya adalah pintu wc tersebut gorden yang hanya setengah, jadi disitu aku bingung mau konsentrasi BAB atau berusaha untuk menutup pintu. Akhirnya aku menyerah dan keluar. Aku bilang pada kawan-kawan “Aku nggak bisaaaaa.” Kehebohan aku ingin BAB tersebar dan ada mama yang menawarkan untuk pergi kerumahnya, disana adalah satu-satunya WC sehat yang ada di kampung lama. Beliau bilang dekat. Tanpa piker panjang aku langsung pergi kesana, dan yaaa dekatnya orang sana ya jauhnya aku. Sampai sana rasanya aku menemukan surge. Aku bingung bagaimana mereka masih bisa hidup seperti itu di era modern seperti saat ini.

Matahari terbenam dan sensus pun selesai. Aku yang kala itu puasa disuruh mama disana untuk potong ayam. Hal yang lucu adalah. Ketika aku mau datang, rumor beredar kalau aku tidak meminum kopi, aku hanya meminum teh atau susu. Dan ya, buka puasa aku disuguhi susu. Kebayang gimana eneknya buka puasa pakai susu, saat itu aku piker “Tea is better madam”. Makan selesai, kami mengobrol dengan bai (kakek). Lucunya para bai  ini sebelum minum laru (minuman keras khas sana) tidak bisa bahasa Indonesia, eh abis minum lancer jayaaa.

Selepas berbincang, kami pun pamit untuk tidur, Nah di aenoni dinginnya bangeeeeet. Aku udah pake jaket sleepingbag tetep tembus, bahkan saat mau sahur untuk minum aja gak kuat banget bangunnya. Melebihi Nainefo. Di Nainefo aku masih bisa gak pake jaket, di Aenoni jaket dan selimutan terus.

Pagi hari kami panen lemon (jeruk). Bulan juli begini kampung lama sedang panen lemon. Dari mulai lemon besar sampai kecil, jeruk cina sampai jeruk bali semua ada. Ambil seberapa? Ambil sesukanya. Sayangnya kami naik motor jadi hanya membawa sebagian, tak banyak. Aku juga diberi ayam kampung sebagai oleh-oleh. Jadi sepanjang perjalanan naik motor aku tenteng ayam kampung terus. Sekitar siang kami pulang ke Oelfatu.








Ini adalah pengalaman berharga bagiku. Pengalaman yang membuatku belajar bahwa kita harus menghargai semua orang yang mau datang membangun. Belajar bahwa kita harus baik kepada semua orang. Ah, warga kampung lama, terima kasih atas pembelajarannya. Someday, aku akan kesini lagi.

3 komentar: